On the Night Like This




99B Charing Cross Road
Covent Garden, London


Jadi ada yang sedang menjerang satu kuali penuh Ramuan Merica Mujarab di bawah pori-pori kulitnya.

Analogi, Flemming menerjemahkannya dengan tiga puluh delapan koma lima derajat selsius dan saran tepat untukbedrest. Kayleigh tidak menolak atau menurut atau mengerucutkan bibir maju ke depan (seperti yang biasa dia lakukan dalam sosok abobil empat belas tahunnya). Untuk membantah pun dia tidak punya tenaga, karena membantah Flemming akan berlanjut dalam debat panjang yang akan berlangsung paling tidak selama setengah jam, dan itu jauh lebih melelahkan daripada menonton konser D'Lordz dua setengah jam nonstop dalam keadaan digantung terbalik (apadeh). Meskipun saran untuk tetap tinggal di tempat tidur, alih-alih keluar rumah dengan hidung memerah dengan cairan hijau kental mengendap di dua rongganya, adalah yang terbaik yang bisa didengarnya sekarang, gadis itu menggelengkan kepala diam-diam. Keras kepala.

Dia memijat-mijat keningnya yang hangat selagi langkah kakinya membawanya masuk ke ruangan lengang dengan satu tempat tidur berselimut-jahitan-perca, satu set meja dan kursi bocel-bocel, lemari pendek, dan dinding yang dipenuhi tempelan poster dan perkamen. Lengang, rapi, dengan dua buah koper yang sudah dipak di dekat pintu. Oh ya, hanya beberapa hari lagi menjelang keberangkatannya ke negeri orang dan kesehatannya tidak mau diajak kerja sama. Ngedrop dengan sukses. Terbatuk-batuk kecil, diayunkannya tongkat sihirnya sampai mangkuk berisi sup bawang yang masih mengepul itu terjungkir pelan-pelan dan menumpahkan isinya dalam wadah kedap udara lain yang sudah disiapkan. Satu ayunan tongkat lain, dan wadah itu menutup lalu meluncur masuk dalam tas sandang hitamnya.

Selesai. Masih pukul sembilan malam. Peduli setani demam ini dulu sebentar—dia harus segera pergi ke Leaky Cauldron sebelum Flemming memergokinya kabur lagi. Tidak harus sih. Hanya ingin saja. Ingin yang benar-benar ingin. Kayleigh meraih tongkat sihirnya, mengayunkannya sampai lampu kamarnya padam dengan sukses, lalu melangkah limbung keluar kamar. Dibacanya lagi pesan yang dikirimkan Zeus Pierre padanya tadi sore sebelum gadis itu menganggukkan kepalanya yang pusing. Dihelanya pelan-pelan nafasnya yang mulai berat ketika pandangannya tertuju pada potret bergerak dua orang yang dibingkai di atas meja.

Cain. Cain dan Kayleigh—London Zoo, musim panas 1989.

Dalam dua detik diamnya, tangan itu akhirnya terjulur juga, meraih bingkai foto itu dengan cepat... dan menelungkupkannya ke bawah. Tidak mengatakan apa-apa lagi, dia memperbaiki posisi tas sandangnya dan segera melangkah keluar.

Sial. Kangen Cain.

***

Kamar 112
Leaky Cauldron, London


Seratus Dua Belas, ini dia. Zeus bilang tidak perlu ketuk, langsung masuk saja, jadi dia mendorong pelan pintu yang tidak terkunci itu dan melongokkan kepala lebih dulu. Ha. Entah ini bisa dibilang kompak atau apa—yea yea, apasajaboleeeeeh—namun mereka berdua sakit disaat yang bersamaan. Demam, flu, dan kehilangan kemampuan untuk berdiri atau duduk tanpa merasakan dunia sedang berputar dalam putaran hebat nyaris jungkir balik. Zeus mengabarinya tadi sore, dan karena rumahnya dekat sekali dari sini, Kayleigh bersedia datang. Hei, dia sudah menganggap Z seperti kakak kandungnya sendiri... dan beberapa hari lagi dia akan pergi. Ke sebuah negara di seberang sana, yeps. Tidak ada salahnya meluangkan waktu sebentar untuk menengok Zeus.

Lagipula, dia butuh bahu-bahu menganggur untuk bisa dipakai menyandarkan kepala sejenak. Dan seseorang yang masih mau diajak bercerita, langsung, tanpa perantara burung hantu (meskipun arsip surat-menyurat musim panasnya dengan Erin menggunung dengan sangat cepat, melebihi pertumbuhan ruas bambu di negeri tropis).

"Hey, ini aku," dia melangkah masuk, menghampiri tempat tidur dengan sosok yang sangat dikenalnya sedang terbaring di atasnya. Whoops. Diletakkannya punggung telapak tangannya di atas dahi Zeus, mengukur termalnya, tentu saja.

"Seriously, seseorang bisa memasak telur di atas sana."

Yeah, di atas dahi mereka berdua, to be exact.






Kamar 112
Leaky Cauldron, London



Akhirnya, dia tumbang juga.

Pemuda yang sebenarnya memiliki stamina sangat kuat itu kini terbaring di atas tempat tidur di kamar penginapan. Sengaja menjauh dari rumah, dari Skull Alley, dari kastil Elsveta di Rusia bahkan dari rumah Nabelle di Dublin. Bukan karena mereka mengganggu hanya saja jika Zeus berada di salah satu tempat itu maka dia takkan bisa beristirahat dengan tenang. Grandpa Elsveta selalu sibuk mengurusi ini dan itu berkenaan dengan perubahan sistem pemerintahan Rusia dan kekeraskepalaan sang kakek untuk tetap mempertahankan kebangsawanan mereka. Skull Alley pun penuh dengan anak-anak yatim piatu yang membutuhkan perhatiannya (jelas Zeus takkan mau beristirahat kalau sudah ada di sana). Di rumah, melihat wajah Candy hanya membuatnya semakin galau. Dan Nabelle sendiri sekarang sedang sibuk mengurusi pendaftaran kuliahnya di Universitas Seni London.

Leaky Cauldron jadi pilihan satu-satunya. Dekat dengan tempat Kayleigh. Walau sesekali terdengar suara bising dari bar di bawah, Leaky Cauldron terbilang tenang. Dia bisa tidur lelap tanpa memusingkan apa-apa. Sesekali Nabelle datang beraparisi membawakannya makanan dan merawatnya sampai tertidur tapi malam ini sepupu kesayangannya itu harus mengurus Benaya yang masih terbaring di rumah sakit. Kondisi Benaya sudah lebih baik meski mereka semua harus pasrah pada apa yang terjadi dengan ingatan anak itu. Setidaknya ketakutan dokter soal kelumpuhan sudah bisa dibuang jauh-jauh.

Brengsek. Sudah dua hari lewat tapi keadaannya bukan semakin membaik malah semakin memburuk saja. Seluruh tubuhnya seperti ketambahan bobot berlipat-lipat dari bobot tubuhnya sendiri dan seolah ada gurun pasir di dalam sana mengambil alih. Panas dan kering. Hingga rasanya Zeus ingin membuka semua pakaian yang melekat di tubuhnya. Well, dia memang hanya mengenakan boxer saja, sih. Plus selimut putih tipis yang menutupi tubuhnya. Kayleigh mau datang. Mana mungkin dia buka-bukaan di depan adik sendiri?

Derit pintu terbuka kemudian terdengar. Zeus menoleh dan menyipitkan mata melihat siapa yang datang. Seharusnya gadis berambut coklat itu, sih.

"Hey, ini aku,"—dan memang dia.

"Hey, K," balasnya dengan suara serak. Pemuda sembilan belas tahun itu tersenyum tipis ketika Kayleigh meletakkan punggung tangan di keningnya dan bercanda soal memasak telur di atasnya. Zeus menggenggam tangan itu kemudian menariknya pelan hingga gadis berambut coklat itu terduduk di tempat tidurnya. "Kau terlihat pucat, K,"ujarnya memandangi wajah Kayleigh dengan raut kuatir, "Kau sakit juga, ya?"

Gelombang rasa bersalah tiba-tiba saja mengalir di dalam hatinya.

"Kenapa tidak bilang?"

Kalau tahu, aku takkan menyuruhmu datang.







Hangat.

