On the Night Like This




99B Charing Cross Road
Covent Garden, London


Jadi ada yang sedang menjerang satu kuali penuh Ramuan Merica Mujarab di bawah pori-pori kulitnya.

Analogi, Flemming menerjemahkannya dengan tiga puluh delapan koma lima derajat selsius dan saran tepat untukbedrest. Kayleigh tidak menolak atau menurut atau mengerucutkan bibir maju ke depan (seperti yang biasa dia lakukan dalam sosok abobil empat belas tahunnya). Untuk membantah pun dia tidak punya tenaga, karena membantah Flemming akan berlanjut dalam debat panjang yang akan berlangsung paling tidak selama setengah jam, dan itu jauh lebih melelahkan daripada menonton konser D'Lordz dua setengah jam nonstop dalam keadaan digantung terbalik (apadeh). Meskipun saran untuk tetap tinggal di tempat tidur, alih-alih keluar rumah dengan hidung memerah dengan cairan hijau kental mengendap di dua rongganya, adalah yang terbaik yang bisa didengarnya sekarang, gadis itu menggelengkan kepala diam-diam. Keras kepala.

Dia memijat-mijat keningnya yang hangat selagi langkah kakinya membawanya masuk ke ruangan lengang dengan satu tempat tidur berselimut-jahitan-perca, satu set meja dan kursi bocel-bocel, lemari pendek, dan dinding yang dipenuhi tempelan poster dan perkamen. Lengang, rapi, dengan dua buah koper yang sudah dipak di dekat pintu. Oh ya, hanya beberapa hari lagi menjelang keberangkatannya ke negeri orang dan kesehatannya tidak mau diajak kerja sama. Ngedrop dengan sukses. Terbatuk-batuk kecil, diayunkannya tongkat sihirnya sampai mangkuk berisi sup bawang yang masih mengepul itu terjungkir pelan-pelan dan menumpahkan isinya dalam wadah kedap udara lain yang sudah disiapkan. Satu ayunan tongkat lain, dan wadah itu menutup lalu meluncur masuk dalam tas sandang hitamnya.

Selesai. Masih pukul sembilan malam. Peduli setani demam ini dulu sebentar—dia harus segera pergi ke Leaky Cauldron sebelum Flemming memergokinya kabur lagi. Tidak harus sih. Hanya ingin saja. Ingin yang benar-benar ingin. Kayleigh meraih tongkat sihirnya, mengayunkannya sampai lampu kamarnya padam dengan sukses, lalu melangkah limbung keluar kamar. Dibacanya lagi pesan yang dikirimkan Zeus Pierre padanya tadi sore sebelum gadis itu menganggukkan kepalanya yang pusing. Dihelanya pelan-pelan nafasnya yang mulai berat ketika pandangannya tertuju pada potret bergerak dua orang yang dibingkai di atas meja.

Cain. Cain dan Kayleigh—London Zoo, musim panas 1989.

Dalam dua detik diamnya, tangan itu akhirnya terjulur juga, meraih bingkai foto itu dengan cepat... dan menelungkupkannya ke bawah. Tidak mengatakan apa-apa lagi, dia memperbaiki posisi tas sandangnya dan segera melangkah keluar.

Sial. Kangen Cain.

***

Kamar 112
Leaky Cauldron, London


Seratus Dua Belas, ini dia. Zeus bilang tidak perlu ketuk, langsung masuk saja, jadi dia mendorong pelan pintu yang tidak terkunci itu dan melongokkan kepala lebih dulu. Ha. Entah ini bisa dibilang kompak atau apa—yea yea, apasajaboleeeeeh—namun mereka berdua sakit disaat yang bersamaan. Demam, flu, dan kehilangan kemampuan untuk berdiri atau duduk tanpa merasakan dunia sedang berputar dalam putaran hebat nyaris jungkir balik. Zeus mengabarinya tadi sore, dan karena rumahnya dekat sekali dari sini, Kayleigh bersedia datang. Hei, dia sudah menganggap Z seperti kakak kandungnya sendiri... dan beberapa hari lagi dia akan pergi. Ke sebuah negara di seberang sana, yeps. Tidak ada salahnya meluangkan waktu sebentar untuk menengok Zeus.

Lagipula, dia butuh bahu-bahu menganggur untuk bisa dipakai menyandarkan kepala sejenak. Dan seseorang yang masih mau diajak bercerita, langsung, tanpa perantara burung hantu (meskipun arsip surat-menyurat musim panasnya dengan Erin menggunung dengan sangat cepat, melebihi pertumbuhan ruas bambu di negeri tropis).

"Hey, ini aku," dia melangkah masuk, menghampiri tempat tidur dengan sosok yang sangat dikenalnya sedang terbaring di atasnya. Whoops. Diletakkannya punggung telapak tangannya di atas dahi Zeus, mengukur termalnya, tentu saja.

"Seriously, seseorang bisa memasak telur di atas sana."

Yeah, di atas dahi mereka berdua, to be exact.






Kamar 112
Leaky Cauldron, London



Akhirnya, dia tumbang juga.

Pemuda yang sebenarnya memiliki stamina sangat kuat itu kini terbaring di atas tempat tidur di kamar penginapan. Sengaja menjauh dari rumah, dari Skull Alley, dari kastil Elsveta di Rusia bahkan dari rumah Nabelle di Dublin. Bukan karena mereka mengganggu hanya saja jika Zeus berada di salah satu tempat itu maka dia takkan bisa beristirahat dengan tenang. Grandpa Elsveta selalu sibuk mengurusi ini dan itu berkenaan dengan perubahan sistem pemerintahan Rusia dan kekeraskepalaan sang kakek untuk tetap mempertahankan kebangsawanan mereka. Skull Alley pun penuh dengan anak-anak yatim piatu yang membutuhkan perhatiannya (jelas Zeus takkan mau beristirahat kalau sudah ada di sana). Di rumah, melihat wajah Candy hanya membuatnya semakin galau. Dan Nabelle sendiri sekarang sedang sibuk mengurusi pendaftaran kuliahnya di Universitas Seni London.

