Boathouse

Kadang manusia berpikir sempit, rasis, cenderung menggolong-golongkan dan menganggap golongannya sendiri sebagai yang terbaik. Dalam hal ini mari kita persempit menjadi golongan muggle dan penyihir. Banyak dari mereka yang saling membenci dengan alasan yang dibuat-buat, padahal sesungguhnya mereka adalah sama-sama manusia yang terikat pada benang merah takdir yang ditetapkan oleh sang pencipta. Baik muggle maupun penyihir, mereka sama-sama merupakan pion yang bermain dalam skenario kehidupan buatanNya dan bahkan tak jarang manusia dipermainkan.

Zeus Pierre Debussy, nama asli seorang anak laki-laki tiga belas tahun yang kini tengah menyusuri tangga berputar milik Hogwarts, turun ke bawah entah kemanapun tangga-tangga itu akan membawanya. Kebosanan mendorongnya untuk menjelajahi kastil Hogwarts yang penuh misteri bagi anak laki-laki hiperaktif itu dan dia memilih untuk melakukannya sendirian kali ini. Dia telah memilih untuk membuang nama Debussy, warisan dari seorang ayah brengsek, surname sebuah keluarga pelahap maut di Perancis yang telah menjadi pion penghancur dalam kehidupannya. Fakta yang akan dia kubur dalam-dalam. Sayangnya, betapapun kerasnya dia menyangkal, darah sang pelahap maut mengalir dalam tubuhnya. Pahit.

Terlebih setelah kejatuhan Pangeran Kegelapan, nama Debussy hanya akan membuatnya dilempari tatapan sinis oleh mereka yang menentang keberadaan para pelahap maut. Beruntunglah dia bersama Lucretia dan adiknya, Candy, memilih tinggal di lingkungan muggle setelah Christoff ditangkap dan dijebloskan ke Azkaban. Lima tahun hidup sebagai berandalan tanpa bersentuhan dengan sihir demi menyenangkan Lucretia. Kini, dia adalah Zeus Pierre. Zeus Pierre yang tak mau lagi menuruti keinginan ibunya untuk hidup sebagai muggle. Dia, memilih untuk menjalani kehidupannya sebagai penyihir dan membuktikan pada semua orang bahwa Zeus Pierre bukanlah penerus Debussy. Takkan pernah.

Dia berjalan menyusuri koridor demi koridor. Melempar kedipan sekilas pada lukisan-lukisan genit yang memandanginya dan menggosipinya. Bertegur sapa dengan para hantu transparan berkilau yang ditemuinya. Kini dia berada di sebuah halaman berumput yang memiliki dua pintu masuk utama. Satu mengarah ke Viaduct dan yang lain menuju ke Boathouse. Zeus memilih menuju Boathouse.

Anak laki-laki itu merapatkan jubahnya ketika dingin angin musim gugur bersentuhan dengan kulit lehernya, membuatnya menggigil sejenak. Ditengadahkan kepalanya menatap langit yang mulai berubah warna menjadi kelabu—serupa dengan iris kembarnya. Mendung. Anak laki-laki itu melanjutkan langkahnya ketika rintik-rintik hujan mulai berjatuhan membasahi kepalanya lalu tubuhnya. Dia berlari masuk ke dalam boathouse dan berteduh di dalam. Hujan deras sukses mengganggu penjelajahannya. Zeus mendengus. Dia bersandar pada dinding batu sambil menyisir rambutnya yang basah dengan jemari. Bau asap rokok samar-samar tercium olehnya bercampur dengan bau hujan. Dan ketika dia memperhatikan lebih teliti—tak jauh darinya—seorang perempuan yang terlihat lebih tua darinya telah ada disana lebih dulu, duduk bersandar di dinding batu. Perempuan itu mematikan rokoknya dan melemparkannya ke air. Anak laki-laki itu berjalan menghampiri perempuan itu. Berdua lebih baik daripada sendiri, eh?

"Siang, Senior. Kuharap Anda tidak keberatan bila aku duduk disini," ujarnya menyapa. Dia pun menghempaskan bokongnya di samping perempuan itu, turut bersandar di dinding yang sama. "Zeus. Gryffindor kelas 1."

********

Hidupnya dipermainkan oleh sang takdir. Pada usia tiga tahun, dia dibawa ke Rusia untuk tinggal dan dibesarkan di Kastil Elsveta—tanpa orangtua kandungnya. Wajar bila sampai hari ini pun, orangtua yang benar-benar ada dalam hatinya adalah Boris dan Teresa—orangtua Nabelle. Lima tahun. Lima tahun dirinya dibesarkan bersama Nabelle dengan kasih sayang yang setara. Dididik dan diayomi tentang bagaimana seharusnya seorang bangsawan bersikap. Bahkan mereka diajarkan ilmu berpedang dan pengenalan dasar tentang sihir.

Lima tahun yang patut disyukuri oleh seorang Zeus Pierre, karena setelah itu hidupnya tak sama lagi sejak Christoff datang menyerang Kastil Elsveta bersama pelahap maut lainnya. Sebuah tragedi yang tak pernah bisa dia lupakan yang membuatnya beberapa hari ini merasa iri pada adik sepupunya yang sama sekali tak ingat tentang kejadian pahit tersebut. Yeah, Nabelle tampaknya kehilangan ingatannya entah karena tekanan psikologis atau karena sihir. Gadis kecilnya yang pemberani sekaligus rapuh. Zeus menengadahkan kepalanya menatap sang langit yang sesekali bergemuruh. Kilat sesekali terlihat menyambar. Sedang apa Belle sekarang? Apakah dia ada di tempat yang terlindungi dari hujan? Setahunya, gadis kecil itu takut pada suara petir.