Yeah, suara yang serak teredam itu sudah cukup menunjukkan ada yang tidak beres juga dengan saluran tenggorokan dan hidung Zeus, dan Kayleigh merasa seperti sedang mencengkeram gagang mug berisi cokelat panas yang baru saja diseduh air hangat. Dia terduduk pelan di sisi tempat tidur dan meletakkan tasnya di lantai, bersandar pada meja di samping tempat tidur, sebelum menarik keluar wadah berisi sup bawang yang tadi dia siapkan dari rumah. Ini bukan sup bawang biasa, sih. Ada ramuan tertentu yang diteteskan kedalamnya, efektif untuk mengurangi produksi lendir di rongga hidung dan menurunkan suhu tubuh. Bahkan Bian Kenneth van Houten sendiri sudah memvalidasi kesahihan khasiat ramuan-dalam-sup dalam sebuah wawancara di sebuah tabloid-sihir-kurang-terkenal. Oke, memang (doh).

Dia menyadari dalam dua detik kalau Z hanya menenggelamkan diri dalam balutan selimut bulukan Leaky Cauldron tanpa mengenakan pakaian sehelai pun. Dan yeah, sekali lihat juga tahu kalau pemuda itu mandi keringat. Dia sekarang meraba leher Z dengan punggung tangannya, kemudian bibirnya langsung mengerucut singkat—protes.

"Pakai baju, ya?" Gadis itu bangkit limbung mencari-cari kaus atau kemeja longgar di sampiran kursi, kemudian menarik salah satunya dan menyerahkannya pada Zeus. "Kau mandi keringat—astaga. Sebentar."

Handuk kering. Pasti ada. Terbatuk-batuk menahan pening, Kayleigh menyambar sehelai handuk kering yang terlihat matanya dan membantu Zeus duduk, agar dia bisa menyeka keringat yang membanjir sebelum membantunya mengenakan kemeja longgar itu.

"Kau sakit juga ya?"

Campuran semingguan begadang, banyak pikiran, dan kangen. Yeah, memang. Memang sedang sakit. Tapi dia datang kesini dengan kesadarannya sendiri, beberapa hari lagi dia sudah di Stuttgart dan Zeus akan kembali ke Hogwarts. Kalau mau bertemu langsung empat mata seperti ini harus menunggu lagi sampai liburan musim dingin atau malau summer break tahun depan lagi, kalau dia melewatkan kesempatan yang ini.

"Tidak apa-apa," dia menyerah, memberi kesempatan agar tubuhnya beristirahat beberapa puluh detik dengan duduk di tepian tempat tidur dengan punggung disandarkan ke dinding, satu tangannya sudah menggenggam tangan Zeus lagi. "Cuman kecapekan—dan kau bilang kau sendirian di Leaky Cauldron, lagi sakit begini pula. Masa mau kucueki begitu saja?" Satu toyoran pelan ke pelipis Z, dan dia nyengir tipis.

"Pasti belum makan. Mau kusuapi sup?"

Iya, dia juga bisa jadi yang seperti ini di saat-saat tertentu.






Serius, deh. Demi apapun. Pemuda sembilan belas tahun itu bukannya mau pamer otot atau apa sampai-sampai hanya memakai boxer saja. Sebenarnya sejak tadi sebelum Kay datang pun dia sudah berniat memakai kaosnya. Tapi karena keringatnya masih bandel, berulang kali kaosnya basah dan akhirnya pemuda itu jadi capek sendiri lalu akhirnya ketiduran sampai Kay datang. Nasib orang sakit, tidak bisa mengendalikan tubuh sesuai kemauan. Walau rasanya risih, Zeus terpaksa pasang muka badak alias berlagak tidak tahu malu.

"Thanks," ucapnya ketika Kay mengambilkan sehelai kaos dari dalam tasnya di lantai. Lalu berdecak ketika lagi-lagi Kay berdiri untuk mengambil handuk kering. Kalau saja Kay tidak sedang sakit, Zeus takkan merasa bersalah begini. "Sudah, K. Duduk saja. Tak usah ngapa-ngapain. Nanti sakitmu makin parah." Zeus kembali menarik gadis itu untuk duduk setelah ia dibantu duduk lebih dulu. Memalukan. Dirinya lebih lemah daripada Kay sekarang. Diraihnya handuk kering yang ada di tangan K dan ia membasuh sendiri keringat di tubuhnya. Asal-asalan. Kemudian kaos yang diambilkan tadi juga dipakainya dengan susah payah. Badannya terasa bertambah bobot berkilo-kilo.

"Tidak apa-apa," jawab Kay membuat Zeus menggelengkan kepala dan membalas genggaman gadis yang dianggapnya adik sendiri itu. Tahu bahwa beberapa hari lagi Kay akan pergi ke Jerman untuk pelatihan menjadi seorang magizoologist. Jadi, ia memutuskan untuk tidak banyak protes karena ia memang ingin bertemu dengan gadis itu sebelum ia kembali ke Hogwarts.

Cuman kecapekan—dan kau bilang kau sendirian di Leaky Cauldron, lagi sakit begini pula. Masa mau kucueki begitu saja?

Zeus tersenyum sambil memegang pelipisnya yang baru saja ditoyor oleh Kay, kalau saja ia tidak sedang lemas begini, toyoran itu pasti sudah dibalasnya dengan cubitan keras di pipi. Kay sedang beruntung saja. Ha. "Baiklah. Aku kalah," ujar pemuda itu akhirnya menyandarkan kepala ke dinding. Pusing.

"Pasti belum makan. Mau kusuapi sup?"

"Sup? Buat sendiri?" tanyanya kembali mengangkat kepala dan memandang Kay. Tidak ada tampang bisa memasak, memang. Tapi barangkali usia yang sudah beranjak dewasa membuat gadis itu belajar memasak. Untuk bekal menikahnya nanti, mungkin. Hey, Nabelle saja selama liburan ribut minta diajari semua resep nenek.

"Mau,"—mau disuapi. Tak peduli lidahnya sedang mati rasa. Orang sakit memang dimana-mana sama.

Manja.





Ohiyadoms.

Dia sadar sesadar-sadarnya, dengan titel lulusan Hogwarts dengan usia sudah menginjak delapan belas tahun seperti ini, sudah saatnya waktu mainnya sendiri dikurangi. Tidak, dia tidak bilang dia harus berhenti main-main total (dan menggadaikan gelar abobiltiga ke pasar daging terdekat, bukan begitu). Seorang Kayleigh masih jadi penggemar berat Bian Kenneth van Houten dan masih menganggap bahwa kegiatan main tic-tac-toe kepala Snape itu adalah salah satu cabang olahraga berpikir yang harus dilestarikan. Namun diatas semuanya, Flemming sudah memulai program ini sejak dua tahun yang lalu. Judulnya terlalu serius, Program Bertahan Hidup, padahal acaranya hanya belajar memasak, menyetir mobil, main gitar, belajar negoisasi, (terkadang membahas pengetahuan-pengetahuan umum "makanan" Flemming sehari-hari yang tidak pernah mau dijamahnya), dan... dan banyak.

Dan, yeah, ini salah satu resultan sederhananya. Beberapa orang bilang sekarang dia jadi lebih serius (dan mulai bisa nyambung diajak ngobrol yang sedikit berat). Yang lain bilang dia lebih suka menggalaw daripada diajak senang-senang lagi. Kayleigh bilang dia tidak peduli, toh Charlie Weasley juga galaw. Errrr, bukan. Iya juga sih, tapi bukan (karena Kenneth menolak ikut galaw). Aduh. Well, selama dia tidak merugikan orang lain, jadi apa salahnya? Kadang ada beberapa waktu yang membuatnya berpikir, tentang dirinya sendiri, tentang orang lain, tentang apa yang akan dia capai di masa depan... Dan yeah, bentuk perhatian-perhatian seperti ini juga tidak ada salahnya ia tunjukkan pada Zeus. Selagi sempat.

Siapa tahu ada chimaera nyasar yang mencaploknya di Black Forest nanti—kan?

Dan lihatlah, dua orang sakit yang duduk bersisian. Satu sama lain sudah menganggap hubungan ini telah merambah sejenis tali persaudaraan, jadi tidak ada kecanggungan ketika tangan Kayleigh menggenggam tangan Zeus dengan posisi kepala yang hampir disandarkan pada bahu pemuda itu. Yeah, baginya ini sama saja seperti saat dia mengurus Flemming yang sakit. Atau bagi Zeus, mungkin sama saja seperti dia diurusi Nabelle. Dan selayaknya orang sakit, level kemanjaan Zeus di detik ini sudah menyenggol atap kamar 112 ini sedemikian rupa, dan Kayleigh terkekeh pelan. Jarang dia melihat Zeus yang seperti ini.