Leaky Cauldron jadi pilihan satu-satunya. Dekat dengan tempat Kayleigh. Walau sesekali terdengar suara bising dari bar di bawah, Leaky Cauldron terbilang tenang. Dia bisa tidur lelap tanpa memusingkan apa-apa. Sesekali Nabelle datang beraparisi membawakannya makanan dan merawatnya sampai tertidur tapi malam ini sepupu kesayangannya itu harus mengurus Benaya yang masih terbaring di rumah sakit. Kondisi Benaya sudah lebih baik meski mereka semua harus pasrah pada apa yang terjadi dengan ingatan anak itu. Setidaknya ketakutan dokter soal kelumpuhan sudah bisa dibuang jauh-jauh.

Brengsek. Sudah dua hari lewat tapi keadaannya bukan semakin membaik malah semakin memburuk saja. Seluruh tubuhnya seperti ketambahan bobot berlipat-lipat dari bobot tubuhnya sendiri dan seolah ada gurun pasir di dalam sana mengambil alih. Panas dan kering. Hingga rasanya Zeus ingin membuka semua pakaian yang melekat di tubuhnya. Well, dia memang hanya mengenakan boxer saja, sih. Plus selimut putih tipis yang menutupi tubuhnya. Kayleigh mau datang. Mana mungkin dia buka-bukaan di depan adik sendiri?

Derit pintu terbuka kemudian terdengar. Zeus menoleh dan menyipitkan mata melihat siapa yang datang. Seharusnya gadis berambut coklat itu, sih.

"Hey, ini aku,"—dan memang dia.

"Hey, K," balasnya dengan suara serak. Pemuda sembilan belas tahun itu tersenyum tipis ketika Kayleigh meletakkan punggung tangan di keningnya dan bercanda soal memasak telur di atasnya. Zeus menggenggam tangan itu kemudian menariknya pelan hingga gadis berambut coklat itu terduduk di tempat tidurnya. "Kau terlihat pucat, K,"ujarnya memandangi wajah Kayleigh dengan raut kuatir, "Kau sakit juga, ya?"

Gelombang rasa bersalah tiba-tiba saja mengalir di dalam hatinya.

"Kenapa tidak bilang?"

Kalau tahu, aku takkan menyuruhmu datang.







Hangat.

Yeah, suara yang serak teredam itu sudah cukup menunjukkan ada yang tidak beres juga dengan saluran tenggorokan dan hidung Zeus, dan Kayleigh merasa seperti sedang mencengkeram gagang mug berisi cokelat panas yang baru saja diseduh air hangat. Dia terduduk pelan di sisi tempat tidur dan meletakkan tasnya di lantai, bersandar pada meja di samping tempat tidur, sebelum menarik keluar wadah berisi sup bawang yang tadi dia siapkan dari rumah. Ini bukan sup bawang biasa, sih. Ada ramuan tertentu yang diteteskan kedalamnya, efektif untuk mengurangi produksi lendir di rongga hidung dan menurunkan suhu tubuh. Bahkan Bian Kenneth van Houten sendiri sudah memvalidasi kesahihan khasiat ramuan-dalam-sup dalam sebuah wawancara di sebuah tabloid-sihir-kurang-terkenal. Oke, memang (doh).

Dia menyadari dalam dua detik kalau Z hanya menenggelamkan diri dalam balutan selimut bulukan Leaky Cauldron tanpa mengenakan pakaian sehelai pun. Dan yeah, sekali lihat juga tahu kalau pemuda itu mandi keringat. Dia sekarang meraba leher Z dengan punggung tangannya, kemudian bibirnya langsung mengerucut singkat—protes.

"Pakai baju, ya?" Gadis itu bangkit limbung mencari-cari kaus atau kemeja longgar di sampiran kursi, kemudian menarik salah satunya dan menyerahkannya pada Zeus. "Kau mandi keringat—astaga. Sebentar."

Handuk kering. Pasti ada. Terbatuk-batuk menahan pening, Kayleigh menyambar sehelai handuk kering yang terlihat matanya dan membantu Zeus duduk, agar dia bisa menyeka keringat yang membanjir sebelum membantunya mengenakan kemeja longgar itu.

"Kau sakit juga ya?"

Campuran semingguan begadang, banyak pikiran, dan kangen. Yeah, memang. Memang sedang sakit. Tapi dia datang kesini dengan kesadarannya sendiri, beberapa hari lagi dia sudah di Stuttgart dan Zeus akan kembali ke Hogwarts. Kalau mau bertemu langsung empat mata seperti ini harus menunggu lagi sampai liburan musim dingin atau malau summer break tahun depan lagi, kalau dia melewatkan kesempatan yang ini.

"Tidak apa-apa," dia menyerah, memberi kesempatan agar tubuhnya beristirahat beberapa puluh detik dengan duduk di tepian tempat tidur dengan punggung disandarkan ke dinding, satu tangannya sudah menggenggam tangan Zeus lagi. "Cuman kecapekan—dan kau bilang kau sendirian di Leaky Cauldron, lagi sakit begini pula. Masa mau kucueki begitu saja?" Satu toyoran pelan ke pelipis Z, dan dia nyengir tipis.

"Pasti belum makan. Mau kusuapi sup?"

Iya, dia juga bisa jadi yang seperti ini di saat-saat tertentu.