Zeus melipat kakinya—bersila lalu merapatkan jubahnya yang basah, berusaha sedikit menghangatkan tubuhnya yang mulai gemetar. Dia mengalihkan perhatiannya kembali pada perempuan yang ada di sampingnya sekarang. Sosok yang sedikit mengingatkannya pada Lucretia, ibu kandungnya. Beliau juga perokok, sama seperti perempuan itu. Gerak-geriknya pun dewasa dan anggun. Ah, mungkin nanti malam, dia akan menulis surat pada Lucretia. Tak peduli akan dibaca atau tidak. Persetan dengan semua itu. Lucretia memang bersikap seolah membenci dirinya, tapi belakangan ini dirinya menyadari bahwa diam-diam Lucretia tetap memperhatikan segala yang dia butuhkan.

"Senior...? Panggilan macam apa itu, nak? Lihat dimana kau berada, ini negara egaliter..."

Anak laki-laki itu mendengus pelan, tersenyum pada sosok perempuan di sampingnya. Tipe senior yang menjunjung kesetaraan rupanya. Rasanya, dia mulai menyukai perempuan itu. Peraturan atau senioritas, jelas bukan hal yang menarik bagi si berandal. Perempuan di sampingnya itu jelas—menarik dengan cara berpikir egaliternya itu. Lebih nyaman berbincang dengan seseorang yang seperti dia ketimbang senior-senior lain yang gila akan kehormatan. Lalu, kalimat keberatan kembali meluncur dari bibir perempuan itu pada seorang anak perempuan lain yang kini bergabung. Basah kuyup meski tak separah dirinya. Surai-surai peraknya mulai mengering, meski jubah dan seragamnya masih melekat basah di kulitnya. Memberikan sensasi dingin yang cukup mengganggu. Brr—

"Kita belum kenal, kurasa. Tapi apa aku boleh berada di sini?"

"I know who you are, Momsen..."

"Pierre, right? Momsen. Matahari Momsen."


"Sure. Yeah, I'm Zeus Pierre. Ini tempat umum, Nona Momsen. Please take a seat."

"Dan jangan memanggilku dengan embel-embel begitu, kalian berdua..." perempuan itu memiringkan kepala, tersenyum santai.

"Kalian bersikap seakan aku yang memiliki tempat ini. Kita sama-sama murid di sini, aku tidak tahu darimana kalian belajar bersikap seakan kalian lebih inferior begitu... Tapi, sayang, jangan dibiasakan, ya?

"Jadi seharusnya kami memanggilmu apa agar keinferioritasan itu naik pangkat sedikit? Aku takut penghilangan apa yang kau sebut dengan 'embel-embel' itu justru membuat kami dikira kurang ajar."


"She's right, what do you want me to call you, Miss?" Anak laki-laki itu balas tersenyum santai.

At least, tell me your name.

********

Perempuan, perempuan, perempuan. Kalau mau menilik kembali kehidupannya, sepertinya memang Zeus bertumbuh dikelilingi oleh perempuan. Laki-laki yang pernah hadir dalam hidupnya dan memberi kesan melekat dalam dirinya bisa dihitung dengan jari—Boris Elsveta, Grandpa Elsveta dan Christoff. Boris, seorang ayah teladan, seorang auror yang bijaksana dan pemberani. Seorang pria yang sangat dia hormati sejak dia kecil. Grandpa Elsveta, yang mendidiknya dengan keras untuk menjadi seorang penyihir muda yang tidak membeda-bedakan status darah. Pria tua yang menggemblengnya menjadi seorang laki-laki yang menghormati kaum hawa. Lalu, Christoff. Tak ada yang bisa diceritakan tentang pria yang pahitnya adalah ayah kandungnya sendiri. Tak ada hal baik yang pernah dia dapatkan dari pria itu kecuali bahwa berkat benih dari pria brengsek itulah dirinya lahir ke dunia.

Lima tahun sejak Christoff ditangkap dan dijebloskan ke Azkaban, dia hidup bersama dua orang perempuan. Lucretia, ibu kandung yang nyaris tak dikenalnya dan juga yang membenci dirinya. Kemiripan parasnya dengan Boris—almarhum kakak Lucretia—membuat dirinya semakin dibenci. Candy, adik yang berbeda empat tahun dengannya, tak bisa dibilang akrab sejak gadis kecil itu mulai bisa memahami bahwa Lucretia membenci dirinya. Entah gadis kecil itu hanya meniru sikap Lucretia atau memang benar-benar membenci dia. Skull Alley yang jadi tempat pelariannya karena rumah bukan lagi tempat yang nyaman bagi seorang Zeus Pierre. Tempat nongkrong dan bersenang-senang bersama teman-teman berandal ciliknya, membuat keonaran dimana-dimana, berlaku iseng dan senantiasa bersenang-senang. Memimpin geng timur bersama dengan Kurtzee, sahabat muggle-nya yang juga seorang perempuan. Meski tak seperti perempuan karena perilaku dan cara bicaranya yang kasar.

Dan kini di Hogwarts pun, dia lebih banyak dihadapkan dengan perempuan. Nabelle, adik sepupu yang menjadi salah satu alasannya meninggalkan rumah dan membantah keinginan Lucretia untuk masuk ke Hogwarts. Adik sepupu yang telah melupakan semua kenangan tentang dirinya. Seorang gadis kecil yang sejak dulu telah menjadi sosok paling istimewa di hatinya.

Yeah, perempuan, dengan beragam sikap dan cara berpikir yang seringkali tak terduga olehnya.

Perhatiannya kembali teralih pada dua sosok perempuan yang kini bersama dengannya berteduh di dermaga. Membahas senioritas, egalitas dan hal-hal membosankan lainnya. Persetan dengan aturan maupun teori. Kebebasanlah yang membuat seorang Zeus tetap bertahan hidup.

