Intip Hagrid yuk!

Yeah! Pengalamannya kemarin sangat spektakuler dan menyenangkan. Hanya saja kurang sedikit bumbu kehebohan akibat dari keisengan-keisengan yang sesungguhnya ingin dia lakukan. Tapi, melempar bom kotoran atau menyemprotkan air dengan ketapel air di awal tahun ajaran bukan sesuatu yang baik, bukan? Apalagi semalam, suasana begitu meriah di pesta awal tahun. Dia sudah resmi menjadi murid Hogwarts, ngomong-ngomong. Penyihir. Bukan manusia biasa. Dia PENYIHIR. Muahaha. So what, Zeus? So, dia bisa pamer pada teman-teman berandalannya di Skull Alley nanti. Atau mungkin mengerjai geng utara dan selatan yang memang luar biasa menjengkelkan. Ah, sayang sekali sebelum usianya 17 tahun, dia dilarang menggunakan sihir di luar sekolah kecuali jika dia ingin bernasib sama seperti Belle. Entah tulisan di dahi gadis kecil itu sungguh-sungguh permanen atau tidak. Semoga saja tidak. Zeus tak bisa membayangkan gadis kecil itu terpaksa mengenakan topi lebar setiap kali harus keluar dari kamar. Kasihan.

Ngomong-ngomong soal keluar kamar, Zeus saat ini sedang menjelajah, lho! Gairah dan antusiasme yang semalam masih berdesir di pembuluh darahnya—membuat dia tak bisa tidur nyenyak. Hogwarts itu adalah tempat yang menarik untuk ditelusuri saking besarnya. Banyak tempat yang sepertinya memiliki banyak misteri. Anak laki-laki tiga belas tahun itu sangat siap untuk membongkar setiap misteri yang tersimpan di sana. Sendirian pun tak masalah jika tak ada yang mau ikut bersamanya. Siapa takut.

Langkah kakinya membawa dia mendekati sebuah gubuk yang ukurannya tidak terlalu besar. Namanya juga gubuk, masa kau berharap ada gubuk sebesar kastil Hogwarts? Mimpi saja sana. Kelabu kembarnya kemudian menangkap satu sosok gadis yang dikenalnya. M. Yang telah mengobati dan membalut lukanya.

(Nyengir)

"Hey, M! Sedang apa?" Zeus berlari menghampiri gadis berambut pirang kecoklatan itu lalu menunjuk ke arah luka di lengan kanannya yang masih terbalut perban, "Nanti, bantu aku mengganti perbannya, ya."

******

Langit pagi hari itu sangat cerah namun tidak menyilaukan. Hamparan kebiruan berhiaskan bola-bola seputih kapas menjadi lukisan yang memanjakan setiap indera penglihatan yang menatap ke atas. Sang matahari entah sedang bersembunyi dimana. Biarkan saja dia beristirahat sampai tiba waktunya dia berlaga saat tengah hari nanti. Sekarang biarlah sejuk tetap menguasai karena—Zeus sedang menjelajah. Begitu pula dengan para tupai kecil, semut-semut, burung-burung, semua sedang memanfaatkan kesejukan pagi ini untuk melakukan aktivitas mereka masing-masing.

Emmy, si gadis bersurai pirang kecoklatan itu mengangguk meresponi permintaannya untuk mengganti perban di lengannya, namun tiba-tiba terdiam, berpikir dan memberikan saran untuk langsung ke klinik sekolah saja untuk mengobati lukanya. Zeus terkekeh dan menggeleng sok manja pada gadis kecil itu. "Nope. I want—you to take care of my wound, M." Hey, Zeus bukannya sedang meminta tanggung jawab dari gadis kecil itu, lho. Memang penyebab lukanya ini karena melindungi gadis itu dari serangan seekor burung hantu elang milik seorang banci, tapi Zeus melakukannya dengan sukarela tanpa pamrih. Dia hanya segan datang ke klinik. Klinik itu bau obat dan sangat tidak nyaman. Kalau ada Emmy, buat apa ke klinik? Muahaha.

Anak laki-laki itu tiba-tiba melompat di tempat, terkejut karena Emmy memekik keras di dekat telinganya. Kekagetan sepertinya menular. Zeus melirik sosok yang datang tiba-tiba itu dengan ekor matanya—sambil mengelus-elus dadanya, sosok seorang anak laki-laki yang kelihatannya sepantaran dengan dia rupanya. Denan Multianda, eh? Anak laki-laki itu memberikan senyum pada seniornya yang memberi pengumuman tentang kepemilikan gubuk di dekat mereka, seperti seorang tour guide. Hahaha. "Hey. Aku Zeus. Salam kenal."