Serius, deh. Demi apapun. Pemuda sembilan belas tahun itu bukannya mau pamer otot atau apa sampai-sampai hanya memakai boxer saja. Sebenarnya sejak tadi sebelum Kay datang pun dia sudah berniat memakai kaosnya. Tapi karena keringatnya masih bandel, berulang kali kaosnya basah dan akhirnya pemuda itu jadi capek sendiri lalu akhirnya ketiduran sampai Kay datang. Nasib orang sakit, tidak bisa mengendalikan tubuh sesuai kemauan. Walau rasanya risih, Zeus terpaksa pasang muka badak alias berlagak tidak tahu malu.

"Thanks," ucapnya ketika Kay mengambilkan sehelai kaos dari dalam tasnya di lantai. Lalu berdecak ketika lagi-lagi Kay berdiri untuk mengambil handuk kering. Kalau saja Kay tidak sedang sakit, Zeus takkan merasa bersalah begini. "Sudah, K. Duduk saja. Tak usah ngapa-ngapain. Nanti sakitmu makin parah." Zeus kembali menarik gadis itu untuk duduk setelah ia dibantu duduk lebih dulu. Memalukan. Dirinya lebih lemah daripada Kay sekarang. Diraihnya handuk kering yang ada di tangan K dan ia membasuh sendiri keringat di tubuhnya. Asal-asalan. Kemudian kaos yang diambilkan tadi juga dipakainya dengan susah payah. Badannya terasa bertambah bobot berkilo-kilo.

"Tidak apa-apa," jawab Kay membuat Zeus menggelengkan kepala dan membalas genggaman gadis yang dianggapnya adik sendiri itu. Tahu bahwa beberapa hari lagi Kay akan pergi ke Jerman untuk pelatihan menjadi seorang magizoologist. Jadi, ia memutuskan untuk tidak banyak protes karena ia memang ingin bertemu dengan gadis itu sebelum ia kembali ke Hogwarts.

Cuman kecapekan—dan kau bilang kau sendirian di Leaky Cauldron, lagi sakit begini pula. Masa mau kucueki begitu saja?

Zeus tersenyum sambil memegang pelipisnya yang baru saja ditoyor oleh Kay, kalau saja ia tidak sedang lemas begini, toyoran itu pasti sudah dibalasnya dengan cubitan keras di pipi. Kay sedang beruntung saja. Ha. "Baiklah. Aku kalah," ujar pemuda itu akhirnya menyandarkan kepala ke dinding. Pusing.

"Pasti belum makan. Mau kusuapi sup?"

"Sup? Buat sendiri?" tanyanya kembali mengangkat kepala dan memandang Kay. Tidak ada tampang bisa memasak, memang. Tapi barangkali usia yang sudah beranjak dewasa membuat gadis itu belajar memasak. Untuk bekal menikahnya nanti, mungkin. Hey, Nabelle saja selama liburan ribut minta diajari semua resep nenek.

"Mau,"—mau disuapi. Tak peduli lidahnya sedang mati rasa. Orang sakit memang dimana-mana sama.

Manja.





Ohiyadoms.

Dia sadar sesadar-sadarnya, dengan titel lulusan Hogwarts dengan usia sudah menginjak delapan belas tahun seperti ini, sudah saatnya waktu mainnya sendiri dikurangi. Tidak, dia tidak bilang dia harus berhenti main-main total (dan menggadaikan gelar abobiltiga ke pasar daging terdekat, bukan begitu). Seorang Kayleigh masih jadi penggemar berat Bian Kenneth van Houten dan masih menganggap bahwa kegiatan main tic-tac-toe kepala Snape itu adalah salah satu cabang olahraga berpikir yang harus dilestarikan. Namun diatas semuanya, Flemming sudah memulai program ini sejak dua tahun yang lalu. Judulnya terlalu serius, Program Bertahan Hidup, padahal acaranya hanya belajar memasak, menyetir mobil, main gitar, belajar negoisasi, (terkadang membahas pengetahuan-pengetahuan umum "makanan" Flemming sehari-hari yang tidak pernah mau dijamahnya), dan... dan banyak.

Dan, yeah, ini salah satu resultan sederhananya. Beberapa orang bilang sekarang dia jadi lebih serius (dan mulai bisa nyambung diajak ngobrol yang sedikit berat). Yang lain bilang dia lebih suka menggalaw daripada diajak senang-senang lagi. Kayleigh bilang dia tidak peduli, toh Charlie Weasley juga galaw. Errrr, bukan. Iya juga sih, tapi bukan (karena Kenneth menolak ikut galaw). Aduh. Well, selama dia tidak merugikan orang lain, jadi apa salahnya? Kadang ada beberapa waktu yang membuatnya berpikir, tentang dirinya sendiri, tentang orang lain, tentang apa yang akan dia capai di masa depan... Dan yeah, bentuk perhatian-perhatian seperti ini juga tidak ada salahnya ia tunjukkan pada Zeus. Selagi sempat.

Siapa tahu ada chimaera nyasar yang mencaploknya di Black Forest nanti—kan?

Dan lihatlah, dua orang sakit yang duduk bersisian. Satu sama lain sudah menganggap hubungan ini telah merambah sejenis tali persaudaraan, jadi tidak ada kecanggungan ketika tangan Kayleigh menggenggam tangan Zeus dengan posisi kepala yang hampir disandarkan pada bahu pemuda itu. Yeah, baginya ini sama saja seperti saat dia mengurus Flemming yang sakit. Atau bagi Zeus, mungkin sama saja seperti dia diurusi Nabelle. Dan selayaknya orang sakit, level kemanjaan Zeus di detik ini sudah menyenggol atap kamar 112 ini sedemikian rupa, dan Kayleigh terkekeh pelan. Jarang dia melihat Zeus yang seperti ini.