"You may call me Proust, or Agrippina, the last one I may let you call me by that name, I may not..."

"Memanggil dengan embel-embel juga tidak lantas membuatmu lebih beradab. Kau tidak dengar kemarin di pesta itu mereka memanggil-manggil Dawne dengan sebutan 'senior',"
Agrippina melirik padanya. Memberikan kesan bahwa perempuan itu tidak menyukai perbuatan yang telah dilakukan Dawne saat pesta. Padahal menurut Zeus, keberadaan seseorang seperti Dawne itu lumayan membuat dunia yang membosankan ini sedikit lebih meriah.

"Dan tetap bertingkah kurang ajar di depan guru. Lebih senior mana murid cupat dengan gurunya? Kau panggil aku dengan sebutan Prefek sambil mengataiku peliharaan guru dalam hati, itu sama saja bohong."

Well, pada bagian itu, aku setuju sepenuhnya. "I agree. Then, I won't call you senior or prefek anymore, Agrippina. Jika kau tidak keberatan, aku lebih suka menyebut nama depanmu. Terdengar lebih manis." Dia bukan sedang menggoda, hanya bersikap jujur dengan apa yang dia rasakan. Mengungkapkan apa yang dia inginkan. Tanpa paksaan, tentu saja.

"....Kita tinggal di Hogwarts, di dunia sihir. Saatnya kau melepaskan ikatan dengan dunia lamamu dan masuk ke dunia ini. Di sini, sihirmu membuatmu terhormat. Kita menghormati yang sihirnya paling kuat..."

Hukum rimba, eh? Yang kuat yang menang. Yang kuat yang berkuasa. Tak jauh beda dengan kehidupannya di Skull Alley. Penuh dengan persaingan meski di luar terlihat menyenangkan. Baginya, sihir kuat berguna untuk melindungi orang-orang yang dia kasihi dari orang-orang brengsek seperti Christoff dan tentu saja, Pangeran Kegelapan itu sendiri. Anak laki-laki itu tersenyum miris, "Menghormati yang sihirnya paling kuat... entah kenapa, kedengarannya lebih seperti ungkapan rasa takut ketimbang rasa hormat."

Bukankah di mana saja sama? Takut pada yang paling kuat lantas menjilat mereka dengan penghormatan yang membuai?

********

"What is in a name...?"

Nothing. Just something to call someone.

"It is true. I was one of them. I was a part of them, muggles... I'm a halfblood. Justru karena itu aku lebih mengerti keajaiban dunia ini, karena itu sihir menjadi lebih berharga bagiku. Bukan sesuatu yang tidak kusyukuri, atau sesuatu yang begitu asing sampai kubenci..."

So what if you are a part of muggles? Muggle bukanlah komunitas yang harus dibenci hanya karena pada masa lalu beberapa dari mereka menyerang kaum penyihir dan membakar mereka dengan alasan penyihir berbahaya. Banyak muggle yang menerima keberadaan para penyihir dan bersedia merahasiakannya. Banyak muggle yang jauh lebih menyenangkan ketimbang beberapa penyihir yang dia temui di Hogwarts. Pada intinya, muggle dan penyihir adalah sama-sama manusia yang tidak memiliki kesempurnaan yang absolut. Menjadi seorang penyihir, seperti kata Agrippina, adalah sesuatu yang patut disyukuri. Mereka, para penyihir, diberikan sebuah kekuatan untuk melindungi diri sendiri dan juga orang yang mereka kasihi. Dia, Zeus Pierre, juga menghargai berkah yang diterimanya sebagai penyihir.

Agrippina mematikan sigaretnya dan mendudukan diri di sebelah Zeus dan Momsen.

"See here, Pierre... Kenapa kau melihat kekuatan untuk ditakuti? Yang kau harus takuti adalah tujuannya... Tapi baik tidaknya itu pasti relatif, jadi relatif pula rasa takut dan hormatnya. Yang kalian ingin itu apa? Rasa hormat dari cinta?"

"Sampai sejauh apa cinta itu sampai dikhianati? Kau lebih mudah membunuh dan mengkhianati orang yang kau cintai ketimbang orang yang kau takuti. Itu sifat dasar manusia mau tidak mau kau akui. Alasan apa pun yang kuberikan, jawaban apa pun, tidak akan bisa pasti. Sebuah lingkaran tidak memiliki awal maupun akhir."


Dia hanya terdiam dan mendengarkan ketika dua entitas hawa di dekatnya berbincang, meresponi pernyataannya tadi. Dia tidak sedang membahas tentang senior-senior mereka di Hogwarts. Persetan dengan mereka yang gila hormat. Bukankah Agrippina sendiri berkata bahwa senior sebaiknya tidak membuat mereka merasa inferior? Bahwa Prefek, apalagi Ketua Murid, adalah peliharaan guru. Berarti tak ada yang menjamin bahwa Ketua Murid mereka itu kuat atau tidak. Statusnya sama. Murid. Masih belajar. Hanya saja, pengalaman lebih banyak. Bukan berarti dirinya adalah seorang pembangkang tulen. Dia tahu kapan harus bertingkah sopan dan pada siapa.

"Aku tak peduli bila Tequilla dilempari pai oleh murid-murid yang lain. Aku tak kenal siapa dia dan tak tahu bagaimana kelakuannya selama ini sehingga tak layak mendapat rasa hormat yang seharusnya dia terima," ujarnya menanggapi pertanyaan Momsen.

