Skull Alley (FF)

Winter Holiday 1986

Rindu.

Mungkin itu satu kata yang tepat untuk mewakili perasaan Zeus Pierre saat ia menggamit jemari Emmy dan berjalan menuju sebuah tempat bernama Skull Alley. Tempat dimana ia menghabiskan waktunya sejak Christoff membawanya pergi dari kastil Elsveta. Jika saja ia tidak menemukan tempat ini dan berkenalan dengan Kurtzee serta anak-anak berandal yang lain yang menghuni tempat itu, ia mungkin takkan menjadi Zeus Pierre yang sekarang. Seorang pemuda yang mampu memimpin sekelompok anak berandal di usianya yang ke-11 dan mengubah kebiasaan buruk mereka menjadi lebih baik. Jika saja Skull Alley tak ada, mungkin Zeus akan jadi seorang anak laki-laki yang lebih banyak menghabiskan waktu dalam diam atau mungkin ia akan jadi seperti Christoff. Pilihan kedua rasanya lebih pantas dienyahkan dan dilupakan.

Dari stasiun kereta, Zeus memutuskan untuk berjalan kaki langsung menuju Skull Alley. Jaraknya tidak terlalu jauh dan salju yang menumpuk di sepanjang jalan telah disapu ke pinggir sehingga tidak membuat langkah mereka terhambat. Ia diam-diam bersyukur bahwa sebagian kebutuhan pakaiannya sebagian tersimpan di Skull Alley; sehingga ia tidak perlu membebani pundaknya dengan ransel yang berat. Cuaca saat itu sangat dingin dan membekukan, ditambah lagi luka-luka di tubuh Zeus selepas berkelahi dengan Ryder di sekolah masih belum pulih sepenuhnya. Sedikit gerakan yang terlalu keras akan membuat sebuah ringisan muncul di wajah si berandal. Perban yang melingkar di kepalanya pun belum terlepas meski retakan tulang rahang sepertinya sudah pulih lebih dahulu. Gadis kecil yang berjalan di sampingnya mungkin sudah lelah memarahi dirinya sehingga memilih untuk diam saja ketika melihat luka-lukanya. Atau mungkin, gadis kecil itu malah sedang memikirkan kata-kata apa yang layak dilontarkan untuk pemuda yang tengah berjalan di sisinya.

Entahlah.

Ia berjalan perlahan sembari menahan sakit pada perutnya. Dua buah tinju Ryder sempat bersarang di sana. Keras dan fatal. Membuatnya nyaris kehilangan kesadaran saat itu. Sebuah perkelahian yang bermula karena alasan sepele dan konyol; semata-mata untuk mengalihkan pikirannya dari Belle. Kedua iris peraknya bergulir memperhatikan daerah tempat tinggalnya yang telah ia tinggalkan selama dua tahun. Ia terdiam sejenak ketika melewati kediaman Debussy. Ya, rumah yang ditinggali oleh Lucretia—ibu kandungnya, dan Candy—adiknya. Ingin ia mampir sejenak sekedar untuk menyapa dan melihat keadaan mereka berdua, namun ia kembali teringat kata-kata sang ibu yang melarangnya untuk kembali lagi ke rumah itu. Dan ia kembali meneruskan langkahnya. Tanpa ia sadari, ia menggenggam jemari Emmy lebih keras untuk beberapa saat; tak menyadari ketika gadis kecil itu menoleh ke arahnya.


SKULL ALLEY

Tak banyak yang berubah. Mobil sedan bobrok berwarna merah yang catnya sudah terkelupas dimakan usia masih terparkir di sudut dekat dinding batu. Berubah peran menjadi tempat duduk alih-alih kendaraan untuk transportasi. Sebuah ring basket usang masih berdiri di sana dengan beberapa bocah sedang bermain. Tumpukan kardus bekas menggunung di samping ring basket, terlihat jelas bahwa tumpukan itu semakin tinggi dalam dua tahun terakhir. Sebuah bangunan kumuh yang telah disulap menjadi tempat tinggal mereka yang tak punya rumah berdiri tegak di samping kanannya. Warna tembok bangunan itu kini berubah, penuh dengan lukisan cat semprot yang dibuat oleh bocah-bocah Skull Alley yang kreatif.

Zeus tersenyum tipis, mengenali sosok bocah-bocah yang tengah asyik bermain basket. Dua tahun telah memberikan perubahan tinggi badan yang signifikan pada bocah-bocah itu. Beberapa dari mereka bahkan terlihat telah mengecat rambutnya dengan berbagai warna seperti pelangi. "This is my home, M," ujar Zeus pada gadis kecil yang masih digandengnya, "Welcome to Skull Alley." Emmy tersenyum riang dan menganggukan kepala. Gadis kecil itu senang karena Zeus mengajaknya menghabiskan liburan musim dingin di Skull Alley, "Kelihatannya menyenangkan di sini."


So, where's Kurtzee?


"Itu Zeus! Zeus pulang! Zeus pulang!"

Seorang bocah berambut merah menyala menyadari kedatangannya dan mulai berteriak-teriak memberitahu seluruh bocah-bocah lain yang ada di sana. Dalam beberapa detik, mereka telah berlari mengerumuni Zeus dan Emmy. Melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang langsung dijawab oleh Zeus di tempat. Hanya pertanyaan basa-basi seperti apa kabar dan sejenisnya. Juga tentang siapa Emmy. Beberapa dari mereka menggoda Zeus karena menggandeng tangan si gadis kecil sehingga ia akhirnya melepaskan genggamannya dari Emmy. Emmy hanya tertawa menanggapi pertanyaan mereka sambil sesekali mengusap kepala beberapa bocah yang melontarkan pertanyaan pengundang tawa. Zeus merasa senang telah memutuskan untuk kembali ke Skull Alley. Setelah puas, kerumunan bocah-bocah itu pun bubar dan mereka kembali melakukan aktivitas mereka.