Diraihnya wadah seperti mangkuk plastik yang tadi dibawahnya, kemudian dengan sekali sentak pelan tutupnya terbuka, merekahkan asap tipis dan aroma bawang dan rempah ke seluruh ruangan. Sayangnya hidungnya sedang tidak bekerja sebagaimana biasanya, aroma super-lezat itu jadi tidak terlalu tercium. Mungkin begitu juga yang terjadi dengan Z. Dia meraih sendok dan menyendokkan benda itu ke dalam cairan kental kekuningan dengan irisan wortel, bawang, dan sayuran lain itu, kemudian menyodorkannya ke arah mulut Zeus.

"Nih," inginnya terkekeh geli saja, sekali lagi. "Aaaaaa."





Kapan lagi dimanja begini?

Pemuda bermarga Elsveta itu nyengir lemah memandangi wajah Kay yang kini bersandar di bahunya. Dua orang sakit duduk berdampingan. Yang satu pucat tapi masih lincah-limbung (ini bahasa apa, ya?), yang satu lagi pucat basah kuyup tak kuat bangun. Dua-duanya terlihat menyedihkan seperti orang rabun menuntun orang buta. Baiklah, ini hanya racauan tak jelas. Skip. Intinya, Zeus yang sakit itu sedang dalam mode manja tingkat supreme (kalau ada). Dengan mata hanya terbuka setengah seperti orang mabuk, Zeus memandangi Kay dari dahi, hidung, bibir sampai ke dagunya. Dan tiba-tiba saja pemuda itu berpikir kalau adiknya yang manis itu seharusnya tidak boleh dibiarkan pacaran dengan orang lain. Biar saja jomblo selamanya. Toh, ada Zeus yang akan menemani.

^MANA BISA!

Lupakan. Hanya sisi siscom-nya saja yang tiba-tiba timbul ke permukaan. Pemuda itu kemudian terbatuk-batuk lalu berdeham-deham mengusir dahak yang kental di lehernya. Sudah kental, menggelitik pula. Sebenarnya memang gatal tapi reaksinya kalau tak ada Kay pasti hanya berguling saja di kasur. Berhubung ada orang, Zeus menambahkan erangan (ingat, lagi manja). Sesudah melewati dua bulan yang melelahkan rasanya pemuda itu wajar-wajar saja bertingkah begini. Iya, wajar. Wajar kalau nanti dijitak Kay atau mungkin disiram sekalian dengan kuah sup di dalam wadah yang sedang dibuka gadis itu.

"Aaaaaa."

Satu sendok berisi kuah kekuningan dengan potongan wortel, bawang dan sayur-sayuran disodorkan ke mulutnya. Zeus mengerutkan kening.

"Aku tak suka wortel."

Minta ditabok.





Nah, kan.

Ini saat-saat langka, dan saat-saat langka biasanya priceless. Dia biasanya melihat sosok Zeus sebagai sosok kakak hiperaktif yang sangat care pada orang-orang yang disayanginya. Mungkin karena naluri sosial Z sendiri sudah terbentuk sejak di Skull Alley. Hanya akhir-akhir ini saja, saat epidemik galawisme melanda separuh bagian bumi dan hampir semua orang yang ia kenal terkena dampaknya, Zeus makin terlihat murung. Sekarang saat kondisi tubuhnya sendiri menyerah dan nge-drop, dia baru tahu Z punya sisi yang seperti ini. Manja. Dan Kayleigh menertawakannya pelan—bukan mengejek, dia hanya gemas. Gemas sampai ingin mengacak-acak rambut gelap Z dengan satu tangan dan menoyor-noyor pelipisnya.

Errr, mungkin inilah yang dinamakan dengan oenjoe moment.

Dia tahu jenis demam yang seperti ini akan menciptakan sensasi pening di kepala (yeah, karena dia juga sedangmengalaminya), jadi dia mengurungkan niatnya untuk menoyor kepala Z. Tapi, yeah, dia menggantinya dengan satu tepukan ringan di pipi dengan bonus nyengir lebar tak berdosa seperti yang sekarang sedang dia lakukan. Rasanya peningnya sendiri sedikit mereda, meskipun ketika dia menghela nafas, bagian bawah hidungnya masih merasakan hembusan hangat. Masih demam. Dan hidungnya masih mampat... tenggorokannya juga. Ah, ya sudahlah. Pikirkan diri sendiri itu bisa nanti.

"Aku tak suka wortel."

"...."

Wah, minta diunyel-unyel ya?

Dia sedikit manyun lagi sekarang, menyendok ulang sup-tanpa-menyertakan-wortel kemudian menyodorkannya kembali sendoknya ke arah Zeus. Tahan cengir.

"Nih, tanpa wortel. Aaaaa..."

Tapi sebelum sendok itu sempat dilahap Z, dia segera membelokkannya ke arah mulutnya sendiri. Dan yeah, sedetik kemudian sensasi rempah-rempah melegakan sudah menguasai indera perasanya. Hangat. Dengan potongan bawang dan bayam yang kini sukses dikunyah.

Terakhir, satu lirikan jahil pada Zeus—yang ditutup oleh satu kekehan panjang ketika dia tertawa. Lepas.





Zeus diam saja waktu Kay menepuk pelan pipinya sambil nyengir. Ceritanya pemuda itu sedang ngambek karena tidak bisa membalas menepuk pipi Kay. LEMAS ITU MENYEBALKAN!! GRAOO—kalau saja bisa berteriak begitu. Pemuda itu mendengus tapi tak ada udara yang keluar karena saluran lubang hidungnya sedang terjadi kemampatan dari dalam yang menyebabkannya sejak dua hari lalu harus bernapas lewat mulut seperti ikan megap-megap. Aroma sup yang dibawa Kay pun sama sekali tidak bisa dihirupnya padahal sepertinya baunya enak dan menggelitik napsu makan. Sayang sekali, tak ada yang tergelitik dari diri Zeus saat ini. Yang ada hanya keinginan untuk bermanja-manja. Sedikit lupa kalau Kay juga sebenarnya sedang sakit.