"And, No. I didn't say that I'm scared or something... itu hanya sebuah impresi yang kuterima dari caramu berbicara tadi, Agrippina. Tentang menghormati mereka yang sihirnya lebih kuat. Tapi, kau benar bahwa yang harus ditakuti adalah tujuan sebuah sihir digunakan," rahangnya mengeras, "Aku menghormati mereka yang memang layak dihormati. Yang menggunakan sihir untuk melindungi banyak orang. Tapi, aku mengutuk mereka yang mempermainkan sihir untuk menghancurkan hidup orang lain, mereka yang menyalahgunakan sihir terlarang semata-mata untuk mendapatkan kekuasaan dan bersenang-senang."

Christoff, maksudmu?

Berandal itu masih ingat betapa mudahnya seorang penyihir membunuh penyihir lainnya. Hanya dengan sebuah rapalan kutukan kematian dan BAM, berakhir sudah hidup seseorang yang menjadi target rapalan mantra tersebut. Dia sendiri pernah merasakan kutukan Crucio diarahkan pada tubuhnya. Kutukan yang nyaris membuat dirinya berharap untuk mati daripada lebih lama tersiksa dengan rasa sakit yang ditimbulkan oleh mantra tersebut. Dan melihat bagaimana kutukan Imperioyang diluncurkan Christoff bereaksi pada Nabelle. Bocah berandal itu mendengus. Benci jika harus mengingat masa lalu yang menyakitkan itu.

Dengan ekor matanya dia melihat seorang bocah laki-laki datang dan menyapa mereka satu persatu. Berceloteh dan sibuk sendiri mengomentari kilat. Lucu. Khas anak sebelas tahun.

"Yeah, Kincaid. I'm Pierre."

“Oh ya, kalian lagi ngobrol? Ayo lanjut saja. Jangan membiarkanku menghentikan kalian. Go on.”

Berandal itu menunduk. Mencoba mengacuhkan keberadaan Kincaid disana. Kembali mengingat rentetan peristiwa mengerikan pada masa lalunya—dimana rapalan mantra kutukan ditembakkan, tanpa ada seorang pun sempat menghindar.

"Mungkin sebenarnya, penyihir juga butuh latihan ketangkasan untuk menghindari rapalan mantra, eh?" Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirnya. Bocah itu tersenyum miris.

She's a Pedophilia Virus

Timeline : Sore hari sekitar jam 4. Dua hari setelah PAT.




Sore itu cuaca terbilang cerah khas cuaca musim panas. Matahari masih berjaya di langit meski teriknya sudah tak terlalu membakar di kulit—hanya memberikan kilau indah di atas permukaan danau hitam. Seorang bocah laki-laki bersurai pirang platina nampak sedang berbaring sendirian di hamparan hijau tepat di sisi danau. Lengan kirinya diletakkan di bawah kepala sementara lengan kanannya yang diperban tergeletak merentang. Permata peraknya sesekali menatap ke langit, memperhatikan pergerakan awan-awan putih yang santai. Terlalu santai bagi seorang bocah laki-laki hiperaktif seperti dirinya.

Bocah laki-laki itu teringat kembali pada teman-teman berandal ciliknya di Skull Alley. Tak dapat disangkal bahwa dia merindukan keramaian dan kegilaan yang hampir setiap hari terjadi di sana. Padahal dia baru meninggalkan tempat itu sekitar dua minggu tapi rasanya seperti sudah sangat lama. Sesungguhnya dia ingin menulis surat pada mereka semua melalui Bobo, burung hantu elangnya. Tapi dia sedikit takut bila Bobo sampai dengan selamat di sana, burung hantu itu takkan kembali lagi karena ditangkap dan dijadikan santapan oleh Kurtzee. Haha, just kidding. Alasan sesungguhnya adalah dia ragu. Mengirimkan surat melalui burung hantu bisa berarti bahwa dia mengatakan pada para berandal cilik di Skull Alley bahwa dia adalah seorang penyihir. Dan itu rasanya bukan hal yang bijaksana karena dia tak yakin bagaimana pendapat teman-teman muggle-nya itu tentang penyihir.

(Menghela napas)

Jemari kanannya yang bebas kini menggenggam sebuah batu berukuran sedang, pas dalam genggamannya. Bocah itu kemudian mengangkat tubuhnya—duduk dan melemparkan batu tersebut dengan kencang. Membuat luka di lengannya terasa sedikit nyeri. Batu itu memantul beberapa kali di atas permukaan air sebelum akhirnya tenggelam ke dasar danau. Membentur seekor gurita raksasa, mungkin. Dia tahu bahwa perasaan homesick-nya itu hanya akan berlangsung sementara. Dia sendiri yang memutuskan akan menjadi penyihir hebat untuk melindungi orang-orang yang dia sayangi. Lucretia, Candy dan—Baby Belle. Dia sudah berjanji pada Belle bahwa dia akan selalu menjadi pelindungnya. Akan selalu ada di samping adik sepupunya itu kapanpun dia dibutuhkan. Sedang apa gadis kecil itu sekarang? Biasanya jam segini, Belle sering duduk bersandar di pohon yang paling dekat dengan sisi danau untuk bermain gitar dan bernyanyi. Kangen.

Bicara soal adik, benaknya kini teringat pada satu sosok mungil yang dikenalnya di Leaky Cauldron. Gadis mungil sebelas tahun yang selalu membawa boneka beruang bernama Tuan Bubu dalam pelukannya. Gadis mungil itu tak terlihat seperti seorang anak berusia sebelas tahun di matanya. Apalagi caranya bicara yang terlihat seperti balita. Yeah, gadis mungil itu selalu membuat Zeus terlihat seperti seorang om-om pedofil karena gemas setengah mati ingin mencubit pipi ataupun memeluknya. She looks like a baby, y'know! Memang bukan berarti Zeus naksir pada gadis mungil itu, tapi lebih kepada ingin menjadikan gadis mungil itu sebagai adiknya. Dia ingat, di depan Calnera, dia selalu berbicara seperti bicara pada balita, bukan pada anak sebelas tahun. Bahkan dia menyebut dirinya sendiri dengan sebutan kakak. Kalau salah satu penghuni Skull Alley melihat kelakuannya itu, dia pasti akan ditertawakan habis-habisan.