Multianda kemudian mengeluarkan sebuah toples berisi permen dan menyodorkan sebungkus permen pada Emmy dan Zeus. Dengan sopan, Zeus menolak permen yang ditawarkan Multianda. Dia tak terlalu suka makanan manis. "No, thanks." Lagipula, gubuk Hagrid ini lebih menarik untuk dinikmati ketimbang permen. Dengan penasaran, Zeus melangkah mendekati gubuk tersebut. Hagrid itu, pria besar yang menyambut mereka di Stasiun Hogsmeade, bukan? Gubuk di depannya ini milik raksasa itu? Tak salah? Memang ruangannya cukup besar untuk raksasa seperti dia? Padahal Hogwarts itu luas, kenapa raksasa itu hanya diberi gubuk sekecil ini? Teganya.

Ditariknya sebuah kotak kayu yang cukup tinggi dari dekat gubuk tersebut dan disandarkannya ke dinding gubuk. Anak laki-laki itu naik ke atas kotak tersebut, mencoba mengintip ke balik jendela. Dia ingin tahu seperti apa isi dalam gubuk tersebut. "Ah ya, kira-kira Hagrid sedang ada di rumahnya tidak ya?"

"Kau mencari Hagrid, M? Sepertinya gubuk ini kosong. Tak ada orangnya," ujar Zeus seraya mengintip dari jendela gubuk tersebut. Debu menempel di jemarinya saat dia berpegangan pada kusen jendela. Nampaknya, Hagrid itu butuh bersih-bersih. Bisa kena pilek kalau gubuk sekecil ini dibiarkan berdebu begini. Ya kan? Hey, sejak kapan Zeus jadi peduli dengan kebersihan rumah orang? Forget it.

******

Anak laki-laki berambut pirang platina itu kembali melanjutkan misi intip-mengintip gubuk Hagrid setelah sebelumnya memberi informasi bahwa raksasa itu tidak ada di rumah. Jujur, dia penasaran setengah mati ingin melihat seperti apa interior di dalam gubuk seorang raksasa. Ingin memastikan apakah di dalam sana ada kursi berukuran besar, meja berukuran besar, kasur berukuran besar dan segala furniture berukuran besar-besar. Sayangnya kaca jendela Hagrid terlalu tebal debunya, dia jadi sulit untuk memantau terlebih lagi dia masih harus berpegangan erat di kusen jendela untuk menahan tubuhnya. Kotaknya kurang tinggi.

Dia mendengar ada beberapa anak lain yang datang karena tertarik dengan apa yang sedang dia dan Emmy lakukan di sana. Tapi, dia malas untuk menengok dan membiarkan Emmy yang menyambut kedatangan mereka seperti petugas resepsionis menerima tamu. Padahal gubuk ini bukan punya mereka. Dengan sedikit napsu, Zeus meniup-niup kaca jendela tersebut, berusaha membubarkan para debu-debu yang menempel erat disana. Sayang, usahanya membuahkan hasil yang nihil alias buang-buang tenaga. Anak laki-laki itu pun mendengus kesal. Berniat untuk turun dari kotak karena merasa sudah tak ada gunanya lagi mengintip-intip sesuatu yang tak bisa diintip. Biar saja para burung pipit yang kecil itu menggantikan posisinya di kusen jendela. Pegal. Lihat saja telapak tangan Zeus kini sudah memerah.

Baru saja Zeus hendak melepaskan pegangannya ketika sebuah suara sopran cempreng berkumandang membuatnya terkejut.

”Gya!”

”Aduh!”

“Tolong!”


Dan pegangan tangannya terlepas karena terkejut, sebelah kakinya salah menginjak pinggiran kotak sehingga kotak yang dia pijak kini mulai miring dan—

BRUKK

—jatuhlah dia ke hamparan hijau yang lembab. "Aduh. Lukaku tertindih," rintihnya sambil mengusap-usap lengan kanannya yang tadinya diperban. Kini perbannya robek separuh, memperlihatkan bekas lukanya yang masih basah. Yeah, burung sialan itu menorehkan luka yang cukup dalam dengan cakar bututnya. Burung dan pemiliknya sama-sama kejam. Cuih. Kelabu mudanya kemudian melirik ke arah pemilik suara cempreng yang kini sedang berguling-guling. Zeus menghampiri gadis kecil tersebut dengan ikut berguling-guling ke arahnya tanpa memedulikan lukanya yang sekarang mengeluarkan darah. Terlalu malas berdiri ditambah rasa penasaran. Memang, seperti seseorang pernah bilang kalau Zeus itu punya nama macho, sikap serampangan dan muka secantik Miss Universe*.

"Hey, nona. Kau kenapa?" Dan pada semua orang yang baru bergabung, "Hey, semua! Welcome to Gubuk Hagrid!"

Memangnya kau siapa, Zeus?

0 komentar:

Posting Komentar