"Zeus," ujar sebuah suara. Kecil dan halus, nyaris tak terdengar. Zeus menundukkan kepala ketika sebuah tarikan lemah pada jaketnya terasa dan ia tersenyum ketika mendapati Elmira berdiri sambil mendongak menatapnya. Elmira adalah seorang gadis kecil yang seminggu sebelum keberangkatannya ke Hogwarts, ia temukan menangis di pinggir jalan dengan sebuah kertas bertuliskan 'Nama anak ini Elmira, tolong rawat dia' tergeletak di atas perutnya. Usia gadis kecil itu sekarang 5 tahun, dengan rambut hitam mengkilat tergerai halus hingga ke punggungnya dan bintik-bintik coklat halus bertebaran di sekitar hidungnya yang mungil. Elmira tumbuh menjadi gadis kecil yang sangat cantik.

"Elmira, kau masih mengenaliku?" Gadis kecil itu mengangguk dengan senyum lebar menghiasi wajahnya. "El ompong," ujar gadis kecil itu sambil menunjuk ke arah dimana dua gigi susunya seharusnya berada. Zeus tersenyum geli melihat gadis kecil itu. Emmy kemudian berjongkok sehingga tinggi tubuhnya sejajar dengan Elmira lalu ia mengulurkan tangannya, "Namaku Emmy. Salam kenal, Elmira."

"Aku Elmiya," balas Elmira cadel sambil menepuk-nepuk telapak tangan Emmy yang terulur kepadanya—keningnya kemudian berkerut, menatap Emmy curiga, "Pacal Zeus, ya?"

Emmy tertawa geli dan menggelengkan kepalanya—menyangkal pertanyaan Elmira secepat yang ia bisa, "Bukan. Aku temannya Zeus."

Tak diduga, Elmira tersenyum gembira mendengar jawaban Emmy. Gadis kecil itu serta merta memeluk kedua kaki Zeus dengan erat, "Zeus munya El. Pacal El. Zeus, ndong El..."

"Maaf, Elmira. Aku sedang terluka jadi tak bisa menggendongmu," ujar Zeus lembut. Ditepuk-tepuknya kepala Elmira yang kini cemberut menatap dirinya. Kesal karena Zeus tak mau menggendongnya. "Biar aku saja yang menggendongmu, bagaimana?" Mike menawarkan diri, "Zeus sedang sakit, El." Mike adalah seorang bocah bertubuh tinggi dan berambut keemasan. Usianya sekitar 11 atau 12 tahun. Memiliki wajah tampan yang teduh; seringkali dimanfaatkan untuk merayu pemilik toko supaya memberikan mereka camilan.

"Zeus cakit?" ujar Elmira sambil mengangkat tangannya ke arah Mike, menunggu digendong. Mike pun dengan sigap mengangkat tubuh mungil Elmira ke gendongannya—terlihat sudah terbiasa mengurus Elmira. "Zeus mik obat, ya. El juga mik obat waktu cakit." Pemuda itu mengangguk pelan. Gemas dengan tingkah laku Elmira.

"Kurtzee dimana?" tanya Zeus akhirnya pada Mike.

"Zee tadi sedang bersama Ralph, mungkin sebentar lagi dia datang," ujar Mike.

"Aku disini," Sebuah suara terdengar dari belakang Mike. Sosok seorang gadis berambut merah kini terlihat di bola matanya seiring sebuah tinju yang melayang menuju ke perut si berandal.

"Stop," ujar Zeus sembari menahan tinju tersebut dengan telapak tangannya, "Kau tinju aku sekarang maka aku akan roboh dengan memalukan di sini. Tentunya kau tak mau itu, hm?"

"Jadi, cewek yang kau ceritakan itu justru kau bawa kesini?" Kurtzee menatap Emmy dari ujung kepala sampai ke ujung kaki lalu kembali menatap Zeus dengan sindiran yang kentara jelas. "Sudah baikan rupanya?"

"Bukan, gadis ini bukan Belle. Namanya Emmy, dia sahabatku di sekolah," ujar Zeus memperkenalkan Emmy, "M, ini Kurtzee. Sahabatku yang cantik dan tomboy. Just like you."

"Hello, Emmy. Welcome to Skull Alley," sapa Kurtzee sambil merangkul pundak Emmy, "Ngapain kau main-main dengan si monyet pirang itu?" Bercanda, tentu saja.

Emmy hanya menunjukkan cengiran lebar yang menjadi ciri khas nya. “Ia tak mungkin bisa hidup sampai sekarang jika tidak aku urus,” ujar Emmy membalas rangkulan Kurtzee dan mengedikkan bahunya. Ia melirik ke arah Zeus yang penuh dengan perban dan ia terkikik kecil. Gadis itu kemudian membuka tas ranselnya dan mengintip ke dalam tas yang penuh dengan permen lollipop dan coklat kodok. “Ada yang suka manis? Aku punya permen dan coklat."

Sebuah rangkulan tiba-tiba dari arah belakang memberikan beban di pundak si berandal. Zeus meringis dan mengerang kesakitan. Si gorilla Ralph yang dua kali lebih besar dari dirinya sekarang bertengger di pundaknya. "Kau babak belur, eh?" ujar Ralph terkekeh sambil menunjuk perban di kepala Zeus.

"Anggap saja begitu. Jadi, apa kabar kalian?"

"Seharusnya kami yang menanyakan bagaimana kabarmu, eh?" Ralph memandangi Zeus dari ujung kepala sampai ke ujung kaki lalu kembali memberikan rangkulan—kali ini dengan lebih perlahan sehingga tidak menimbulkan rasa sakit yang terlalu di tubuh kurusnya. "Kau yang babak belur, bukan kami," tambah Ralph sambil tertawa terbahak-bahak.

"Benar juga," sahut Zeus sambil meringis. Sebenarnya ingin tertawa, namun luka yang tengah mengering di sudut bibirnya membuat bibirnya terasa sulit bergerak. Untuk bicara saja dia tak bisa membukanya lebar-lebar, apalagi tertawa. Bisa-bisa lukanya terbuka lagi. Bocah berandal itu melirik ke arah Emmy yang terlihat sudah akrab dengan Kurtzee sekarang. Benar dugaannya, kedua gadis itu akan cocok berteman jika melihat dari kelakuannya yang memang hampir mirip satu dengan yang lain. Ia tersenyum tipis melihat anak-anak Skull Alley yang masih berusia di bawah 11 tahun berkerumun mengelilingi Emmy ketika gadis itu menawarkan permen dan coklat. Akan habis dalam sekejap, lihat saja.