Apakah ada cara untuk menahan rasa gemas dan geregetan jika berada dekat-dekat gadis mungil penyebar virus pedofil itu? Jika ada, tolong beritahu Zeus.

******

Jika ada kesempatan, aku akan memperbaiki sikap di depan Calnera.

Bocah laki-laki itu berjanji pada dirinya sendiri sambil sekali lagi melemparkan sebongkah batu ke permukaan danau hitam—tak peduli pada rasa nyeri yang menyusul merambati lengan kanannya. Konyol rasanya bersikap seperti demikian pada seorang gadis yang baru dikenalnya belum lama. Gadis mungil itu berbeda dengan Belle yang pada dasarnya memang manja. Ah, mungkin ini karena dia terbiasa memanjakan Belle sehingga dia jadi kesulitan saat bertemu anak lain yang terlihat manis seperti adik sepupunya itu. Sifat orang berbeda. Itu yang harus dicamkan dalam hati bocah tigabelas tahun itu sekarang. Belle senang diperlakukan sebagai tuan puteri dan dimanjakan, Calnera belum tentu. Apalagi, Calnera itu perempuan dan dia laki-laki. Bisa-bisa gadis mungil itu salah paham dengan tindakannya. Sambil mendengus, dia mengacak-acak rambutnya sendiri.

Zeus masih memandangi riak-riak air akibat lemparan batunya tadi ketika tiba-tiba sebuah suara imut mengalir masuk ke dalam gendang telinganya. "Selamat sore, Tuan Zeus. Apa kabar?" Demi Merlin, doa asal-asalan yang barusan dipanjatkan seenaknya itu dikabulkan secepat ini?! Bocah laki-laki itu membelalak sesaat sebelum menengok dan memberikan senyuman pada gadis mungil yang kini duduk di sampingnya. Dia lucu, demi Tuhan. "Ha... hai. Kabarku baik. Bagaimana denganmu, Tu—eh Calnera?" Yeah, langkah pertama untuk memperbaiki sikap, dia harus mulai memanggil Calnera dengan namanya. Bukan dengan sebutan tuan putri kecil. Ada rasa lega di hatinya kini, merasa dirinya bisa mengontrol keinginan untuk memperlakukan Calnera selayaknya balita.


Hanya—

—sesaat.


“Zeus! Dan Calnera, kan?” Tiba-tiba saja Emmy muncul dan duduk di samping Calnera, langsung merangkul dan memeluk gadis mungil itu erat-erat. Bahkan menempelkan pipinya ke pipi Calnera yang imut itu. “Haaa, tidur sambil memeluk Calnera, enak yaa.”

Glek.

Tidur sambil memeluk Calnera? Oh Merlin. Kirimkan Belle untuk menyelamatkan aku.

Bocah laki-laki itu menelan ludah saat melihat betapa senangnya Emmy bisa memeluk Calnera tanpa rasa canggung. Jemarinya tanpa sadar meremas helai-helai rerumputan yang mencuat di sela jari-jarinya. Mati-matian berusaha menjaga ekspresinya agar tetap cool meski perasaannya saat itu amat sangat ingin melakukan hal yang sama seperti yang Emmy sedang lakukan. Bocah itu kini menggigit bibirnya, memalingkan wajah sebelum kehilangan kontrol diri—jaga image. "Hai, M!" ujarnya cepat lalu bangkit berdiri. "A... aku lari-lari dulu sebentar. Okay?"

Katanya, melakukan aktivitas yang menguras tenaga dan membuat tubuh berkeringat bisa membuat pikiran-pikiran yang tak diinginkan enyah dari kepala. Zeus pun kini mulai berlari di tepi danau dengan kencang, secepat yang dia bisa. Terus dan terus berlari kemudian berbalik ketika dirasanya dia sudah cukup jauh, dan berlari kembali ke tempat Calnera dan Emmy berada. Masih berlari di tempat dengan keringat mulai mengalir di pelipisnya, bocah laki-laki itu menghampiri kedua gadis yang lebih muda darinya itu—memberikan cengiran sekilas dan kembali duduk, kali ini di samping Emmy. Rasanya, dia tak mampu duduk tepat di samping Calnera saat ini jika dia memang ingin bisa mengontrol dirinya. "Haaa—olahraga itu memang menyegarkan!"

Menyegarkan pikirannya terutama.

******

"Tuan Zeus marah padaku?"

“Hei, kenapa pindah tempat?”


GLEKK.

Calnera mengira Zeus marah padanya. Menurutmu, kira-kira seperti apa perasaan yang berkecamuk dalam hati seorang bocah laki-laki berusia tiga belas tahun dengan iris perak dan rambut pirang platina itu, sehingga dia kini terdiam dengan mulut terbuka menatap dua orang gadis manis yang duduk di sampingnya? Hahaha. Bocah laki-laki itu kebingungan karena tindakannya sendiri. Dia duduk di samping Emmy, alih-alih duduk kembali di tempatnya di sebelah Calnera setelah berlari-lari tadi. Keningnya berkerut sekarang. Kedua alisnya bertaut. Mulutnya terkatup rapat. Gumaman terdengar. Bingung bagaimana harus menjelaskan alasannya. Rasanya tak mungkin dia bilang terus terang bahwa duduk berdekatan dengan Calnera akan membuat dirinya gemas setengah mati sehingga ingin mencubit gadis mungil itu, bukan?