Diraihnya wadah seperti mangkuk plastik yang tadi dibawahnya, kemudian dengan sekali sentak pelan tutupnya terbuka, merekahkan asap tipis dan aroma bawang dan rempah ke seluruh ruangan. Sayangnya hidungnya sedang tidak bekerja sebagaimana biasanya, aroma super-lezat itu jadi tidak terlalu tercium. Mungkin begitu juga yang terjadi dengan Z. Dia meraih sendok dan menyendokkan benda itu ke dalam cairan kental kekuningan dengan irisan wortel, bawang, dan sayuran lain itu, kemudian menyodorkannya ke arah mulut Zeus.

"Nih," inginnya terkekeh geli saja, sekali lagi. "Aaaaaa."





Kapan lagi dimanja begini?

Pemuda bermarga Elsveta itu nyengir lemah memandangi wajah Kay yang kini bersandar di bahunya. Dua orang sakit duduk berdampingan. Yang satu pucat tapi masih lincah-limbung (ini bahasa apa, ya?), yang satu lagi pucat basah kuyup tak kuat bangun. Dua-duanya terlihat menyedihkan seperti orang rabun menuntun orang buta. Baiklah, ini hanya racauan tak jelas. Skip. Intinya, Zeus yang sakit itu sedang dalam mode manja tingkat supreme (kalau ada). Dengan mata hanya terbuka setengah seperti orang mabuk, Zeus memandangi Kay dari dahi, hidung, bibir sampai ke dagunya. Dan tiba-tiba saja pemuda itu berpikir kalau adiknya yang manis itu seharusnya tidak boleh dibiarkan pacaran dengan orang lain. Biar saja jomblo selamanya. Toh, ada Zeus yang akan menemani.

^MANA BISA!

Lupakan. Hanya sisi siscom-nya saja yang tiba-tiba timbul ke permukaan. Pemuda itu kemudian terbatuk-batuk lalu berdeham-deham mengusir dahak yang kental di lehernya. Sudah kental, menggelitik pula. Sebenarnya memang gatal tapi reaksinya kalau tak ada Kay pasti hanya berguling saja di kasur. Berhubung ada orang, Zeus menambahkan erangan (ingat, lagi manja). Sesudah melewati dua bulan yang melelahkan rasanya pemuda itu wajar-wajar saja bertingkah begini. Iya, wajar. Wajar kalau nanti dijitak Kay atau mungkin disiram sekalian dengan kuah sup di dalam wadah yang sedang dibuka gadis itu.

"Aaaaaa."

Satu sendok berisi kuah kekuningan dengan potongan wortel, bawang dan sayur-sayuran disodorkan ke mulutnya. Zeus mengerutkan kening.

"Aku tak suka wortel."

Minta ditabok.





Nah, kan.

Ini saat-saat langka, dan saat-saat langka biasanya priceless. Dia biasanya melihat sosok Zeus sebagai sosok kakak hiperaktif yang sangat care pada orang-orang yang disayanginya. Mungkin karena naluri sosial Z sendiri sudah terbentuk sejak di Skull Alley. Hanya akhir-akhir ini saja, saat epidemik galawisme melanda separuh bagian bumi dan hampir semua orang yang ia kenal terkena dampaknya, Zeus makin terlihat murung. Sekarang saat kondisi tubuhnya sendiri menyerah dan nge-drop, dia baru tahu Z punya sisi yang seperti ini. Manja. Dan Kayleigh menertawakannya pelan—bukan mengejek, dia hanya gemas. Gemas sampai ingin mengacak-acak rambut gelap Z dengan satu tangan dan menoyor-noyor pelipisnya.

Errr, mungkin inilah yang dinamakan dengan oenjoe moment.

Dia tahu jenis demam yang seperti ini akan menciptakan sensasi pening di kepala (yeah, karena dia juga sedangmengalaminya), jadi dia mengurungkan niatnya untuk menoyor kepala Z. Tapi, yeah, dia menggantinya dengan satu tepukan ringan di pipi dengan bonus nyengir lebar tak berdosa seperti yang sekarang sedang dia lakukan. Rasanya peningnya sendiri sedikit mereda, meskipun ketika dia menghela nafas, bagian bawah hidungnya masih merasakan hembusan hangat. Masih demam. Dan hidungnya masih mampat... tenggorokannya juga. Ah, ya sudahlah. Pikirkan diri sendiri itu bisa nanti.

"Aku tak suka wortel."

"...."

Wah, minta diunyel-unyel ya?

Dia sedikit manyun lagi sekarang, menyendok ulang sup-tanpa-menyertakan-wortel kemudian menyodorkannya kembali sendoknya ke arah Zeus. Tahan cengir.

"Nih, tanpa wortel. Aaaaa..."

Tapi sebelum sendok itu sempat dilahap Z, dia segera membelokkannya ke arah mulutnya sendiri. Dan yeah, sedetik kemudian sensasi rempah-rempah melegakan sudah menguasai indera perasanya. Hangat. Dengan potongan bawang dan bayam yang kini sukses dikunyah.

Terakhir, satu lirikan jahil pada Zeus—yang ditutup oleh satu kekehan panjang ketika dia tertawa. Lepas.





Zeus diam saja waktu Kay menepuk pelan pipinya sambil nyengir. Ceritanya pemuda itu sedang ngambek karena tidak bisa membalas menepuk pipi Kay. LEMAS ITU MENYEBALKAN!! GRAOO—kalau saja bisa berteriak begitu. Pemuda itu mendengus tapi tak ada udara yang keluar karena saluran lubang hidungnya sedang terjadi kemampatan dari dalam yang menyebabkannya sejak dua hari lalu harus bernapas lewat mulut seperti ikan megap-megap. Aroma sup yang dibawa Kay pun sama sekali tidak bisa dihirupnya padahal sepertinya baunya enak dan menggelitik napsu makan. Sayang sekali, tak ada yang tergelitik dari diri Zeus saat ini. Yang ada hanya keinginan untuk bermanja-manja. Sedikit lupa kalau Kay juga sebenarnya sedang sakit.

"Nih, tanpa wortel. Aaaaa..."

Akhirnya ia memutuskan membuka mulut dan tidak melanjutkan rajuknya. Kasihan nanti Kay jadi geregetan lalu stress dan menangis meraung-raung karena makanannya tidak dimakan oleh Zeus (hanya spekulasi). Tapi begitu sendok itu nyaris masuk ke mulut, Kay membelokannya dan menelannya sendiri (kuahnya tanpa sendok, lho). Zeus hanya bisa melongo sambil menaikkan sebelah alisnya memandangi Kay asyik mengunyah. Lirikan gadis itu pun dibalasnya dengan lirikan yang senada tapi kekehan Kay hingga tawa lepasnya sukses membuat Zeus memonyongkan bibirnya.

Dikerjai.

"K, kau..." Pemuda itu mengangkat tangannya perlahan dan menempelkannya ke pipi Kay yang sedang tertawa. Memberikan cubitan yang sebenarnya diniatkan keras tapi ternyata tak bertenaga sama sekali. "Sial. Tanganku mengkhianati."

Sebagai gantinya, Zeus merebahkan kepalanya di bahu Kay lalu—

—sebuah gigitan pun bersarang di lengan atas gadis itu.

"Gotcha..."—gantian, Zeus yang terkekeh sekarang.





Yeah, Kayleigh sudah mulai tidak yakin bahwa dua orang yang sekarang duduk bersisian dengan punggung disandarkan pada sandaran tempat tidur ini memang sedang menderita demam, sakit kepala, dan gangguan di bagian tenggorokan. Dia tidak memungkiri bahwa energi tubuhnya sendiri seperti tersedot keluar seperti di pompa oleh pengungkit tak terlihat. Untuk melangkahkan kaki atau duduk saja rasanya super-limbung (jika diterjemahkan ke dalam bahasa asing, maka keadaan ini dinamakan nggaknyante atau bisa juga apadeeeh). Namun dia tahu sakitnya Zeus lebih parah daripada sakitnya, dan pemuda itu sudah kehilangan lebih dari separo tenaganya untuk membalas perlakuan jahilnya tadi. Gadis itu nyengir ringan dan membiarkan satu cubitan ringan mendarat di pipinya.

Tanpa tenaga, eah eah.

"Sial. Tanganku mengkhianati."

"Memang," dia menyahut kalem kemudian menyendok mangkuk supnya lagi. "Tuh. Makanya nurut sini. Makan sesendok saja, ya?"