"Zeus, aku perlu bicara denganmu empat mata. Bisa?" ujar Ralph pelan. Bisa dilihatnya Kurtzee melirik mereka berdua dengan tatapan penuh arti. Zeus mengangguk. Merasa ada sesuatu yang sepertinya sangat penting.

"M, aku mau mengobrol sebentar dengan Ralph. Kau tak apa-apa kutinggal dengan Kurtzee, kan? Hanya sebentar," ujarnya pada Emmy lalu mengerling pada Kurtzee, "Ajak dia menyimpan barang-barangnya, Zee. Temani sebentar,okay?"

"No problemo, Zeus. Emmy akan kubuat betah disini," kelakar Kurtzee sambil menggerak-gerakkan tangan kanannya dengan gerakan mengusir. Emmy pun terlihat tidak keberatan, gadis itu membuat tanda V dengan telunjuk dan jari tengahnya. Zeus pun melangkah meninggalkan mereka ketika dirasakannya Ralph mulai melangkah menariknya. Entah apa yang ingin dibicarakan oleh pemuda bertubuh besar itu dengannya sehingga mereka perlu mencari tempat sepi—memastikan tak ada yang mencuri dengar. Jarang sekali mereka membahas sesuatu tanpa melibatkan anak-anak Skull Alley yang lain. Diabaikannya rasa lelah yang sejak tadi memang sudah menderanya. Istirahat bisa nanti setelah urusan selesai. Ia merasa tidak enak juga karena telah begitu lama meninggalkan geng berandal ciliknya.

Mereka berhenti berjalan ketika langkah mereka telah sampai di sebuah taman kecil yang kosong. Taman itu sudah tidak dipakai, banyak sampah yang memenuhi tempat itu—tertutupi oleh timbunan salju tebal. Mainan-mainan anak yang sudah rusak dan penyok didiamkan disana, terlihat beku karena dinginnya cuaca. Jika saja boleh menggunakan sihir di luar sekolah, dengan senang hati ia akan me-reparo semua mainan yang ada disana sehingga anak-anak Skull Alley bisa bebas bermain. Sayangnya, untuk mewujudkan hal itu, harus menunggu hingga usianya mencapai 17 tahun. Ralph menghempaskan bokongnya di sebuah tempat duduk batu yang ada di pojok taman kecil itu, Zeus pun melakukan hal yang sama pada tempat duduk di hadapannya setelah menyapukan salju dengan sebelah tangan.

"Ada apa, Ralph?" tanyanya dengan nada serius.

"Geng selatan mengirimkan surat tantangan kemari," ujar Ralph dengan mimik serius, "ke Skull Alley, maksudku. Nampaknya mereka tahu kau akan kembali. Ketua geng mereka terbunuh dan entah bagaimana mereka menuduh salah satu anggota Skull Alley yang membunuhnya."

Roman wajah Zeus seketika memucat mendengar penuturan Ralph—nyaris sewarna dengan nafas memutih yang keluar dari rongga mulutnya. Ketua geng selatan terbunuh dan salah satu anggota gengnya yang dituduh? Demi apa itu? Ia yakin tak pernah mengajari seorang pun dari anggotanya untuk melakukan hal-hal kriminal seperti itu. "Apa alasan mereka? Dan siapa yang mereka tuduh?"

"Katanya ada yang melihat kejadiannya," ujar Ralph dengan mimik datar,"Mereka menuduh Mike."

"MIKE?! Mereka sudah gila! Mana mungkin Mike membunuh orang! Bahkan membunuh semut saja anak itu tidak tega! Ukh..," Zeus geram dan berdiri mendadak. Lupa bahwa tubuhnya masih terluka dan rasa sakit pun menderanya ketika gerakan tiba-tiba itu dilakukannya. Perlahan tubuhnya terhuyung dan Ralph dengan cekatan menopang Zeus. "Calm down, mate. Aku juga tak percaya Mike melakukannya," kata Ralph sambil membantu Zeus kembali duduk.

"Mike bilang apa?" tanya Zeus lagi. Bocah kecil itu terlihat biasa saja saat menyambutnya tadi.

"Anak itu belum tahu. Suratnya baru diterima Zee semalam."

"Begitu. Bisa panggilkan Mike kemari, Ralph?" Zeus menatap Ralph dalam-dalam. Wajahnya terlihat tegang. Tak menyangka kejadian seperti ini bisa terjadi di Skull Alley.

"Kurasa kau sebaiknya istirahat dulu. Kau terlihat sangat lelah," ujar Ralph penuh pengertian, "Setelah kau bangun nanti baru kita bahas bersama."

"Baiklah," ujarnya—tidak membantah karena pada kenyataannya ia memang sangat membutuhkan waktu beristirahat.

Mereka pun berjalan kembali menuju Skull Alley dalam diam. Tak satupun dari mereka mengeluarkan sepatah kata. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri. Bagaimana jika tuduhan itu benar adanya? Demi Merlin, tujuannya kembali ke Skull Alley bukan untuk mengurusi masalah pembunuhan seperti ini.

"Ralph,
thanks." Ia menoleh dan melemparkan senyum pada Ralph. Merasa berhutang budi karena Ralph yang notabene adalah seorang ketua geng barat mau membantunya mengurusi Skull Alley.

"Not a big deal. Istirahatlah," ujar Ralph ketika mereka sudah tiba kembali di Skull Alley. Ralph mengantarnya sampai di depan pintu bangunan kumuh tempat para anak-anak Skull Alley yang tak punya rumah menetap dalam penjagaan Kurtzee. Zeus mengangguk dan melangkah masuk, mencari-cari sosok Emmy namun tidak ia temukan. Ia perlahan duduk di atas sebuah tempat tidur kayu di pojok ruangan dan membaringkan tubuhnya yang lelah di sana. Kelelahan membuatnya terlelap dalam hitungan detik.

*******

"Jangan bangunkan dia."