"Tidak. Tidak. Untuk apa aku marah padamu, Tuan pu—err... Calnera? A... aku hanya salah ambil posisi duduk. Hehehe," ujarnya gugup sambil menarik tubuh dengan kakinya sehingga kini dia duduk tepat di depan Emmy dan Calnera. Ya, Tuhan. Dari depan sini wajah mungil Calnera sangat menggemaskan. Apalagi dengan tampangnya sekarang yang mengira Zeus marah. Zeus menggaruk-garuk kepalanya sambil nyengir. Kedua tangannya tak tahan ingin menjulur dan mencubit pipi Calnera yang terlihat lembut dan tembam. Kedua tangannya harus disibukkan dengan sesuatu!! Dan tiba-tiba saja bocah itu mengambil posisi tengkurap dengan kedua tangan menopang tubuhnya. Push-up dimulai. Apapun caranya, dia harus membuat kedua tangannya bekerja supaya tidak tiba-tiba mencubit pipi mungil Calnera.

Aduh, lukanya terasa menggigit karena menopang tubuhku. Biar sajalah.

"Kalian... suka olahraga, tidak?" tanyanya sambil tetap push-up di depan Emmy dan Calnera. Matanya menatap lurus ke tanah. Konsentrasi push-up akan membuat pikirannya anehnya tentang cubit-mencubit itu lenyap. Mudah-mudahan.

Dan kali ini, Zeus bersyukur Kurtzee berada jauh di pinggiran London bagian timur.

******

One

Two

Three



...

......





Twenty-five




Bocah pirang itu terus menghitung dalam hati sembari melakukan push-up. Memang benar, konsentrasi membuatnya lupa akan keinginan hatinya yang sangat kuat untuk mencubit pipi empuk Calnera. You're so smart, Zeus. SO VERY SMART. Muahaha. Pokoknya, selama berada di dekat nona mungil itu, Zeus akan melakukan push-up sampai gejala-gejala pedofilnya sembuh total. Usia Zeus baru tiga belas tahun, rasanya aneh jika dalam usia semuda itu dia sudah ngidam punya anak. Betul?

Ngidam adik, narator bodoh.

"Suka, aku suka... yang tidak berat seperti push up," Calnera menjawab pertanyaannya dengan suara yang lucu, "Tidak ikutan, Nona?"

Sambil bertanya pada Emmy, Calnera malah mem-push-up-kan Tuan Bubu di tanah. Demi Merlin. Zeus tak boleh melihat pemandangan yang super lucu itu atau push-up-nya akan gagal total. Bocah laki-laki itu mati-matian menahan keinginan untuk menoleh dan memperhatikan tingkah Calnera. Mati-matian menahan pandangannya tetap lurus ke tanah. Mati-matian berhitung dalam hati—hitungannya sudah kacau balau, ngomong-ngomong.



One

Two

Three




Gadis mungil itu tertawa. Tawanya benar-benar seperti tawa bayi yang polos dan suci. Oh Tuhan. Cobaan macam apa yang Kau berikan pada seorang bocah berusia tiga belas tahun itu? Zeus mengernyit, mengerutkan kening. Mengulangi hitungan push-up-nya dari awal lagi.



One

Two




"Ahahaha, mau main banyak-banyakan push up, sama Tuan Bubu?"

Mati. Calnera mengajaknya bicara dan akan sangat tidak sopan apabila dia tidak menatap mata gadis mungil itu saat berbicara. Setetes keringat mengalir dari pelipisnya, bocah laki-laki itu menelan ludah. Push-up-nya terhenti sesaat lalu menoleh ke arah Calnera sambil nyengir lebar—dengan ekspresi aneh. "Mau saja. Tapi, aku pasti kalah sama Tuan Bubu."




One

Two




"Tuan, itu perban luka betulan?"

Berhenti lagi. Sepertinya gelar so very smart itu harus dicabut sekarang. Karena push-up-nya terbukti gagal. "Iya, betulan. Kenapa?"

"Tuan Zeus, sudah jangan lakukan itu lagi. Jangan nakal, Tuan."

Aduh. Diminta dengan cara manis seperti itu, siapa yang sanggup menolak? Senyum manis sudah tersungging begitu saja di wajahnya kini. Senang dengan perhatian gadis mungil itu. Tapi, tidak, di saat seperti ini justru dia harus push-up lebih ekstrim lagi. Tak peduli meski lengannya sakit ataupun terbuka dan berdarah-darah sekalian. Otaknya harus dibersihkan dari keinginan cubit-cubit itu. Ah, seandainya saja Calnera mau jadi adik angkatnya, Zeus tak perlu depresi seperti ini. "Tapi... aku... harus."



One

Two

Three

....

Ten




“Calnera, jadi boneka ku yah, yah yah,” pinta Emmy. “Nanti kalau mau, aku akan suruh Zeus berhenti push up, okay?”

WHAT!? Jadi boneka?! Mauuuu...

Bocah laki-laki itu menatap Emmy dengan tatapan super-iri-aku-juga-mau-peluk. Bibirnya mengerucut sesaat lalu dia mulai melanjutkan push-upnya lagi. Luka di lengannya sudah sangat sakit sekarang. Si-hal. Kalau dia tidak terluka, berapa kalipun dia kuat.

“Hey, Zeus. Berhenti push up, atau nanti ku seret ke klinik," ancam Emmy sambil memasang tampang galak.

Zeus menurut lalu duduk dengan wajah memelas menatap Emmy, "Okay, Mommy." Hehehe. Mommy Emmy. "Calnera, call her Mommy from now on. I will be your Daddy," ujarnya pada Calnera sambil nyengir lebar. Iseng.

******

"Tidak deh, terima kasih."

“Emmy juga tidak ingin menjadi Mommy. Emmy ingin menjadi anak saja dan Calnera jadi boneka ku.”