Baru saja dia akan menyodorkan satu sendokan itu ke arah mulut Zeus, pemuda sembilan belas tahun itu malah menyandarkan kepalanya ke lengan atas Kayleigh, dan tidak ada yang heran saat sedetik kemudian gadis itu terlonjak kaget sejenak. Buset. Orang sakit memang macam orang sakit. Untung sendok berisi sup ini tidak terlontar dari pegangannya dan mengotori selimut dan tempat tidur Z. Mau tidak mau, satu tepukan ringan lagi mendarat di pipi Zeus.

"Dilarang gigit-gigit!" Tahan cengir, sekali lagi. "Mangap sini, atau aku pulang!"

Yang terakhir tadi memang disengaja, toh pada akhirnya dia terkekeh lagi. Tidak tahan pura-pura manyun dan mengancam akan pulang tanpa memberi hint bahwa yang tadi itu hanya candaan saja. Kayleigh tidak akan pulang sebelum Zeus mengusirnya keluar kok. Biarkan saja, toh mereka sama-sama tahu yang semacam ini mungkin tidak akan terjadi lagi untuk dua atau tiga tahun ke depan, saat satu sama lain sudah mengurusi urusan masing-masing dan hanya bertemu muka disaat-saat sempat saja.

Satu sendokan lain. Dan lagi. Dan... lagi. Zeus harus makan sesuatu, paling tidak jangan sampai perutnya sepenuhnya kosong.

"So, how's your summer?" gadis itu membuka topik lain selagi sendokan demi sendokan sup dia arahkan pelan-pelan ke mulut Zeus.





Zeus menghentikan tawanya ketika Kay mengancam mau pulang. Ia tahu, kok kalau Kay hanya becanda saja. Ia tahu tabiat adiknya itu tapi ia pura-pura tak tahu saja. Lagian kepalanya sekarang teramat pusing. Pandangannya mulai berputar dan matanya mulai mengerjap-ngerjap. Lemas. Sampai-sampai kepala yang tadinya berada di pundak Kay sekarang merosot jatuh ke pangkuan gadis itu. Perutnya memang sejak pagi belum diisi sama sekali. Tapi ia juga tidak merasa lapar. Bawaan penyakit. Anak-anak di Skull Alley yang kemarin ini harus dirawatnya pun rata-rata kehilangan napsu makan karena demam tinggi dan ia, sebagai pemilik panti asuhan Skull Alley harus memaksa mereka makan. Persis seperti yang Kay lakukan sekarang hanya saja lebih tegas lagi. Sekarang, ia jadi tahu perasaan anak-anak itu. Ingin dimanja. Persis seperti dirinya sekarang.

Pangkuan Kay empuk, ngomong-ngomong. Membuat Zeus jadi merasa semakin ngantuk saja. "Begini saja, ya," ujarnya lirih sembari memejamkan mata, "Makannya nanti saja. Aku pusing."

Setengahnya manja. Setengahnya lagi serius, kok.

So, how's your summer?"

...

"Hot," jawabnya singkat. Maksudnya panas, sibuk, melelahkan, menegangkan dan menggalaukan. Keren, ya. "Sampai-sampai badanku jadi ikut hot."

Mencoba berkelakar. Tapi jika disampaikan dengan mata terpejam dan wajah pucat pasi, kelakarnya tersampaikan atau tidak? Well, berbicara soal galau. Tiba-tiba pemuda itu ingat kalau wajah Kay saat datang tadi terlihat galau juga. Selain pucat, binar mata Kay terlihat sedih. Zeus membuka matanya sedikit untuk memastikan. Tuh, kan sedih."Kau sendiri bagaimana? Mukamu kacau banget, lho."

Cerita saja. Mumpung abang di sini.

"Kau tak sedang bertengkar dengan si hati, kan?"








"Obviously."

Summer is hot, he said. Yeah, musim panas memang 'panas'—musim panasnya juga entah kenapa tidak sebaik yang dia kira. Harusnya dia excited menyambut hari keberangkatannya ke Jerman sana, namun distraksi terbesarnya adalah memikirkan perpisahan. Terutama dengan Flemming (kakaknya selalu bilang pergi dari Inggris dan menetap di Jerman adalah salah satu keputusan paling baik yang pernah dia buat selama delapan belas tahun ia hidup di dunia, dan Kayleigh terlalu semangat sampai tidak sempat memikirkan ada subliminal messages dalam kalimat encouragingtersebut). Charlie dan Kenneth akan bertolak ke Rumania juga dalam waktu dekat, dia sudah berjanji akan mengunjungi mereka beberapa kali kalau kegiatannya sebagai trainee tidak mencekik lehernya sendiri. Dan Erin akan jadi penyembuh, jika dia tidak salah, tahun pelatihannya akan jadi sangat sibuk—no probs, itulah gunanya penyihir menciptakan sapu, bubuk floo, dan dianjurkan untuk belajar apparate.

Tapi salah satu yang paling membuatnya agak gelisah hanyalah kenyataan bahwa dia belum bicara lagi dengan Cain, sejak kakinya melangkah keluar dari Hogwarts.

Pentingkah?

TENTUSAJAPENTING.

BAGAIMANAMUNGKINDIATIDAKMEMIKIRKANCAIN JIKASECUILKABARBERITATENTANGPEMUDAHUFFLEPUFFITUSAJA DIATIDAKTAHUSAMASEKALI?


...coret. Coret dua kali. Seharusnya tidak begini. Masa lalu adalah masa lalu. Dia hanya butuh waktu untuk menyesuaikan diri pada keadaan baru. Dan gadis itu tercenung, tidak sadar dirinya sendiri melamun sambil menarikan jemarinya sendiri pada helaian rambut gelap milik Zeus—orangnya sendiri sudah merosot kehabisan tenaga dari bahu ke pangkuannya. Wajah sedikit pucat milik Z tampak lelah... tampaknya dia sudah mulai mengantuk dan lebih memilih beristirahat saja daripada makan. Yea.

(pukpuk)

"Kau tak sedang bertengkar dengan si hati, kan?"

Haha. Terlalu jelaskah? Kontak batin itu ternyata memang ada.

"Tidak bertengkar kok," dia mengedikkan bahu, berusaha menyembunyikan intonasi kering dan ogah-ogahan dari suaranya, tapi tampaknya gagal. "Kan memang sudah putus."

Siapa tadi yang menyenggol tombol galaw?






"Tidak bertengkar kok."

Jawaban yang pertama kali keluar dari mulut Kay membuat Zeus mengangguk-angguk dan mendengungkan kata singkat berbunyi, "Ow..." Baguslah. Rasa-rasanya akan sulit dibayangkan kalau Kay dipisahkan dengan Cain. Pemuda itu tahu seberapa sayangnya Kay pada pacarnya meski beberapa kali menangis mendatangi dirinya dan berkata mereka tengah bertengkar dan sebagainya dan sebagainya. Walau sesungguhnya hati kecil Zeus kesal melihat Kay dibuat berkali-kali menangis begitu, ia tak sampai hati melarang Kay berhubungan dengan Cain. Tak peduli seperti apa gaya berpacaran mereka, rasa sayang itu pasti tetap ada. Buktinya sebentar bertengkar, sebentar berbaikan. Semoga saja Cain juga memiliki perasaan yang sama dengan Kay. Jika tidak, mungkin satu dua pukulan untuk pemuda itu layak disarangkan. Ha. Bicara begini saat sedang sakit rasanya aneh, eh?

"Jadi, sebenarnya kena—"

"Kan memang sudah putus."

"Oh, sudah putus..." Zeus mengangguk-angguk lagi. Memejamkan mata, terdiam sesaat lalu tiba-tiba pemuda itu membelalakkan matanya menatap tajam ke arah Kay, "PUTUS KENAPA?!"

Pengaruh sakit atau bukan, reaksi Zeus kali ini memang agak-agak tertunda. Sebut saja lemot.

"Apa yang terjadi sampai putus? Dia menyakitimu lagi? Brengsek! Memang seharusnya dari dulu dia kuhajar sa—uhuk... uhuk...—ja!"

Imajinasi-imajinasi pun beterbangan di benak si pemuda. Membayangkan hal-hal yang membuatnya semakin geram saja. Barangkali Cain menemukan gadis lain dan meninggalkan Kay begitu saja. Barangkali Cain sejak awal hanya mempermainkan Kay dan tidak berniat serius. Barangkali Cain tipe laki-laki yang tidak sanggup pacaran jarak jauh (padahal dalam kamus penyihir yang namanya LDR itu nyaris tidak ada).

Zeus menarik napas lalu menghembuskannya. Begitu batuknya reda, perasaannya pun ikut melunak. Ia mengangkat tangan untuk membelai pipi Kay dengan jemarinya, "Kau baik-baik saja, kan? Hmm? Katakan saja semua uneg-uneg di benakmu. Aku akan diam dan mendengarkan. Sampai kau puas."