"Nih, tanpa wortel. Aaaaa..."

Akhirnya ia memutuskan membuka mulut dan tidak melanjutkan rajuknya. Kasihan nanti Kay jadi geregetan lalu stress dan menangis meraung-raung karena makanannya tidak dimakan oleh Zeus (hanya spekulasi). Tapi begitu sendok itu nyaris masuk ke mulut, Kay membelokannya dan menelannya sendiri (kuahnya tanpa sendok, lho). Zeus hanya bisa melongo sambil menaikkan sebelah alisnya memandangi Kay asyik mengunyah. Lirikan gadis itu pun dibalasnya dengan lirikan yang senada tapi kekehan Kay hingga tawa lepasnya sukses membuat Zeus memonyongkan bibirnya.

Dikerjai.

"K, kau..." Pemuda itu mengangkat tangannya perlahan dan menempelkannya ke pipi Kay yang sedang tertawa. Memberikan cubitan yang sebenarnya diniatkan keras tapi ternyata tak bertenaga sama sekali. "Sial. Tanganku mengkhianati."

Sebagai gantinya, Zeus merebahkan kepalanya di bahu Kay lalu—

—sebuah gigitan pun bersarang di lengan atas gadis itu.

"Gotcha..."—gantian, Zeus yang terkekeh sekarang.





Yeah, Kayleigh sudah mulai tidak yakin bahwa dua orang yang sekarang duduk bersisian dengan punggung disandarkan pada sandaran tempat tidur ini memang sedang menderita demam, sakit kepala, dan gangguan di bagian tenggorokan. Dia tidak memungkiri bahwa energi tubuhnya sendiri seperti tersedot keluar seperti di pompa oleh pengungkit tak terlihat. Untuk melangkahkan kaki atau duduk saja rasanya super-limbung (jika diterjemahkan ke dalam bahasa asing, maka keadaan ini dinamakan nggaknyante atau bisa juga apadeeeh). Namun dia tahu sakitnya Zeus lebih parah daripada sakitnya, dan pemuda itu sudah kehilangan lebih dari separo tenaganya untuk membalas perlakuan jahilnya tadi. Gadis itu nyengir ringan dan membiarkan satu cubitan ringan mendarat di pipinya.

Tanpa tenaga, eah eah.

"Sial. Tanganku mengkhianati."

"Memang," dia menyahut kalem kemudian menyendok mangkuk supnya lagi. "Tuh. Makanya nurut sini. Makan sesendok saja, ya?"

Baru saja dia akan menyodorkan satu sendokan itu ke arah mulut Zeus, pemuda sembilan belas tahun itu malah menyandarkan kepalanya ke lengan atas Kayleigh, dan tidak ada yang heran saat sedetik kemudian gadis itu terlonjak kaget sejenak. Buset. Orang sakit memang macam orang sakit. Untung sendok berisi sup ini tidak terlontar dari pegangannya dan mengotori selimut dan tempat tidur Z. Mau tidak mau, satu tepukan ringan lagi mendarat di pipi Zeus.

"Dilarang gigit-gigit!" Tahan cengir, sekali lagi. "Mangap sini, atau aku pulang!"

Yang terakhir tadi memang disengaja, toh pada akhirnya dia terkekeh lagi. Tidak tahan pura-pura manyun dan mengancam akan pulang tanpa memberi hint bahwa yang tadi itu hanya candaan saja. Kayleigh tidak akan pulang sebelum Zeus mengusirnya keluar kok. Biarkan saja, toh mereka sama-sama tahu yang semacam ini mungkin tidak akan terjadi lagi untuk dua atau tiga tahun ke depan, saat satu sama lain sudah mengurusi urusan masing-masing dan hanya bertemu muka disaat-saat sempat saja.

Satu sendokan lain. Dan lagi. Dan... lagi. Zeus harus makan sesuatu, paling tidak jangan sampai perutnya sepenuhnya kosong.

"So, how's your summer?" gadis itu membuka topik lain selagi sendokan demi sendokan sup dia arahkan pelan-pelan ke mulut Zeus.





Zeus menghentikan tawanya ketika Kay mengancam mau pulang. Ia tahu, kok kalau Kay hanya becanda saja. Ia tahu tabiat adiknya itu tapi ia pura-pura tak tahu saja. Lagian kepalanya sekarang teramat pusing. Pandangannya mulai berputar dan matanya mulai mengerjap-ngerjap. Lemas. Sampai-sampai kepala yang tadinya berada di pundak Kay sekarang merosot jatuh ke pangkuan gadis itu. Perutnya memang sejak pagi belum diisi sama sekali. Tapi ia juga tidak merasa lapar. Bawaan penyakit. Anak-anak di Skull Alley yang kemarin ini harus dirawatnya pun rata-rata kehilangan napsu makan karena demam tinggi dan ia, sebagai pemilik panti asuhan Skull Alley harus memaksa mereka makan. Persis seperti yang Kay lakukan sekarang hanya saja lebih tegas lagi. Sekarang, ia jadi tahu perasaan anak-anak itu. Ingin dimanja. Persis seperti dirinya sekarang.

Pangkuan Kay empuk, ngomong-ngomong. Membuat Zeus jadi merasa semakin ngantuk saja. "Begini saja, ya," ujarnya lirih sembari memejamkan mata, "Makannya nanti saja. Aku pusing."

Setengahnya manja. Setengahnya lagi serius, kok.