"But we have to tell him about this, moron!"

Zeus perlahan membuka kelopak matanya ketika ia mendengar suara orang berdebat di dekat telinganya. Butuh waktu beberapa saat sebelum matanya bisa beradaptasi dengan gelap. Rupanya malam telah datang. Dilihatnya Kurtzee duduk di samping tempat tidurnya dan Ralph berdiri di dekatnya. Wajah mereka berdua terlihat tegang. Instingnya mengatakan ada sesuatu yang terjadi—bukan sesuatu yang baik. Hal pertama yang terbersit di kepalanya adalah, "Hey. Dimana Emmy?"

Ia mengangkat tubuhnya dan duduk bersandar di dinding. Raut wajahnya kini sama tegangnya dengan kedua teman di hadapannya. Ia belum tahu apa yang akan disampaikan namun ia tahu ada sesuatu yang tidak beres pada Emmy ketika melihat Kurtzee dan Ralph saling menatap. Mike rupanya berdiri di seberang tempat tidurnya, kepala bocah itu tertunduk dan bahunya bergetar.

"Zeus," ujar Kurtzee akhirnya, "Emmy hilang."

Zeus terpaku—seolah membeku karena dinginnya cuaca malam itu. Di perutnya sekarang seolah ada kupu-kupu yang sedang beterbangan membuatnya mual. Waktu terasa berhenti beberapa saat. Ia berusaha mencerna kata-kata yang baru saja diutarakan oleh sahabatnya itu. Emmy hilang. Hilang. Lenyap. Jika Kurtzee yang mengatakannya, berarti itu bukan sekedar gurauan. "
What do you mean by that? Sejak tadi dia bersamamu, bukan?"

"Tadi aku meninggalkan dia sebentar untuk menyiapkan makan malam dan—," BUGH—penjelasan Kurtzee tertutup ketika Zeus tiba-tiba meninju tembok di sampingnya dengan keras. Kedua bola matanya terpicing—menatap marah pada Kurtzee. Ia tak mempedulikan rasa sakit yang seketika menderanya akibat gerakan tiba-tiba tersebut.

"Tak seharusnya kau tinggalkan dia!"

"Itu bukan salah Zee, brengsek! Kau tak perlu semarah itu padanya!" Ralph menarik Kurtzee ke pelukannya dan menunjuk ke arah Zeus. Membuat si berandal terdiam sejenak dan menunduk. Ia menghela nafas dan mengerjap. "Sorry, bro. Aku hanya tak mengira ini akan terjadi," ujarnya meminta maaf, "Kalian sudah mencari dia sampai kemana? Kalian yakin Emmy benar-benar hilang?"

Kurtzee melepaskan diri dari pelukan Ralph dan kembali duduk di sisi tempat tidur Zeus. Gadis berambut merah itu menepuk bahu si berandal, mencoba menenangkan pemuda itu meski dirinya sendiri amat sangat tidak tenang dan merasa bersalah. Ketika gadis itu membuka mulutnya untuk bicara, Mike tiba-tiba melangkah mendekat.

"Emmy tadi sedang bermain dengan kami," ujar bocah itu dengan mimik takut, "Petak umpet. Kami semua menyebar untuk bersembunyi. Setelah itu satu persatu ditemukan tapi tak seorang pun menemukan Emmy."

"Mungkin dia bersembunyi di suatu tempat yang tak terlihat dan tertidur," ujar Zeus menimpali. Itu adalah satu-satunya dugaan yang paling baik yang bisa dipikirkannya di antara dugaan-dugaan buruk lainnya. Tertidur di cuaca bersalju seperti sekarang sama saja dengan mencari penyakit. Demi Merlin, jangan sampai terjadi sesuatu yang buruk pada gadis itu, Zeus membatin. Bagaimana ia mempertanggung jawabkannya nanti pada si botak Claymer? Lebih dari itu, Emmy adalah sahabatnya. Ia akan merasa sangat bersalah karena ia yang mengajak gadis itu ke Skull Alley.

"Permainannya sudah berakhir 2 jam yang lalu," ujar Ralph, "Kau yakin cewek itu tertidur?"

"Dua jam? Dan kalian baru membangunkan aku sekarang?"

"Tadi kami sibuk mencarinya dan tak mengira bahwa ia benar-benar hilang," Kurtzee meremas pundak Zeus. Gadis itu tahu bahwa ia tak mungkin bisa menenangkan Zeus sekarang. "Dan akhirnya kami memutuskan untuk memberitahukannya padamu."

"Aku akan mencarinya," ujar Zeus. Pemuda berandal itu bangkit berdiri dan melangkah keluar dari bangunan kumuh itu diikuti oleh ketiga kawannya. Ketegangan yang ia rasakan membuatnya lupa pada rasa sakit di tubuhnya. Lagipula, hanya luka dalam. Bukan sesuatu yang perlu dilebih-lebihkan. Ia bukan bocah cengeng yang merengek-rengek karena luka sepele. "Dimana kalian bermain, Mike?"

"Di seluruh area Skull Alley, Zeus. Kami sudah mencari di setiap sudut bahkan ke lubang-lubang tersembunyi sekalipun," ujar Mike berlari-lari kecil menyusul Zeus.

Melihat pemimpin mereka sudah terbangun dan mau mencari Emmy, beberapa anak Skull Alley yang sudah cukup besar ikut menawarkan diri membantu. Mereka pun berpencar berdua-dua. Zeus bersama dengan Nico, bocah dua belas tahun berambut hitam yang kini disepuh dengan warna biru elektrik. Mereka berdua mencari hingga ke tepi jurang yang ditutupi ranting kering yang tadinya semak-semak belukar.

"Nico, coba kau lihat ke sebelah sana," ujar Zeus memberikan komando sambil menunjuk ke arah kanan. Nico mengangguk dan menurut lalu Zeus melangkah ke arah kiri. Dengan kedua tangannya, Zeus menggeser ranting-ranting kering yang tumbuh rapat menjadi semak pada tanah bersalju. Berusaha mengintip ke baliknya, mencari-cari sesuatu yang mungkin menandakan Emmy pernah ada di sana. Ia menyusuri seluruh tepi jurang bersalju dan mendapatkan hasil yang sangat tidak memuaskan. Sama sekali tak ada jejak Emmy di sana. "Brengsek. M, where the hell are you?"