Kan memang sudah putus.

Memang.

Dia baru ingat dia belum cerita pada siapapun soal ini, Zeus bahkan baru saja tahu, Erin juga belum. Isi tumpukan perkamen surat musim panasnya pada Severine Shelley lebih banyak membahas soal yang warna-warni saja, yanggloomy macam ini dia pendam dalam-dalam untuk konsumsi dirinya sendiri. Terkadang Kayleigh mendapati dirinya sendiri melamun soal hal ini lama sekali, bertanya-tanya apakah disana Cain juga sedang memikirkan hal yang sama atau sudah tidak peduli sama sekali. Saat dia tersadar, biasanya dia akan menyesali sudah menghabiskan sekitar satu-dua jam untuk memikirkan sesuatu yang tak harusnya dipikirkan lagi, dan seseorang yang mungkin saja tidak memikirkannya balik. Ha. Rasanya seperti ingin menusuk sesuatu dengan tombak saat dia sendiri sedang sekarat—rasanya sedih, sakit, kesal juga ada. Kesal pada diri sendiri. Kampret, kan?

Dan emosi yang seperti ini dibiarkan berlarut-larut sejak beberapa minggu yang lalu sampai sekarang. Hasilnya berdampak jelas pada kesehatannya yang menurun dan (mungkin) terpeta jelas pada ekspresi wajahnya. Z bilang tampangnya kacau, dia mengiyakan. Dia tahu Zeus adalah salah satu oknum yang menyuarakan nada negatif atas hubungannya dengan Cain (...uhuk), dia beberapa kali menyinggung soal 'menghajar Cain sampai jadi bubur' kalau pemuda Hufflepuff itu sengaja atau tidak sengaja menyakitinya. Charlie dan Kenneth juga pernah melempar wacana itu, meskipun mereka membungkusnya dalam bentuk jokes. Zeus mungkin lebih protektif, namun di satu sisi dia juga mencoba bersikap suportif. Yeah, selayaknya seorang kakak pada adik perempuannya.

"PUTUS KENAPA?!"

Kenapasajaboleh? Cis. Bukan. Selabil-labilnya mereka berdua, yang seperti ini juga punya alasan tersendiri. Hanya saja... Dia nyengir pasrah, menelan ludahnya yang terasa pahit. Cerita? Tidak cerita?

"Apa yang terjadi sampai putus? Dia menyakitimu lagi? Brengsek! Memang seharusnya dari dulu dia kuhajar sa—uhuk... uhuk...—ja!"

"Jangan!" mendadak Kayleigh menyergah, meskipun intonasinya masih lemah. Satu tangannya menepuk-nepuk Z yang masih terbatuk-batuk, inginnya bangkit saja mencari air putih yang available andai dia tidak ingat kepala Zeus masih di pangkuannya. Ternyata pilek yang seperti ini juga bisa membantu dalam keadaan begini: matanya tahu-tahu panas. Cis. Dia benci sisi lainnya yang cengeng-pengecut jika disinggung-singgung soal ini. Dia jarang menangis—jarang sekali, demi kutil Merlin yang paling besar—hanya saja fakta ini tinggal sejarah... sejak dia pacaran dengan Cain, kan? Tapi sekarang dia tidak menangis, kok. Mungkin belum.

"Sebenarnya aku tidak mau memikirkannya," dia kembali menjawab setelah batuk Zeus mereda. "Tapi... tapi sulit. Sulitsekali. Terpikir terus, dan aku benci itu."







Kalau sudah seperti ini, Zeus rasa-rasanya ingin menyesali kesibukan yang membuatnya kesulitan menghubungi Kay selama liburan. Jika saja ia tahu lebih cepat mungkin beban di pundak Kay bisa lebih berkurang lebih cepat, tak perlu dipendam terlalu lama sampai jatuh sakit begini. Katakanlah ia seorang kakak yang protektif karena kenyataannya memang begitu. Jiwa sosialnya yang terlalu tinggi lah yang membuatnya bisa menaruh diri di dalam situasi orang lain (meski itu baru dipahaminya belakangan ini).

Sayang, kalau dipikir ulang, liburan musim panasnya benar-benar tak tertolong lagi sibuknya. Di awal liburan saja ia sudah mendapat kabar kalau Benaya masuk rumah sakit dan koma. Ia dan Belle setiap hari mendatangi rumah sakit tempat Benaya dirawat dan memberikan bantuan sebanyak yang mereka bisa berikan. Belum lagi Grandpa Vladimir di Rusia yang berulang kali mengiriminya surat untuk segera datang karena banyak urusan keluarga yang harus ia kerjakan. Banyak undangan-undangan dari kerabat dan relasi Elsveta yang harus dihadiri hingga mencuri-curi waktu ke rumah sakit pun sudah sangat sulit. Ditambah dengan kenyataan bahwa Benaya kehilangan ingatannya dan kemampuannya untuk berakrobat.

Dunia Zeus rasanya jungkir balik. Untunglah kesibukannya di Skull Alley sedikit mengobati rasa pedih hatinya tersebut. Mengurusi bocah-bocah yatim piatu yang sakit, memperbaiki mainan yang rusak dengan mantra sampai ke hal-hal terkecil seperti menimang-nimang seorang bayi yang baru datang bergabung. Bayi yang mungkin akan diadopsinya sendiri.

Kesibukan-kesibukan yang membuat lupa waktu itu pun akhirnya terpaksa dihentikan karena tubuhnya tidak kuat. Sejak dulu memang Belle memiliki daya tahan yang lebih baik daripada dirinya. Dan di sinilah Zeus sekarang, terbatuk-batuk sambil ditepuk-tepuk oleh Kay.


"Sebenarnya aku tidak mau memikirkannya. "Tapi... tapi sulit. Sulit sekali. Terpikir terus, dan aku benci itu."


Zeus menatap iba pada gadis itu. Menyadari bahwa Kay tengah menahan tangisnya. Pemuda itu kemudian mengulurkan tangan dan mengusap pipi Kay, tepat di bawah mata gadis itu, "Aku mengerti. Butuh waktu pasti. Dan aku yakin kau pasti bisa melewatinya. Kau ini kan adikku. Adiknya Super Z tidak kenal takut." Jemarinya kemudian berpindah ke hidung mancung Kay, memencetnya pelan, "Menangis saja. Tak usah ditahan-tahan. Hanya aku yang lihat."


Aneh. Perasaan Kay belum pernah dirasakannya tapi entah kenapa ia bisa mengerti perasaan itu. Terlampau mengerti.


"Rasanya seperti kehilangan sesuatu yang meninggalkan lobang besar di hati," gumamnya, "dan lobang itu takkan pernah bisa tertutup lagi..."








"Menangis saja. Tak usah ditahan-tahan. Hanya aku yang lihat."

"...hmph."

Hidungnya memang sedang dipencet pelan oleh Zeus, namun alasan mengapa dia tidak meresponnya dengan kalimat, anggukan, dan gelengan hanya karena Kayleigh sudah berjanji satu hal: dia tidak mau menangis gara-gara Cain lagi. Itu memang kekonyolan tingkat antar galaksi yang tampaknya wajar: dia gadis normal yang biasa, baru saja lepas dari masa ababil tingkat dewa, dan baru saja ditampar sesuatu untuk bisa belajar lebih dewasa. Kan? Menangis itu wajar, kata orang, tapi kalau menangis terus-terusan ya tenggelamkan diri saja sana ke sumur terdekat. Mungkin prinsip mereka berdua terlalu berbeda, mungkin dia terlalu membosankan, mungkin Cain masih menyukai Febryne (...uhuk), mungkin ego dua-duanya sudah dilapisi titan super-keras sampai tidak punya harapan lagi untuk dileburkan satu sama lainnya.

Intinya: quit. Lalu move on. Seseorang yang kau cintai meninggalkanmu? Dunia diluar sana belum kiamat, lho.

Ngomong memang mudah, ya.

"Aku—mmmm—tidak mau menangisinya terus. Bosan." Dia mencoba menyunggingkan senyum, dan langsung tahu senyumnya pasti terlihat sangat menyedihkan karena kentara sekali dipaksakan. Mau tertawa sekarang pun rasanya tidak sesuai dengan atmosfer yang sedang tercipta. Galawish. Namun dia mencoba terkekeh pelan, menarikan kembali jemarinya ke helaian gelap rambut Zeus dalam gerakan random. Matanya melirik kesana, tapi jelas pikirannya sudah terpencar-pencar ke banyak tempat. Stuttgart, Cain, Flemming, Charlie, Kenneth, Erin, Cain, Black Forest, Vancouver, Mum, Dad, Cain, Zeus, Magizoologist, dragon-keeper, healer, Cain, Cain, Cain, Cain

—(exhales)

"Rasanya seperti kehilangan sesuatu yang meninggalkan lobang besar di hati," dia mendengarkan Zeus merespon kata-katanya dalam satu gumaman pelan. "dan lobang itu takkan pernah bisa tertutup lagi..."