So, how's your summer?"

...

"Hot," jawabnya singkat. Maksudnya panas, sibuk, melelahkan, menegangkan dan menggalaukan. Keren, ya. "Sampai-sampai badanku jadi ikut hot."

Mencoba berkelakar. Tapi jika disampaikan dengan mata terpejam dan wajah pucat pasi, kelakarnya tersampaikan atau tidak? Well, berbicara soal galau. Tiba-tiba pemuda itu ingat kalau wajah Kay saat datang tadi terlihat galau juga. Selain pucat, binar mata Kay terlihat sedih. Zeus membuka matanya sedikit untuk memastikan. Tuh, kan sedih."Kau sendiri bagaimana? Mukamu kacau banget, lho."

Cerita saja. Mumpung abang di sini.

"Kau tak sedang bertengkar dengan si hati, kan?"








"Obviously."

Summer is hot, he said. Yeah, musim panas memang 'panas'—musim panasnya juga entah kenapa tidak sebaik yang dia kira. Harusnya dia excited menyambut hari keberangkatannya ke Jerman sana, namun distraksi terbesarnya adalah memikirkan perpisahan. Terutama dengan Flemming (kakaknya selalu bilang pergi dari Inggris dan menetap di Jerman adalah salah satu keputusan paling baik yang pernah dia buat selama delapan belas tahun ia hidup di dunia, dan Kayleigh terlalu semangat sampai tidak sempat memikirkan ada subliminal messages dalam kalimat encouragingtersebut). Charlie dan Kenneth akan bertolak ke Rumania juga dalam waktu dekat, dia sudah berjanji akan mengunjungi mereka beberapa kali kalau kegiatannya sebagai trainee tidak mencekik lehernya sendiri. Dan Erin akan jadi penyembuh, jika dia tidak salah, tahun pelatihannya akan jadi sangat sibuk—no probs, itulah gunanya penyihir menciptakan sapu, bubuk floo, dan dianjurkan untuk belajar apparate.

Tapi salah satu yang paling membuatnya agak gelisah hanyalah kenyataan bahwa dia belum bicara lagi dengan Cain, sejak kakinya melangkah keluar dari Hogwarts.

Pentingkah?

TENTUSAJAPENTING.

BAGAIMANAMUNGKINDIATIDAKMEMIKIRKANCAIN JIKASECUILKABARBERITATENTANGPEMUDAHUFFLEPUFFITUSAJA DIATIDAKTAHUSAMASEKALI?


...coret. Coret dua kali. Seharusnya tidak begini. Masa lalu adalah masa lalu. Dia hanya butuh waktu untuk menyesuaikan diri pada keadaan baru. Dan gadis itu tercenung, tidak sadar dirinya sendiri melamun sambil menarikan jemarinya sendiri pada helaian rambut gelap milik Zeus—orangnya sendiri sudah merosot kehabisan tenaga dari bahu ke pangkuannya. Wajah sedikit pucat milik Z tampak lelah... tampaknya dia sudah mulai mengantuk dan lebih memilih beristirahat saja daripada makan. Yea.

(pukpuk)

"Kau tak sedang bertengkar dengan si hati, kan?"

Haha. Terlalu jelaskah? Kontak batin itu ternyata memang ada.

"Tidak bertengkar kok," dia mengedikkan bahu, berusaha menyembunyikan intonasi kering dan ogah-ogahan dari suaranya, tapi tampaknya gagal. "Kan memang sudah putus."

Siapa tadi yang menyenggol tombol galaw?






"Tidak bertengkar kok."

Jawaban yang pertama kali keluar dari mulut Kay membuat Zeus mengangguk-angguk dan mendengungkan kata singkat berbunyi, "Ow..." Baguslah. Rasa-rasanya akan sulit dibayangkan kalau Kay dipisahkan dengan Cain. Pemuda itu tahu seberapa sayangnya Kay pada pacarnya meski beberapa kali menangis mendatangi dirinya dan berkata mereka tengah bertengkar dan sebagainya dan sebagainya. Walau sesungguhnya hati kecil Zeus kesal melihat Kay dibuat berkali-kali menangis begitu, ia tak sampai hati melarang Kay berhubungan dengan Cain. Tak peduli seperti apa gaya berpacaran mereka, rasa sayang itu pasti tetap ada. Buktinya sebentar bertengkar, sebentar berbaikan. Semoga saja Cain juga memiliki perasaan yang sama dengan Kay. Jika tidak, mungkin satu dua pukulan untuk pemuda itu layak disarangkan. Ha. Bicara begini saat sedang sakit rasanya aneh, eh?

"Jadi, sebenarnya kena—"

"Kan memang sudah putus."

"Oh, sudah putus..." Zeus mengangguk-angguk lagi. Memejamkan mata, terdiam sesaat lalu tiba-tiba pemuda itu membelalakkan matanya menatap tajam ke arah Kay, "PUTUS KENAPA?!"

Pengaruh sakit atau bukan, reaksi Zeus kali ini memang agak-agak tertunda. Sebut saja lemot.

"Apa yang terjadi sampai putus? Dia menyakitimu lagi? Brengsek! Memang seharusnya dari dulu dia kuhajar sa—uhuk... uhuk...—ja!"

Imajinasi-imajinasi pun beterbangan di benak si pemuda. Membayangkan hal-hal yang membuatnya semakin geram saja. Barangkali Cain menemukan gadis lain dan meninggalkan Kay begitu saja. Barangkali Cain sejak awal hanya mempermainkan Kay dan tidak berniat serius. Barangkali Cain tipe laki-laki yang tidak sanggup pacaran jarak jauh (padahal dalam kamus penyihir yang namanya LDR itu nyaris tidak ada).