Malam semakin gelap. Bulan penuh yang bertengger semakin tinggi di langit mencurahkan segenap cahayanya untuk menerangi para manusia yang tengah sibuk mencari, berteriak dan memanggil. Hanya satu nama yang disebut, Emmy. Beberapa dari mereka pada akhirnya menyerah karena dingin yang membekukan dan pamit untuk tidur dengan janji akan kembali mencari esok paginya. Zeus belum menyerah sebelum menyisir seluruh area Skull Alley bahkan lebih dari itu jika diperlukan.

"Zeus! Lihat ini!" Nico tiba-tiba berteriak—memecah keheningan yang sempat tercipta di antara mereka berdua. Zeus segera berjalan secepat yang ia bisa, menghampiri bocah itu. Nico dengan tubuh bergetar menunjuk ke arah sebatang pohon mapel besar. Ada sebuah surat tertancap di sana. Ditulis dengan tinta merah—darah. Kurtzee dan Ralph serta Mike yang mendengar suara Nico pun akhirnya berlari menghampiri mereka, terkesiap melihat surat yang kemudian ditarik lepas oleh Zeus.

"Zeus, Emmy ada bersama kami," Zeus mulai membacakan surat tersebut—rahangnya mengeras menahan amarah yang menggelegak di tubuhnya, "Dia akan tetap aman jika kau datang ke tempat yang akan ditunjukkan oleh salah satu anggota kami besok. Datanglah temui dia di perempatan London timur jam 1 siang. Pastikan kau datang hanya berdua dengan Mike si pembunuh jika kau tak ingin kami menyentuh tubuh molek kekasihmu." Di akhir surat tertulis Southern Kids, nama geng di London selatan. Zeus meremas surat tersebut dan membantingnya ke tanah. Ia mengumpat kesal, "Brengsek! Brengsek!! BRENGSEK!!!"

"Mike si pembunuh?" suara Mike yang bergetar menghentikan umpatan Zeus, "Maksudnya aku?"

"Ini semua gara-gara kau!" ujar Nico tiba-tiba sambil berjalan ke arah Mike lalu mendorong tubuh bocah itu hingga menghantam pohon di belakangnya—menjatuhkan tumpukan salju yang bertengger di dahan, "Kalau bukan karena kau yang membunuh pemimpin geng selatan, Emmy tak mungkin diculik!"

"Itu bohong! Aku tidak membunuh siapapun!" Mike melawan, "Bahkan wajah pemimpin geng itu saja aku tidak tahu!"

Zeus diam dan mengamati. Ada sesuatu yang aneh dalam kejadian ini. Ia menatap Kurtzee dan Ralph bergantian, sayangnya tak dibalas dengan reaksi yang ia harapkan. Kedua orang itu nampak tidak merasakan apa yang ia rasakan. Sebuah kejanggalan dari tingkah salah satu bocah yang tengah beradu mulut di hadapannya.

"Jangan beralasan!" seru Nico lagi sambil menarik kerah mantel Mike dengan kasar hingga syal merah yang melilit di lehernya terlepas.

"Hentikan, kalian berdua," Zeus melangkah masuk ke antara mereka. Ia menarik tangan Nico lepas dari kerah mantel Mike dan menatap tajam pada mereka berdua. "Sekarang kalian tidur. Besok pagi-pagi temui aku di sini. Kita harus bicara. Jangan berkelahi."

Mike dan Nico pun menurut. Mereka berdua segera berlari kembali ke bangunan kumuh tempat mereka tidur setiap malam. Begitu sosok kedua bocah itu menghilang, Zeus melangkah dan duduk di sebuah batang kayu yang tumbang. Ia memberi isyarat supaya Kurtzee dan Ralph mengikuti apa yang ia lakukan.

"Ada sesuatu yang aneh," ujar Zeus dengan nada datar—mendengus, "Tak kusangka ada mata-mata di Skull Alley."

"Mata-mata?" ujar Kurtzee dan Ralph berbarengan, "Siapa yang kau curigai?"

Zeus menoleh pada mereka berdua dengan tatapan tak percaya, "Kalian tidak merasakan ada yang aneh sejak tadi?" Keduanya menggeleng. "Baik. Aku tanya sekarang, saat mereka main petak umpet tadi, benar Nico yang bertugas jaga?"

"Iya benar. Memang anak itu yang bertugas jaga tadi," Kurtzee menatap Zeus dengan kening berkerut dan tiba-tiba saja ia terhenyak—menyadari sesuatu, "Dan dia juga yang pertama kali menemukan surat di pohon itu!" Zeus mengangguk. Senang karena akhirnya Kurtzee bisa mengerti maksudnya. Begitu pun dengan Ralph meski ia hanya terdiam dan mengelus jenggot halus di dagunya. "Nico juga terlihat begitu yakin bahwa Mike telah membunuh Gary," ujar Zeus menambahkan, "Padahal di surat semalam tidak ditulis Mike telah membunuh siapa. Darimana Nico tahu bahwa pemimpin geng selatan yang terbunuh? Kalian tidak memberitahunya soal surat tantangan sebelumnya, kan?"

"Bisa saja itu hanya kebetulan," ujar Ralph kemudian, "Kita tidak bisa langsung memutuskan begitu saja. Bisa jadi ini jebakan yang dipasang lawan untuk membuat kita berpikir bahwa Nico adalah mata-mata."

"Itu mungkin saja. Setidaknya, kita harus mengawasi anak itu. Besok pagi, kita bertemu lagi di sini dengan kedua anak itu. Kita luruskan masalah sebelum aku pergi menemui anggota geng selatan dengan Mike."

Kurtzee dan Ralph mengangguk. Mereka berdua berpamitan dan berjalan bergandengan meninggalkan Zeus yang masih ingin berada di sana.

Mereka pacaran, hm?