Dengan cepat Calnera menolak candaannya soal Mommy-Daddy. Bahkan, Emmy juga begitu. Sigh. Padahal Zeus tadi hanya berkelakar karena cara bicara dan tingkah Emmy terlihat seperti seorang ibu memarahi anaknya. Zeus mengerutkan keningnya memandangi kedua anak perempuan yang duduk di hadapannya sekarang. Tanpa sadar, pipinya menggembung. Calnera telah bersedia menjadi boneka Emmy ketika mendengar tawaran Emmy bahwa dia akan membuat Zeus berhenti push-up. Itu curang, memanfaatkan Zeus dan kebaikan hati Calnera untuk kesenangannya sendiri. Zeus juga mau. Jadi, maaf saja jika dia sekarang berniat untuk mengikuti jejak Emmy.

“Oh iya, sini lengan mu. Pasti sakit kan? Ku obati lagi.”


Bocah berandal itu mendesis, menahan rasa sakit yang menjalar di lengannya ketika Emmy melepas perban di lengannya. Perban itu sedikit menempel pada lukanya yang masih basah dan bernanah. Luka yang cukup besar, hebat juga burung hantu elang milik si banci, setidaknya burung hantu elang itu telah membuktikan diri bahwa dia bukan banci seperti pemiliknya. Zeus kemudian menarik lengannya menjauh dari Emmy dan mengambil posisi push-up lagi.

"Aku takkan berhenti push-up kalau Calnera tak mau jadi adikku," ujarnya sambil cemberut. Bocah berandal itu nekat melanjutkan push-upnya. Menunggu jawaban dari gadis mungil yang menggemaskan itu. Satu, turunkan badan, tumpukan segala beban di telapak tangan dan nyess... luka di lengannya dengan bahagia kembali mengeluarkan darah segar. Dua, angkat tubuh perlahan, dorong dengan kekuatan lengan. Darah kembali keluar dari lengannya yang gemetar kesakitan. Tiga, turunkan lagi tubuh perlahan. Gerakannya sudah semakin goyah, keningnya berkerut. Darah mengalir sampai ke telapak tangannya lalu berlanjut ke hamparan rumput. Bocah tiga belas tahun itu menggigit bibir untuk menahan rasa sakit di lengannya. Memang, Zeus adalah bocah keras kepala. Apalagi jika dia sudah menginginkan sesuatu, apapun akan dilakukan untuk mendapatkannya meski mencelakai dirinya sendiri. Serampangan.

Dia tahu, kali ini dia agak berlebihan. Tak seharusnya dia memaksakan keinginannya pada Calnera. Tapi, dia sangat menginginkannya. Entah kenapa. Kebodohan seorang bocah tiga belas tahun memang kadang tak bisa ditebak. Di pikirannya, kalau dia jadi kakak Calnera maka dia akan lebih bebas memberi pelukan, cubitan gemas atau tepukan di kepala pada Calnera tanpa perlu merasa seperti om-om pedofil.

******

Pusing. Kepalanya mulai pusing sekarang. Tapi bocah berandal keras kepala itu belum berniat berhenti sampai keinginannya terpenuhi. Yeah, sebut saja dia bodoh. Dia memang seringkali seperti itu, melakukan sesuatu yang tak masuk akal bahkan membahayakan dirinya sendiri. Beruntung selama ini ada Kurtzee dan teman-teman berandalnya yang masih punya akal sehat untuk menahan jika Zeus hendak melakukan hal bodoh seperti yang dia lakukan sekarang. Coba kalau tidak, mungkin sekarang Zeus tidak akan seutuh sekarang.

Bocah itu bisa melihat darah yang mengalir dari lengan kanannya, merasakannya dan mencium bau amisnya. Pandangannya mulai buram dan dia mengumpat dalam hati. Sadar akan kebodohannya sekaligus enggan berhenti dan menyangkal kata-katanya sendiri. Tak akan berhenti sebelum Calnera setuju menjadi adiknya. Sekarang dia merasa tolol dan berharap ada seseorang menghentikannya dengan paksa alih-alih dia berhenti sendiri.

Gengsi, Zeus?
Shut up!


"Hai, Emmy. Masih ingat aku?"

Suara itu?

"Halo, adik kecil. Siapa namamu? Aku Belle. Kelas 2, Ravenclaw. Kalau tak salah kamu di Ravenclaw juga, kan?"

Belle?

Zeus terkesiap ketika menyadari bahwa Baby Belle-nya sekarang ada disana. Bocah berandal itu tak mengira bahwa dirinya akan tertangkap basah oleh gadis itu saat sedang melakukan perbuatan konyol ini. Tapi, bisa apa dia selain meneruskan kebodohannya? Sudah terjun, tenggelam sekalian. Si berandal mendengus.

"Zeus sedang apa? Sudah gemetaran begitu."

Dia terdiam, tak tahu mau menjawab apa.

“Sedang menyapa malaikat maut,” ujar Emmy dengan nada santai yang sarat akan sindiran. Dan kemudian, Belle pun menyadari luka di lengannya. Gadis kecil itu menarik tubuh Zeus dan jatuh terduduk ketika bobot tubuh anak laki-laki itu menimpa tubuh mungilnya. Dia sekarang terbaring di atas paha ramping adik sepupunya yang cantik. Sedang marahpun, Belle tetap terlihat cantik.

"Zeus bodoh! Luka di lenganmu terbuka dan berdarah, kenapa masih push-up! Demi Merlin! Dari dulu Zeus selalu saja meremehkan luka!"

“Karena dia bodoh, Miss Belle.”

"Kalau Tuan berani push up lagi, atau apapun tindakan yang menyakiti diri sendiri, aku tidak mau kenal sama Tuan lagi."

“Tenang saja Calnera. Ketika ia push up lagi, Calnera pun tak akan melihat wujud dia lagi.”