Zeus menarik napas lalu menghembuskannya. Begitu batuknya reda, perasaannya pun ikut melunak. Ia mengangkat tangan untuk membelai pipi Kay dengan jemarinya, "Kau baik-baik saja, kan? Hmm? Katakan saja semua uneg-uneg di benakmu. Aku akan diam dan mendengarkan. Sampai kau puas."








Kan memang sudah putus.

Memang.

Dia baru ingat dia belum cerita pada siapapun soal ini, Zeus bahkan baru saja tahu, Erin juga belum. Isi tumpukan perkamen surat musim panasnya pada Severine Shelley lebih banyak membahas soal yang warna-warni saja, yanggloomy macam ini dia pendam dalam-dalam untuk konsumsi dirinya sendiri. Terkadang Kayleigh mendapati dirinya sendiri melamun soal hal ini lama sekali, bertanya-tanya apakah disana Cain juga sedang memikirkan hal yang sama atau sudah tidak peduli sama sekali. Saat dia tersadar, biasanya dia akan menyesali sudah menghabiskan sekitar satu-dua jam untuk memikirkan sesuatu yang tak harusnya dipikirkan lagi, dan seseorang yang mungkin saja tidak memikirkannya balik. Ha. Rasanya seperti ingin menusuk sesuatu dengan tombak saat dia sendiri sedang sekarat—rasanya sedih, sakit, kesal juga ada. Kesal pada diri sendiri. Kampret, kan?

Dan emosi yang seperti ini dibiarkan berlarut-larut sejak beberapa minggu yang lalu sampai sekarang. Hasilnya berdampak jelas pada kesehatannya yang menurun dan (mungkin) terpeta jelas pada ekspresi wajahnya. Z bilang tampangnya kacau, dia mengiyakan. Dia tahu Zeus adalah salah satu oknum yang menyuarakan nada negatif atas hubungannya dengan Cain (...uhuk), dia beberapa kali menyinggung soal 'menghajar Cain sampai jadi bubur' kalau pemuda Hufflepuff itu sengaja atau tidak sengaja menyakitinya. Charlie dan Kenneth juga pernah melempar wacana itu, meskipun mereka membungkusnya dalam bentuk jokes. Zeus mungkin lebih protektif, namun di satu sisi dia juga mencoba bersikap suportif. Yeah, selayaknya seorang kakak pada adik perempuannya.

"PUTUS KENAPA?!"

Kenapasajaboleh? Cis. Bukan. Selabil-labilnya mereka berdua, yang seperti ini juga punya alasan tersendiri. Hanya saja... Dia nyengir pasrah, menelan ludahnya yang terasa pahit. Cerita? Tidak cerita?

"Apa yang terjadi sampai putus? Dia menyakitimu lagi? Brengsek! Memang seharusnya dari dulu dia kuhajar sa—uhuk... uhuk...—ja!"

"Jangan!" mendadak Kayleigh menyergah, meskipun intonasinya masih lemah. Satu tangannya menepuk-nepuk Z yang masih terbatuk-batuk, inginnya bangkit saja mencari air putih yang available andai dia tidak ingat kepala Zeus masih di pangkuannya. Ternyata pilek yang seperti ini juga bisa membantu dalam keadaan begini: matanya tahu-tahu panas. Cis. Dia benci sisi lainnya yang cengeng-pengecut jika disinggung-singgung soal ini. Dia jarang menangis—jarang sekali, demi kutil Merlin yang paling besar—hanya saja fakta ini tinggal sejarah... sejak dia pacaran dengan Cain, kan? Tapi sekarang dia tidak menangis, kok. Mungkin belum.

"Sebenarnya aku tidak mau memikirkannya," dia kembali menjawab setelah batuk Zeus mereda. "Tapi... tapi sulit. Sulitsekali. Terpikir terus, dan aku benci itu."







Kalau sudah seperti ini, Zeus rasa-rasanya ingin menyesali kesibukan yang membuatnya kesulitan menghubungi Kay selama liburan. Jika saja ia tahu lebih cepat mungkin beban di pundak Kay bisa lebih berkurang lebih cepat, tak perlu dipendam terlalu lama sampai jatuh sakit begini. Katakanlah ia seorang kakak yang protektif karena kenyataannya memang begitu. Jiwa sosialnya yang terlalu tinggi lah yang membuatnya bisa menaruh diri di dalam situasi orang lain (meski itu baru dipahaminya belakangan ini).

Sayang, kalau dipikir ulang, liburan musim panasnya benar-benar tak tertolong lagi sibuknya. Di awal liburan saja ia sudah mendapat kabar kalau Benaya masuk rumah sakit dan koma. Ia dan Belle setiap hari mendatangi rumah sakit tempat Benaya dirawat dan memberikan bantuan sebanyak yang mereka bisa berikan. Belum lagi Grandpa Vladimir di Rusia yang berulang kali mengiriminya surat untuk segera datang karena banyak urusan keluarga yang harus ia kerjakan. Banyak undangan-undangan dari kerabat dan relasi Elsveta yang harus dihadiri hingga mencuri-curi waktu ke rumah sakit pun sudah sangat sulit. Ditambah dengan kenyataan bahwa Benaya kehilangan ingatannya dan kemampuannya untuk berakrobat.

Dunia Zeus rasanya jungkir balik. Untunglah kesibukannya di Skull Alley sedikit mengobati rasa pedih hatinya tersebut. Mengurusi bocah-bocah yatim piatu yang sakit, memperbaiki mainan yang rusak dengan mantra sampai ke hal-hal terkecil seperti menimang-nimang seorang bayi yang baru datang bergabung. Bayi yang mungkin akan diadopsinya sendiri.