*******

Pagi-pagi benar, Zeus sudah duduk kembali di batang pohon tumbang tempatnya semalam menemukan surat dari geng selatan. Menunggu kedatangan Kurtzee, Ralph, Mike serta Nico. Bola mata peraknya menatap ke langit dengan kedua tangan yang terbungkus sarung tangan wol menopang dagunya. Untuk pertama kali dalam seumur hidupnya, Zeus Pierre memanjatkan doa pada Tuhan. Memohon keselamatan Emmy dan berharap masalah yang terjadi di Skull Alley bisa segera terselesaikan. Sungguh, ini bukan liburan yang ia harapkan. Ia mengajak Emmy karena ingin gadis itu bersenang-senang bukannya mengalami penculikan seperti sekarang. Ia marah pada dirinya sendiri. Demi apapun juga, ia harus menyelamatkan gadis itu dan takkan membiarkan seujung jari pun dari gadis itu terluka.

Atau ia akan menghukum dirinya seumur hidup.

"Zeus," suara Kurtzee memecah keheningan pagi itu. Zeus menurunkan pandangannya dan di hadapannya kini ada keempat orang yang ia tunggu, "Kau tidak tidur semalaman?"

"Aku tidur sebentar," ujarnya. Kurtzee dan Ralph kemudian duduk di sampingnya sementara Mike dan Nico duduk di atas tanah bersalju tepat di hadapannya. Wajah kedua bocah itu antara tegang dan takut. Mereka sudah pernah melihat Zeus marah sebelumnya dan tentu saja mereka takut jika mereka yang menjadi objek kemarahan pemuda itu sekarang. Ralph, satu-satunya perokok di tempat itu menyalakan sebatang rokok dan mengisapnya untuk menghangatkan diri.

"Mike," Zeus menatap dalam ke arah bocah berambut pirang itu—membuat Mike menciut ketakutan, "Kau membunuh Gary?"

"Aku tak kenal dia," ujar Mike gugup.

"Jawab saja. Ya atau tidak?"

"Tidak."

"Kalau begitu aku percaya padamu," ujar Zeus sambil menepuk pelan kepala Mike.

"Semudah itu kau percaya bahwa dia tidak membunuh?" Nico menatap garang pada Zeus. Terlihat tidak terima dengan kepercayaan Zeus yang begitu besar pada Mike, "Jangan tertipu pada sikapnya yang sok alim!"

"Diam, Nico!" Ralph tiba-tiba berdiri, membanting rokoknya ke atas salju dan menarik kerah jaket Nico hingga bocah itu terangkat berdiri—Mike menggeser duduknya, "Kami sudah tahu siapa kau sebenarnya, pengkhianat!"

"Apa maksudmu?!" Nico memasang tampang menantang—tidak berusaha melepaskan diri, "Kau yang hanya orang asing tidak pantas berkata begitu padaku!"

"Kau mata-mata geng selatan, kan?!" Kurtzee ikut berdiri dan membentak Nico.

"Sembarangan! Darimana kau menyimpulkan hal konyol seperti itu?! HAHAHA. Jadi kalian mengira aku ini mata-mata? Atas dasar apa? Apa buktinya? Jelaskan padaku!"

"Lepaskan dia, Ralph," ujar Zeus. Ralph pun melepaskan tangannya dan mendorong Nico hingga duduk kembali di tanah. Zeus ganti menatap bocah itu sekarang—tak menggubris Mike yang menunduk terus sejak tadi, "Benar, Nico. Kami mencurigaimu. Ada sesuatu yang ingin kau katakan? Pembelaan diri, mungkin?"

"Ada," ujar Nico geram, "Aku kecewa padamu, Zeus. Kau sembarangan membuat kesimpulan."

Zeus mendengus, "Nico, Nico, Nico. Aku takkan menyimpulkan demikian jika tindak-tandukmu tidak mencurigakan."

"Apa maksudmu?"

"Darimana kau tahu bahwa Mike membunuh pemimpin geng selatan? Di surat yang semalam tidak tertulis nama orang yang dibunuh Mike," Zeus menundukkan tubuh atasnya—bergerak maju mendekati Nico, "Hm?"

Nico terdiam beberapa saat—seolah tersadar bahwa ia telah melakukan suatu kesalahan yang membongkar kedoknya, "Ah, aku paham sekarang. Tak heran kalian mencurigaiku kalau begitu," ujarnya kemudian, "Aku tak sengaja mendengar Kurtzee dan Ralph membicarakan soal surat tantangan tersebut sebelum kau datang, Zeus."

"Pantas saja kau begitu ngotot menuduhku, Nico," Mike dengan kepala tertunduk tiba-tiba mengangkat suara. Isakan samar-samar terdengar dari suaranya. Bocah berambut pirang yang dikenal dengan kelembutan hatinya itu menangis, "Supaya kau tidak dicurigai, kan?"

"Sudah, sudah," ujar Kurtzee merangkul Mike, "Jangan menangis. Kau anak laki-laki, harus kuat dan tegar."

Nico menatap masam pada Mike yang menangis lalu kembali menatap Zeus dengan berani, "Terserah. Aku tidak bisa membela diri saat ini. Ikat saja aku kalau memang perlu."

Zeus tersenyum tipis lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Nico—membisikkan sesuatu lalu menarik kembali tubuhnya. Wajahnya tetap datar.

"Aku hanya ingin Emmy kembali dengan selamat. Setelah itu baru kuputuskan hukuman yang pantas untukmu."

*******

East London, 12.30 p.m


Pemuda berambut pirang platina itu berjalan menuju tempat yang disebutkan dalam surat—perempatan London Timur. Mike berjalan tepat di belakangnya, terseok-seok karena tebalnya salju membuat sepatunya seringkali tersangkut. Mereka berdua saling diam, tak satupun yang berniat untuk berbicara. Di dalam pikiran Zeus hanya ada Emmy. Ia mencemaskan keadaan gadis itu karena sepengetahuannya, geng selatan adalah geng yang tidak segan-segan melakukan kekerasan. Bahkan beberapa kali anggota mereka terlibat dalam kasus pemerkosaan. Sudah puluhan kali geng selatan sengaja berulah mencari ribut dengan geng timur yang Zeus pimpin. Setiap kali itu pula, Zeus berhasil mempertahankan kemenangan meski tak jarang ia dibantu oleh geng barat yang dipimpin oleh Ralph.