Tiga gadis kecil itu bergantian memarahi, mengatai dan mengancamnya. Dan apa yang diberikan oleh Zeus sebagai balasan atas kekhawatiran mereka? Cengiran nakal yang lemah. Kepalanya pusing. Si-hal. Dia mengangkat tangan kirinya dan meletakkan telapaknya di kening. Mengurut-urut pelan. Dan tiba-tiba dia terdiam ketika sesuatu mengusiknya.

Wait. Belle bilang apa tadi? Dari dulu? Artinya...

Zeus mengangkat tubuhnya dengan susah payah, duduk, lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Belle—berbisik lirih, meyakinkan supaya kedua gadis kecil yang lain tidak mendengar suaranya, "Belle, kau sudah ingat? Kau tadi bilang dari dulu aku selalu meremehkan luka! Kau sudah ingat?" Senyumnya mengembang sementara jemarinya mengusap lembut pipi adik sepupunya itu. Dia sungguh berharap ingatan Belle kembali, kecuali tentang kematian ayahnya. Aneh, tubuhnya terasa berat sekarang. Pemandangan sekitarnya terlihat bergoyang.

Hoo—gempa?

“Sakitnya kurang? Mau kutambah sakitnya, eh?” ujar Emmy tiba-tiba sambil berdiri—membuat Zeus mengalihkan perhatiannya dari Belle. Gadis tomboy itu menggosok kedua tangannya dan melakukan stretching. Nampak siap menghajar dirinya. “Sudah siap? Atau mau berhenti?”

Zeus mendongakkan kepala, hendak menjawab ocehan Emmy ketika tiba-tiba saja kegelapan menyelimuti dan menarik kesadarannya dengan cepat. Tubuhnya ambruk lemas ke hamparan rumput. Pingsan.

Welcome Juniors

Hoahmm—

Bocah itu mengantuk, makanya dia menguap. Cuaca sore itu terbilang panas. Kalau sedang begini, dia jadi semakin rindu pada Skull Alley. Kenapa? Karena di saat panas seperti ini, dia dan teman-teman berandal ciliknya akan ramai-ramai pergi ke sungai yang berada tak jauh dari sana lalu berenang sampai puas. Seusai berenang, mereka akan mendatangi toko es krim yang pemiliknya sangat baik hati karena selalu memberikan mereka es krim gratis dengan syarat mereka tidak mengacak-acak toko es krim tersebut. Baik sekali, bukan? Seandainya saja semua pemilik toko di pinggiran London bagian timur berlaku baik pada geng berandal ciliknya, toko-toko itu pasti akan aman dijaga oleh mereka dan bukannya diacak-acak oleh beberapa anak buah Zeus yang tergolong iseng. Tidak, mereka tidak mencuri ataupun malak. Hanya masuk ke dalam toko tersebut lalu main-main atau pura-pura bertengkar, salah satu dari mereka akan jatuh menabrakkan diri ke rak manapun dan membuat barang-barang disana berantakan. Setelah itu, tentu saja kabur, kecuali untuk para berandal perempuan yang masih kecil. Mereka hanya perlu memasang wajah bersalah dan dengan mudah diampuni, malah tak jarang diberikan permen oleh pemilik toko. Muahaha.

Sayang sekali, di Hogwarts agak sulit melakukan keonaran seperti itu. Pertama, disini tidak ada TOKO. Kedua, siapa yang cukup nakal dan iseng untuk dijadikan anak buahnya? Ketiga, disini ada Belle. Zeus tak mungkin bertingkah macam-macam di depan Baby Belle-nya. Jaga image sebagai seorang kakak yang keren, tentu. Kalau tidak begitu, bagaimana cara membuat Belle percaya bahwa dia akan menjadi pelindung gadis kecil itu? Seorang pelindung di mata Belle adalah sosok yang seperti pangeran-pangeran atau ksatria dalam dongeng. Bukan pemimpin berandalan seperti dirinya. Meski begitu, Zeus tak keberatan bertingkah aristrokrat untuk menyenangkan adik sepupunya itu. Biar begini, sampai usia 8 tahun, Zeus tumbuh besar di Kastil Elsveta dan dididik selayaknya bangsawan. Jadi, gaya aristrokrat sebenarnya sudah melekat dalam diri bocah itu. Catat, hanya saat dia diam.

Hoahmm—

Tungkai kurusnya terus melangkah, membawanya menuju danau hitam. Ingin rasanya menceburkan diri ke sana sekedar untuk mendinginkan badan. Tapi, kata Belle, di dalam danau itu banyak sekali makhluk-makhluk gaib dan ada juga gurita raksasa. Seram. Zeus belum mau mati. Kali ini dia kesana untuk mencari Belle, selama di kastil, entah kenapa Baby Belle-nya seolah menghilang. Bagaimana mau melindungi kalau bertemu saja susah. Seharusnya, dimana ada Belle, disitu ada Zeus. Betul?

Iris peraknya melirik ke sebuah kerumunan di dekat danau, kemudian kepalanya ikut menoleh karena melirik itu membuat mata pegal, tahu. Hooo—banyak anak kelas satu disana. Tertarik untuk mengetahui apa yang sedang dibahas, Zeus pun berlari menghampiri kerumunan itu. Tak dilihatnya ada undakan kecil berbatu tak jauh dari tempatnya sekarang. Dan dengan sukses sepatunya tersangkut di undakan tersebut dan terjatuhlah si bocah pirang platina ke atas hamparan hijau, terguling-guling (sengaja) menuju satu sosok gadis berambut pirang kecoklatan yang dikenalnya. "Hai, M! Sedang apa kumpul-kumpul disini?"

Bocah itu segera bangun dan duduk di samping Emmy. Melemparkan cengiran lebar pada semua anak yang ada dalam kerumunan itu. "Halo semua. Zeus bergabung."