Kesibukan-kesibukan yang membuat lupa waktu itu pun akhirnya terpaksa dihentikan karena tubuhnya tidak kuat. Sejak dulu memang Belle memiliki daya tahan yang lebih baik daripada dirinya. Dan di sinilah Zeus sekarang, terbatuk-batuk sambil ditepuk-tepuk oleh Kay.


"Sebenarnya aku tidak mau memikirkannya. "Tapi... tapi sulit. Sulit sekali. Terpikir terus, dan aku benci itu."


Zeus menatap iba pada gadis itu. Menyadari bahwa Kay tengah menahan tangisnya. Pemuda itu kemudian mengulurkan tangan dan mengusap pipi Kay, tepat di bawah mata gadis itu, "Aku mengerti. Butuh waktu pasti. Dan aku yakin kau pasti bisa melewatinya. Kau ini kan adikku. Adiknya Super Z tidak kenal takut." Jemarinya kemudian berpindah ke hidung mancung Kay, memencetnya pelan, "Menangis saja. Tak usah ditahan-tahan. Hanya aku yang lihat."


Aneh. Perasaan Kay belum pernah dirasakannya tapi entah kenapa ia bisa mengerti perasaan itu. Terlampau mengerti.


"Rasanya seperti kehilangan sesuatu yang meninggalkan lobang besar di hati," gumamnya, "dan lobang itu takkan pernah bisa tertutup lagi..."








"Menangis saja. Tak usah ditahan-tahan. Hanya aku yang lihat."

"...hmph."

Hidungnya memang sedang dipencet pelan oleh Zeus, namun alasan mengapa dia tidak meresponnya dengan kalimat, anggukan, dan gelengan hanya karena Kayleigh sudah berjanji satu hal: dia tidak mau menangis gara-gara Cain lagi. Itu memang kekonyolan tingkat antar galaksi yang tampaknya wajar: dia gadis normal yang biasa, baru saja lepas dari masa ababil tingkat dewa, dan baru saja ditampar sesuatu untuk bisa belajar lebih dewasa. Kan? Menangis itu wajar, kata orang, tapi kalau menangis terus-terusan ya tenggelamkan diri saja sana ke sumur terdekat. Mungkin prinsip mereka berdua terlalu berbeda, mungkin dia terlalu membosankan, mungkin Cain masih menyukai Febryne (...uhuk), mungkin ego dua-duanya sudah dilapisi titan super-keras sampai tidak punya harapan lagi untuk dileburkan satu sama lainnya.

Intinya: quit. Lalu move on. Seseorang yang kau cintai meninggalkanmu? Dunia diluar sana belum kiamat, lho.

Ngomong memang mudah, ya.

"Aku—mmmm—tidak mau menangisinya terus. Bosan." Dia mencoba menyunggingkan senyum, dan langsung tahu senyumnya pasti terlihat sangat menyedihkan karena kentara sekali dipaksakan. Mau tertawa sekarang pun rasanya tidak sesuai dengan atmosfer yang sedang tercipta. Galawish. Namun dia mencoba terkekeh pelan, menarikan kembali jemarinya ke helaian gelap rambut Zeus dalam gerakan random. Matanya melirik kesana, tapi jelas pikirannya sudah terpencar-pencar ke banyak tempat. Stuttgart, Cain, Flemming, Charlie, Kenneth, Erin, Cain, Black Forest, Vancouver, Mum, Dad, Cain, Zeus, Magizoologist, dragon-keeper, healer, Cain, Cain, Cain, Cain

—(exhales)

"Rasanya seperti kehilangan sesuatu yang meninggalkan lobang besar di hati," dia mendengarkan Zeus merespon kata-katanya dalam satu gumaman pelan. "dan lobang itu takkan pernah bisa tertutup lagi..."

Ya. Ya, tepat. Itu penggambaran yang tepat—Zeus tentu tahu bagaimana rasanya. Kayleigh tahu pemuda sembilan belas tahun itu pernah mengalami hal-hal yang semacam ini. Beberapa tahun yang lalu, kan?

"Kau sendiri... bagaimana, Z?"





"Aku—mmmm—tidak mau menangisinya terus. Bosan."


"Keputusan yang tepat," balas Zeus tersenyum hangat meski ia tahu kalau Kay tengah memaksakan dirinya. Berpura-pura tegar padahal sesungguhnya tidak. Sama seperti Nabelle kalau sedang keras kepala. Tapi ia menghargai para hawa yang mampu berbuat begitu. Itu artinya mereka mau berusaha. Bukankah itu justru sebuah hal yang positif? Keinginan untuk mencapai sesuatu kadang memang harus dimulai dengan penyangkalan diri. Lagipula, ditinggalkan oleh seseorang yang paling berarti itu sangat berat. Tidak mudah untuk dilupakan. Bahkan bisa meninggalkan bekas yang seumur hidup takkan hilang. Persis seperti gumaman yang tadi ia keluarkan.

Gumaman yang kemudian membuat pemuda itu terdiam dan berpikir. Tiba-tiba saja ada sesuatu yang ganjil yang muncul di benaknya. Membuat pemuda itu memejamkan mata dan mengerutkan kening. Kepalanya mendadak terasa sakit. Seperti ada sesuatu yang tajam menusuk-nusuk di belakang kepalanya, tepat di otaknya.


"Kau sendiri... bagaimana, Z?"


"Entahlah..." ujarnya sambil membuka mata dan menatap Kay dengan pandangan heran, "Ada yang aneh. Aku merasa seperti pernah mengalami yang sama sepertimu. Tapi aku tak bisa ingat."


Pemuda itu terdiam lagi. Menarik napas lalu menghembuskannya pelan.

"Mungkin hanya khayalanku saja. Lupakan."


Yang terpenting sekarang Kay kembali ceria dulu.