Ya. Ya, tepat. Itu penggambaran yang tepat—Zeus tentu tahu bagaimana rasanya. Kayleigh tahu pemuda sembilan belas tahun itu pernah mengalami hal-hal yang semacam ini. Beberapa tahun yang lalu, kan?

"Kau sendiri... bagaimana, Z?"





"Aku—mmmm—tidak mau menangisinya terus. Bosan."


"Keputusan yang tepat," balas Zeus tersenyum hangat meski ia tahu kalau Kay tengah memaksakan dirinya. Berpura-pura tegar padahal sesungguhnya tidak. Sama seperti Nabelle kalau sedang keras kepala. Tapi ia menghargai para hawa yang mampu berbuat begitu. Itu artinya mereka mau berusaha. Bukankah itu justru sebuah hal yang positif? Keinginan untuk mencapai sesuatu kadang memang harus dimulai dengan penyangkalan diri. Lagipula, ditinggalkan oleh seseorang yang paling berarti itu sangat berat. Tidak mudah untuk dilupakan. Bahkan bisa meninggalkan bekas yang seumur hidup takkan hilang. Persis seperti gumaman yang tadi ia keluarkan.

Gumaman yang kemudian membuat pemuda itu terdiam dan berpikir. Tiba-tiba saja ada sesuatu yang ganjil yang muncul di benaknya. Membuat pemuda itu memejamkan mata dan mengerutkan kening. Kepalanya mendadak terasa sakit. Seperti ada sesuatu yang tajam menusuk-nusuk di belakang kepalanya, tepat di otaknya.


"Kau sendiri... bagaimana, Z?"


"Entahlah..." ujarnya sambil membuka mata dan menatap Kay dengan pandangan heran, "Ada yang aneh. Aku merasa seperti pernah mengalami yang sama sepertimu. Tapi aku tak bisa ingat."


Pemuda itu terdiam lagi. Menarik napas lalu menghembuskannya pelan.

"Mungkin hanya khayalanku saja. Lupakan."


Yang terpenting sekarang Kay kembali ceria dulu.

Skull Alley (FF)

Winter Holiday 1986

Rindu.

Mungkin itu satu kata yang tepat untuk mewakili perasaan Zeus Pierre saat ia menggamit jemari Emmy dan berjalan menuju sebuah tempat bernama Skull Alley. Tempat dimana ia menghabiskan waktunya sejak Christoff membawanya pergi dari kastil Elsveta. Jika saja ia tidak menemukan tempat ini dan berkenalan dengan Kurtzee serta anak-anak berandal yang lain yang menghuni tempat itu, ia mungkin takkan menjadi Zeus Pierre yang sekarang. Seorang pemuda yang mampu memimpin sekelompok anak berandal di usianya yang ke-11 dan mengubah kebiasaan buruk mereka menjadi lebih baik. Jika saja Skull Alley tak ada, mungkin Zeus akan jadi seorang anak laki-laki yang lebih banyak menghabiskan waktu dalam diam atau mungkin ia akan jadi seperti Christoff. Pilihan kedua rasanya lebih pantas dienyahkan dan dilupakan.

Dari stasiun kereta, Zeus memutuskan untuk berjalan kaki langsung menuju Skull Alley. Jaraknya tidak terlalu jauh dan salju yang menumpuk di sepanjang jalan telah disapu ke pinggir sehingga tidak membuat langkah mereka terhambat. Ia diam-diam bersyukur bahwa sebagian kebutuhan pakaiannya sebagian tersimpan di Skull Alley; sehingga ia tidak perlu membebani pundaknya dengan ransel yang berat. Cuaca saat itu sangat dingin dan membekukan, ditambah lagi luka-luka di tubuh Zeus selepas berkelahi dengan Ryder di sekolah masih belum pulih sepenuhnya. Sedikit gerakan yang terlalu keras akan membuat sebuah ringisan muncul di wajah si berandal. Perban yang melingkar di kepalanya pun belum terlepas meski retakan tulang rahang sepertinya sudah pulih lebih dahulu. Gadis kecil yang berjalan di sampingnya mungkin sudah lelah memarahi dirinya sehingga memilih untuk diam saja ketika melihat luka-lukanya. Atau mungkin, gadis kecil itu malah sedang memikirkan kata-kata apa yang layak dilontarkan untuk pemuda yang tengah berjalan di sisinya.

Entahlah.

Ia berjalan perlahan sembari menahan sakit pada perutnya. Dua buah tinju Ryder sempat bersarang di sana. Keras dan fatal. Membuatnya nyaris kehilangan kesadaran saat itu. Sebuah perkelahian yang bermula karena alasan sepele dan konyol; semata-mata untuk mengalihkan pikirannya dari Belle. Kedua iris peraknya bergulir memperhatikan daerah tempat tinggalnya yang telah ia tinggalkan selama dua tahun. Ia terdiam sejenak ketika melewati kediaman Debussy. Ya, rumah yang ditinggali oleh Lucretia—ibu kandungnya, dan Candy—adiknya. Ingin ia mampir sejenak sekedar untuk menyapa dan melihat keadaan mereka berdua, namun ia kembali teringat kata-kata sang ibu yang melarangnya untuk kembali lagi ke rumah itu. Dan ia kembali meneruskan langkahnya. Tanpa ia sadari, ia menggenggam jemari Emmy lebih keras untuk beberapa saat; tak menyadari ketika gadis kecil itu menoleh ke arahnya.


SKULL ALLEY

Tak banyak yang berubah. Mobil sedan bobrok berwarna merah yang catnya sudah terkelupas dimakan usia masih terparkir di sudut dekat dinding batu. Berubah peran menjadi tempat duduk alih-alih kendaraan untuk transportasi. Sebuah ring basket usang masih berdiri di sana dengan beberapa bocah sedang bermain. Tumpukan kardus bekas menggunung di samping ring basket, terlihat jelas bahwa tumpukan itu semakin tinggi dalam dua tahun terakhir. Sebuah bangunan kumuh yang telah disulap menjadi tempat tinggal mereka yang tak punya rumah berdiri tegak di samping kanannya. Warna tembok bangunan itu kini berubah, penuh dengan lukisan cat semprot yang dibuat oleh bocah-bocah Skull Alley yang kreatif.

Zeus tersenyum tipis, mengenali sosok bocah-bocah yang tengah asyik bermain basket. Dua tahun telah memberikan perubahan tinggi badan yang signifikan pada bocah-bocah itu. Beberapa dari mereka bahkan terlihat telah mengecat rambutnya dengan berbagai warna seperti pelangi. "This is my home, M," ujar Zeus pada gadis kecil yang masih digandengnya, "Welcome to Skull Alley." Emmy tersenyum riang dan menganggukan kepala. Gadis kecil itu senang karena Zeus mengajaknya menghabiskan liburan musim dingin di Skull Alley, "Kelihatannya menyenangkan di sini."


So, where's Kurtzee?


"Itu Zeus! Zeus pulang! Zeus pulang!"

Seorang bocah berambut merah menyala menyadari kedatangannya dan mulai berteriak-teriak memberitahu seluruh bocah-bocah lain yang ada di sana. Dalam beberapa detik, mereka telah berlari mengerumuni Zeus dan Emmy. Melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang langsung dijawab oleh Zeus di tempat. Hanya pertanyaan basa-basi seperti apa kabar dan sejenisnya. Juga tentang siapa Emmy. Beberapa dari mereka menggoda Zeus karena menggandeng tangan si gadis kecil sehingga ia akhirnya melepaskan genggamannya dari Emmy. Emmy hanya tertawa menanggapi pertanyaan mereka sambil sesekali mengusap kepala beberapa bocah yang melontarkan pertanyaan pengundang tawa. Zeus merasa senang telah memutuskan untuk kembali ke Skull Alley. Setelah puas, kerumunan bocah-bocah itu pun bubar dan mereka kembali melakukan aktivitas mereka.