Langkahnya terhenti ketika dua orang yang ia duga adalah anggota geng selatan datang menghampiri. Mata Zeus ditutup dengan kain hitam dan kedua tangannya diikat erat ke belakang, begitu pun Mike. Mereka berdua digiring menuju tempat persembunyian rahasia geng selatan dengan sebuah mobil tua.


10 menit kemudian


"Lepas penutup matanya," ujar sebuah suara berat yang kasar disusul sebuah gerakan yang membuat kepala Zeus tertarik ke belakang. Sesaat kemudian, kain hitam yang menutup kedua matanya terlepas. Ruangan itu terang benderang, membuat Zeus mengerjap-ngerjapkan matanya sebelum ia terbiasa dengan silau yang menusuk bola mata peraknya. Mike terikat di sampingnya dalam keadaan tak sadarkan diri. Mereka berada di sebuah bangunan berdinding beton yang tidak terurus. Zeus memicingkan mata—memandang lurus ke arah satu sosok tinggi besar di hadapannya. Apa yang kemudian terlihat di depan matanya membuatnya tercekat.

Gary berdiri tegak di hadapannya. Memegang sebatang kayu pemukul di tangan kanannya. Gary. Dalam keadaan hidup. Tanpa cacat cela.

"Kau," desis Zeus, "Masih hidup rupanya?"

"Kecewa, hm?"

Gary memain-mainkan kayu pemukul itu di kedua tangannya. Menatap pongah pada Zeus yang terikat di lantai. Senyum miring terlengkung di wajahnya yang penuh dengan bekas luka. Ia kemudian berjongkok di hadapan Zeus. "Kau kecewa melihatku hidup?"

"Dimana Emmy?" ujar Zeus. Kedua bola mata peraknya menatap tajam pada Gary. Amarah bergemuruh bagaikan gunung merapi yang siap meledak di dadanya. Tak mengira bahwa Gary akan menipunya sedemikian rupa dengan cara yang pengecut.

"Ah, mengkhawatirkan kekasih rupanya," Gary bangkit berdiri, "Zeus Pierre yang tersohor itu pada akhirnya dikalahkan oleh cinta. HAHAHA."

"DIMANA EMMY?!! BRENGSEK!!"

BUAGGHHHH

Kayu pemukul itu terayun menghantam lengan kiri Zeus dengan keras, membuat pemuda itu rebah ke lantai. Ikatan tangannya sangat erat membuat pergelangan tangannya perih saat berusaha melepaskan diri. Zeus mengerang kesakitan.

"Pengecut kau," desisnya, "Dimana Emmy?!"

DUAGGG

Sebuah tendangan kali ini bersarang di perutnya—tepat pada bekas lukanya yang belum pulih. Ia merintih. Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya, membuat Zeus gemetar. Tawa menyebalkan terdengar memuakkan. Gary melangkah mendekat dan menginjak kepala Zeus yang masih rebah di lantai berdebu. "Argghhh."

"Bagaimana rasanya, Zeus?"

"Senang," ujar Zeus terbata. Seringai tipis terlukis di wajahnya—merendahkan Gary, "Meski tubuhku sedang terluka, kau tetap takkan mampu melawanku jika aku tidak terikat seperti ini. Kau cerdik juga, Gary."

Zeus berharap Gary termakan pancingannya. Berharap kepengecutan lawannya tidak separah yang ia lihat.

"Lepaskan dia."

Umpan berhasil. Seorang anak buah Gary melepaskan ikatan tangan Zeus dengan pisau lipat. Zeus menggerak-gerakkan tangannya—melemaskan ototnya yang kaku karena ikatan yang kencang. Ia kemudian bangkit berdiri perlahan-lahan, menahan sakit yang menggigiti tubuhnya.

"Apa yang kau mau dariku, Gary?"—sehingga kau nekat menculik Emmy dan berbohong soal kematianmu.

"Aku ingin kau mati, Zeus. Sederhana, bukan?" Gary menjentikkan jari, memberi kode pada anak buahnya yang kemudian membuka sebuah pintu di belakang Gary. Tak lama kemudian, Emmy diseret keluar. Zeus lega melihat gadis itu tidak diperlakukan dengan buruk, bahkan sepertinya Gary terlalu menyepelekan Emmy dengan tidak mengikatnya.

"Zeus!" ujar Emmy. Gadis itu hendak berlari ke arahnya namun ditahan oleh anak buah Gary.

"Lepaskan dia, Gary. Aku yang kau inginkan, bukan dia!"

"Dia akan kulepaskan setelah kupastikan kau mati," ujar Gary melangkah maju, "Aku perlu tawanan untuk membuatmu lemah."

"Banci!" teriak Emmy tiba-tiba. Gadis itu berlari mendekati Gary lalu berjongkok dan mengayunkan kakinya menjatuhkan Gary. Zeus dengan sigap merebut kayu pemukul yang terlepas dari genggaman Gary. Keadaan memihak pada Zeus sekarang.

"Zeus, kau tak apa-apa?" tanya Emmy panik.

"Tenang saja. Kau sendiri?"

"Aku baik-baik saja."

"Kenapa kau bisa sampai diculik?"

"A...," Wajah Emmy memerah sekilas, "Aku ditawari es krim."

"Oh. Okay."

Zeus berdiri di depan Emmy—melindungi gadis itu ketika Gary kembali bangkit berdiri dan mengeluarkan sebilah pisau dari balik jaketnya. Pemimpin geng selatan itu rupanya serius soal keinginannya membunuh Zeus. Beberapa anak buah Gary tiba-tiba bergerak mengepung Zeus dan Emmy serta mendorong Mike yang telah sadar hingga menabrak Zeus.

"Pengecut tetap saja pengecut," gumam Zeus muak.

"Bisa apa kau sekarang, eh?" ujar Gary dengan nada congkak, merasa kemenangan telah ada di pihaknya.

"Lepaskan kedua anak ini, Gary. Mereka tak ada hubungannya."