"Zeus," ujar sebuah suara. Kecil dan halus, nyaris tak terdengar. Zeus menundukkan kepala ketika sebuah tarikan lemah pada jaketnya terasa dan ia tersenyum ketika mendapati Elmira berdiri sambil mendongak menatapnya. Elmira adalah seorang gadis kecil yang seminggu sebelum keberangkatannya ke Hogwarts, ia temukan menangis di pinggir jalan dengan sebuah kertas bertuliskan 'Nama anak ini Elmira, tolong rawat dia' tergeletak di atas perutnya. Usia gadis kecil itu sekarang 5 tahun, dengan rambut hitam mengkilat tergerai halus hingga ke punggungnya dan bintik-bintik coklat halus bertebaran di sekitar hidungnya yang mungil. Elmira tumbuh menjadi gadis kecil yang sangat cantik.

"Elmira, kau masih mengenaliku?" Gadis kecil itu mengangguk dengan senyum lebar menghiasi wajahnya. "El ompong," ujar gadis kecil itu sambil menunjuk ke arah dimana dua gigi susunya seharusnya berada. Zeus tersenyum geli melihat gadis kecil itu. Emmy kemudian berjongkok sehingga tinggi tubuhnya sejajar dengan Elmira lalu ia mengulurkan tangannya, "Namaku Emmy. Salam kenal, Elmira."

"Aku Elmiya," balas Elmira cadel sambil menepuk-nepuk telapak tangan Emmy yang terulur kepadanya—keningnya kemudian berkerut, menatap Emmy curiga, "Pacal Zeus, ya?"

Emmy tertawa geli dan menggelengkan kepalanya—menyangkal pertanyaan Elmira secepat yang ia bisa, "Bukan. Aku temannya Zeus."

Tak diduga, Elmira tersenyum gembira mendengar jawaban Emmy. Gadis kecil itu serta merta memeluk kedua kaki Zeus dengan erat, "Zeus munya El. Pacal El. Zeus, ndong El..."

"Maaf, Elmira. Aku sedang terluka jadi tak bisa menggendongmu," ujar Zeus lembut. Ditepuk-tepuknya kepala Elmira yang kini cemberut menatap dirinya. Kesal karena Zeus tak mau menggendongnya. "Biar aku saja yang menggendongmu, bagaimana?" Mike menawarkan diri, "Zeus sedang sakit, El." Mike adalah seorang bocah bertubuh tinggi dan berambut keemasan. Usianya sekitar 11 atau 12 tahun. Memiliki wajah tampan yang teduh; seringkali dimanfaatkan untuk merayu pemilik toko supaya memberikan mereka camilan.

"Zeus cakit?" ujar Elmira sambil mengangkat tangannya ke arah Mike, menunggu digendong. Mike pun dengan sigap mengangkat tubuh mungil Elmira ke gendongannya—terlihat sudah terbiasa mengurus Elmira. "Zeus mik obat, ya. El juga mik obat waktu cakit." Pemuda itu mengangguk pelan. Gemas dengan tingkah laku Elmira.

"Kurtzee dimana?" tanya Zeus akhirnya pada Mike.

"Zee tadi sedang bersama Ralph, mungkin sebentar lagi dia datang," ujar Mike.

"Aku disini," Sebuah suara terdengar dari belakang Mike. Sosok seorang gadis berambut merah kini terlihat di bola matanya seiring sebuah tinju yang melayang menuju ke perut si berandal.

"Stop," ujar Zeus sembari menahan tinju tersebut dengan telapak tangannya, "Kau tinju aku sekarang maka aku akan roboh dengan memalukan di sini. Tentunya kau tak mau itu, hm?"

"Jadi, cewek yang kau ceritakan itu justru kau bawa kesini?" Kurtzee menatap Emmy dari ujung kepala sampai ke ujung kaki lalu kembali menatap Zeus dengan sindiran yang kentara jelas. "Sudah baikan rupanya?"

"Bukan, gadis ini bukan Belle. Namanya Emmy, dia sahabatku di sekolah," ujar Zeus memperkenalkan Emmy, "M, ini Kurtzee. Sahabatku yang cantik dan tomboy. Just like you."

"Hello, Emmy. Welcome to Skull Alley," sapa Kurtzee sambil merangkul pundak Emmy, "Ngapain kau main-main dengan si monyet pirang itu?" Bercanda, tentu saja.

Emmy hanya menunjukkan cengiran lebar yang menjadi ciri khas nya. “Ia tak mungkin bisa hidup sampai sekarang jika tidak aku urus,” ujar Emmy membalas rangkulan Kurtzee dan mengedikkan bahunya. Ia melirik ke arah Zeus yang penuh dengan perban dan ia terkikik kecil. Gadis itu kemudian membuka tas ranselnya dan mengintip ke dalam tas yang penuh dengan permen lollipop dan coklat kodok. “Ada yang suka manis? Aku punya permen dan coklat."

Sebuah rangkulan tiba-tiba dari arah belakang memberikan beban di pundak si berandal. Zeus meringis dan mengerang kesakitan. Si gorilla Ralph yang dua kali lebih besar dari dirinya sekarang bertengger di pundaknya. "Kau babak belur, eh?" ujar Ralph terkekeh sambil menunjuk perban di kepala Zeus.

"Anggap saja begitu. Jadi, apa kabar kalian?"

"Seharusnya kami yang menanyakan bagaimana kabarmu, eh?" Ralph memandangi Zeus dari ujung kepala sampai ke ujung kaki lalu kembali memberikan rangkulan—kali ini dengan lebih perlahan sehingga tidak menimbulkan rasa sakit yang terlalu di tubuh kurusnya. "Kau yang babak belur, bukan kami," tambah Ralph sambil tertawa terbahak-bahak.

"Benar juga," sahut Zeus sambil meringis. Sebenarnya ingin tertawa, namun luka yang tengah mengering di sudut bibirnya membuat bibirnya terasa sulit bergerak. Untuk bicara saja dia tak bisa membukanya lebar-lebar, apalagi tertawa. Bisa-bisa lukanya terbuka lagi. Bocah berandal itu melirik ke arah Emmy yang terlihat sudah akrab dengan Kurtzee sekarang. Benar dugaannya, kedua gadis itu akan cocok berteman jika melihat dari kelakuannya yang memang hampir mirip satu dengan yang lain. Ia tersenyum tipis melihat anak-anak Skull Alley yang masih berusia di bawah 11 tahun berkerumun mengelilingi Emmy ketika gadis itu menawarkan permen dan coklat. Akan habis dalam sekejap, lihat saja.

"Zeus, aku perlu bicara denganmu empat mata. Bisa?" ujar Ralph pelan. Bisa dilihatnya Kurtzee melirik mereka berdua dengan tatapan penuh arti. Zeus mengangguk. Merasa ada sesuatu yang sepertinya sangat penting.

"M, aku mau mengobrol sebentar dengan Ralph. Kau tak apa-apa kutinggal dengan Kurtzee, kan? Hanya sebentar," ujarnya pada Emmy lalu mengerling pada Kurtzee, "Ajak dia menyimpan barang-barangnya, Zee. Temani sebentar,okay?"

"No problemo, Zeus. Emmy akan kubuat betah disini," kelakar Kurtzee sambil menggerak-gerakkan tangan kanannya dengan gerakan mengusir. Emmy pun terlihat tidak keberatan, gadis itu membuat tanda V dengan telunjuk dan jari tengahnya. Zeus pun melangkah meninggalkan mereka ketika dirasakannya Ralph mulai melangkah menariknya. Entah apa yang ingin dibicarakan oleh pemuda bertubuh besar itu dengannya sehingga mereka perlu mencari tempat sepi—memastikan tak ada yang mencuri dengar. Jarang sekali mereka membahas sesuatu tanpa melibatkan anak-anak Skull Alley yang lain. Diabaikannya rasa lelah yang sejak tadi memang sudah menderanya. Istirahat bisa nanti setelah urusan selesai. Ia merasa tidak enak juga karena telah begitu lama meninggalkan geng berandal ciliknya.

Mereka berhenti berjalan ketika langkah mereka telah sampai di sebuah taman kecil yang kosong. Taman itu sudah tidak dipakai, banyak sampah yang memenuhi tempat itu—tertutupi oleh timbunan salju tebal. Mainan-mainan anak yang sudah rusak dan penyok didiamkan disana, terlihat beku karena dinginnya cuaca. Jika saja boleh menggunakan sihir di luar sekolah, dengan senang hati ia akan me-reparo semua mainan yang ada disana sehingga anak-anak Skull Alley bisa bebas bermain. Sayangnya, untuk mewujudkan hal itu, harus menunggu hingga usianya mencapai 17 tahun. Ralph menghempaskan bokongnya di sebuah tempat duduk batu yang ada di pojok taman kecil itu, Zeus pun melakukan hal yang sama pada tempat duduk di hadapannya setelah menyapukan salju dengan sebelah tangan.