"Aku akan tetap disini bersamamu, Zeus," ujar Emmy cepat. Gadis itu tidak ingin ketinggalan menghajar para gerombolan pengecut geng selatan yang telah menculiknya.

"Aku juga," sahut Mike, "akan membantumu, Zeus."

Zeus pun bungkam. Salut dengan keberanian kedua orang yang sekarang berdiri membelakanginya. Seandainya ia diperbolehkan menggunakan sihir di luar sekolah, semua ini akan selesai dengan cepat—secepat satu ayunan tongkat sihirnya. Zeus menggenggam erat kayu pemukul di tangan kanannya, memasang kuda-kuda dan menatap Gary si pengecut. Ia tak takut dengan pisau jika itu dipegang oleh Gary. Yang ia takuti adalah Emmy terluka.

Emmy dan Mike sudah mulai memukul dan menendang, melawan para anak buah Gary yang berusaha memisahkan mereka dari Zeus. Emmy dipegangi oleh dua orang anak buah Gary, gadis itu meronta namun kekuatannya tidak sepadan dengan lawannya. Perhatian Zeus sempat teralih ketika itu terjadi dan Gary memanfaatkannya. Sebuah sabetan cepat diarahkan ke tubuh Zeus dan akan menjadi luka yang fatal apabila Zeus terlambat menghindar. Bagian depan mantelnya terpotong melintang.

"Hampir saja, Gary," ujar Zeus mengejek, "Tapi masih kurang cepat."

Sabetan demi sabetan kalap pun diayunkan oleh Gary dan dengan cepat Zeus berhasil menghindar meski harus menahan sakit yang teramat pada tubuhnya. Andai saja tubuhnya sedang dalam kondisi fit, ia akan lebih menikmati perkelahian satu lawan satu tersebut. Zeus terkekeh. Ia belum kehabisan stamina sementara Gary terlihat mulai kehabisan tenaga. Satu ayunan keras kayu pemukul yang dipegangnya pun menghantam bahu Gary—membuat pemuda itu terhuyung. Gary mengacungkan pisaunya ke atas dan sekitar lima orang anak buahnya pun bergerak maju dengan cepat memegangi Zeus. Salah satunya terpelanting ke belakang terkena tendangan si berandal.

"Takut kalah, Gary?" ujar Zeus ketika kayu pemukul di tangannya direbut oleh Gary.

"Diam. Aku tak peduli meski aku memakai cara licik untuk menghabisimu," Gary mengangkat pisaunya—menyeringai dan ketika tangannya bergerak untuk menghujamkan pisau tersebut ke perut Zeus; diiringi oleh teriakan Emmy—pintu bangunan itu terbuka lebar dengan sangat keras. Perhatian semua orang yang ada di ruangan tersebut teralih ke arah pintu. Ralph masuk ke ruangan tersebut disusul oleh Kurtzee, Nico dan anak-anak Skull Alley yang lain. Zeus yang melihat kesempatan datang langsung menendang tangan Gary sehingga pisau dalam genggamannya terlempar.

Dengan cepat, situasi berbalik. Gary dan seluruh anak buahnya kini terkapar dengan tangan terikat di sudut ruangan.

Emmy selamat. Mike selamat. Dirinya pun selamat.

Zeus melangkah mendekati Gary dan ia berjongkok di hadapannya. Persis seperti yang dilakukan oleh Gary sebelumnya.

"Polisi sebentar lagi datang," ujar Zeus sambil tersenyum, "Kuharap setelah ini kau jera, Gary."

Tak diduga oleh Zeus, Gary tersenyum. Pandangan matanya bukan mengarah pada dirinya melainkan pada sosok yang sepertinya tengah bergerak mendekat dari belakangnya. Tawa Gary perlahan terdengar dan ketika Zeus menolehkan kepalanya; ia sudah terlalu terlambat.

Sensasi dingin logam terasa menembus punggungnya disertai teriakan-teriakan histeris dari Emmy dan anggota gengnya. Mike menusukkan pisau Gary dalam-dalam dari belakang. Zeus roboh disusul oleh tawa Gary. Ralph dan Nico bergegas maju dan mengikat Mike. Tak seorang pun mengira bahwa Mike akan melakukan hal tersebut. Mike pengkhianatnya. Emmy berlari dan berlutut di samping Zeus, tidak tahu apa yang harus ia lakukan pada pisau yang masih tertancap di punggung pemuda itu. Gadis itu memegangi tubuh Zeus yang mengejang kesakitan—tak berani menggerakannya. Anak-anak Skull Alley yang lain berdiri di luar pintu, bersiap untuk kabur apabila polisi telah datang.

"Mike itu adikku, Zeus. Kau tak menyangkanya, bukan?" ujar Gary kemudian—membuat Zeus terperangah, "Aku juga baru mengetahuinya dua tahun lalu ketika kau membuatku masuk penjara remaja. Ibuku yang sudah bercerai dengan ayahku datang menjengukku di penjara bersama dengan Mike. Dengan uang tabungannya yang tersisa, ia menebusku keluar. Dan tahukah kau apa yang terjadi keesokan harinya?"

Zeus hanya diam. Menunggu Gary melanjutkan kata-katanya. Keringat dingin mengucur deras dari pelipisnya.

"Ibuku gantung diri karena ketakutan dengan ancaman penagih hutang," Mike melanjutkan. Ekspresi bocah itu sama sekali berbeda dengan Mike yang selama ini dikenal oleh Zeus. "Semuanya karena kau yang membuat Gary masuk penjara."

"Konyol," ujar Zeus sebelum ia kehilangan kesadaran karena banyaknya darah yang keluar dari luka tusukan di punggungnya.

"Omong kosong!" Ralph menendang perut Gary dan Mike bergantian lalu ia berlutut untuk mengangkat Zeus yang terluka. "Baru kali ini aku mendengar alasan sebodoh itu untuk membalas dendam!"

"Ayo pergi!" ujar Kurtzee memberikan perintah pada seluruh anak buahnya. Gadis itu meraih tangan Emmy dan mereka pun keluar dari bangunan itu. Kembali ke Skull Alley.


to be continued (in RP)