"Ada apa, Ralph?" tanyanya dengan nada serius.

"Geng selatan mengirimkan surat tantangan kemari," ujar Ralph dengan mimik serius, "ke Skull Alley, maksudku. Nampaknya mereka tahu kau akan kembali. Ketua geng mereka terbunuh dan entah bagaimana mereka menuduh salah satu anggota Skull Alley yang membunuhnya."

Roman wajah Zeus seketika memucat mendengar penuturan Ralph—nyaris sewarna dengan nafas memutih yang keluar dari rongga mulutnya. Ketua geng selatan terbunuh dan salah satu anggota gengnya yang dituduh? Demi apa itu? Ia yakin tak pernah mengajari seorang pun dari anggotanya untuk melakukan hal-hal kriminal seperti itu. "Apa alasan mereka? Dan siapa yang mereka tuduh?"

"Katanya ada yang melihat kejadiannya," ujar Ralph dengan mimik datar,"Mereka menuduh Mike."

"MIKE?! Mereka sudah gila! Mana mungkin Mike membunuh orang! Bahkan membunuh semut saja anak itu tidak tega! Ukh..," Zeus geram dan berdiri mendadak. Lupa bahwa tubuhnya masih terluka dan rasa sakit pun menderanya ketika gerakan tiba-tiba itu dilakukannya. Perlahan tubuhnya terhuyung dan Ralph dengan cekatan menopang Zeus. "Calm down, mate. Aku juga tak percaya Mike melakukannya," kata Ralph sambil membantu Zeus kembali duduk.

"Mike bilang apa?" tanya Zeus lagi. Bocah kecil itu terlihat biasa saja saat menyambutnya tadi.

"Anak itu belum tahu. Suratnya baru diterima Zee semalam."

"Begitu. Bisa panggilkan Mike kemari, Ralph?" Zeus menatap Ralph dalam-dalam. Wajahnya terlihat tegang. Tak menyangka kejadian seperti ini bisa terjadi di Skull Alley.

"Kurasa kau sebaiknya istirahat dulu. Kau terlihat sangat lelah," ujar Ralph penuh pengertian, "Setelah kau bangun nanti baru kita bahas bersama."

"Baiklah," ujarnya—tidak membantah karena pada kenyataannya ia memang sangat membutuhkan waktu beristirahat.

Mereka pun berjalan kembali menuju Skull Alley dalam diam. Tak satupun dari mereka mengeluarkan sepatah kata. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri. Bagaimana jika tuduhan itu benar adanya? Demi Merlin, tujuannya kembali ke Skull Alley bukan untuk mengurusi masalah pembunuhan seperti ini.

"Ralph,
thanks." Ia menoleh dan melemparkan senyum pada Ralph. Merasa berhutang budi karena Ralph yang notabene adalah seorang ketua geng barat mau membantunya mengurusi Skull Alley.

"Not a big deal. Istirahatlah," ujar Ralph ketika mereka sudah tiba kembali di Skull Alley. Ralph mengantarnya sampai di depan pintu bangunan kumuh tempat para anak-anak Skull Alley yang tak punya rumah menetap dalam penjagaan Kurtzee. Zeus mengangguk dan melangkah masuk, mencari-cari sosok Emmy namun tidak ia temukan. Ia perlahan duduk di atas sebuah tempat tidur kayu di pojok ruangan dan membaringkan tubuhnya yang lelah di sana. Kelelahan membuatnya terlelap dalam hitungan detik.

*******

"Jangan bangunkan dia."

"But we have to tell him about this, moron!"

Zeus perlahan membuka kelopak matanya ketika ia mendengar suara orang berdebat di dekat telinganya. Butuh waktu beberapa saat sebelum matanya bisa beradaptasi dengan gelap. Rupanya malam telah datang. Dilihatnya Kurtzee duduk di samping tempat tidurnya dan Ralph berdiri di dekatnya. Wajah mereka berdua terlihat tegang. Instingnya mengatakan ada sesuatu yang terjadi—bukan sesuatu yang baik. Hal pertama yang terbersit di kepalanya adalah, "Hey. Dimana Emmy?"

Ia mengangkat tubuhnya dan duduk bersandar di dinding. Raut wajahnya kini sama tegangnya dengan kedua teman di hadapannya. Ia belum tahu apa yang akan disampaikan namun ia tahu ada sesuatu yang tidak beres pada Emmy ketika melihat Kurtzee dan Ralph saling menatap. Mike rupanya berdiri di seberang tempat tidurnya, kepala bocah itu tertunduk dan bahunya bergetar.

"Zeus," ujar Kurtzee akhirnya, "Emmy hilang."

Zeus terpaku—seolah membeku karena dinginnya cuaca malam itu. Di perutnya sekarang seolah ada kupu-kupu yang sedang beterbangan membuatnya mual. Waktu terasa berhenti beberapa saat. Ia berusaha mencerna kata-kata yang baru saja diutarakan oleh sahabatnya itu. Emmy hilang. Hilang. Lenyap. Jika Kurtzee yang mengatakannya, berarti itu bukan sekedar gurauan. "
What do you mean by that? Sejak tadi dia bersamamu, bukan?"

"Tadi aku meninggalkan dia sebentar untuk menyiapkan makan malam dan—," BUGH—penjelasan Kurtzee tertutup ketika Zeus tiba-tiba meninju tembok di sampingnya dengan keras. Kedua bola matanya terpicing—menatap marah pada Kurtzee. Ia tak mempedulikan rasa sakit yang seketika menderanya akibat gerakan tiba-tiba tersebut.

"Tak seharusnya kau tinggalkan dia!"

"Itu bukan salah Zee, brengsek! Kau tak perlu semarah itu padanya!" Ralph menarik Kurtzee ke pelukannya dan menunjuk ke arah Zeus. Membuat si berandal terdiam sejenak dan menunduk. Ia menghela nafas dan mengerjap. "Sorry, bro. Aku hanya tak mengira ini akan terjadi," ujarnya meminta maaf, "Kalian sudah mencari dia sampai kemana? Kalian yakin Emmy benar-benar hilang?"

Kurtzee melepaskan diri dari pelukan Ralph dan kembali duduk di sisi tempat tidur Zeus. Gadis berambut merah itu menepuk bahu si berandal, mencoba menenangkan pemuda itu meski dirinya sendiri amat sangat tidak tenang dan merasa bersalah. Ketika gadis itu membuka mulutnya untuk bicara, Mike tiba-tiba melangkah mendekat.

"Emmy tadi sedang bermain dengan kami," ujar bocah itu dengan mimik takut, "Petak umpet. Kami semua menyebar untuk bersembunyi. Setelah itu satu persatu ditemukan tapi tak seorang pun menemukan Emmy."

"Mungkin dia bersembunyi di suatu tempat yang tak terlihat dan tertidur," ujar Zeus menimpali. Itu adalah satu-satunya dugaan yang paling baik yang bisa dipikirkannya di antara dugaan-dugaan buruk lainnya. Tertidur di cuaca bersalju seperti sekarang sama saja dengan mencari penyakit. Demi Merlin, jangan sampai terjadi sesuatu yang buruk pada gadis itu, Zeus membatin. Bagaimana ia mempertanggung jawabkannya nanti pada si botak Claymer? Lebih dari itu, Emmy adalah sahabatnya. Ia akan merasa sangat bersalah karena ia yang mengajak gadis itu ke Skull Alley.

"Permainannya sudah berakhir 2 jam yang lalu," ujar Ralph, "Kau yakin cewek itu tertidur?"

"Dua jam? Dan kalian baru membangunkan aku sekarang?"

"Tadi kami sibuk mencarinya dan tak mengira bahwa ia benar-benar hilang," Kurtzee meremas pundak Zeus. Gadis itu tahu bahwa ia tak mungkin bisa menenangkan Zeus sekarang. "Dan akhirnya kami memutuskan untuk memberitahukannya padamu."

"Aku akan mencarinya," ujar Zeus. Pemuda berandal itu bangkit berdiri dan melangkah keluar dari bangunan kumuh itu diikuti oleh ketiga kawannya. Ketegangan yang ia rasakan membuatnya lupa pada rasa sakit di tubuhnya. Lagipula, hanya luka dalam. Bukan sesuatu yang perlu dilebih-lebihkan. Ia bukan bocah cengeng yang merengek-rengek karena luka sepele. "Dimana kalian bermain, Mike?"

"Di seluruh area Skull Alley, Zeus. Kami sudah mencari di setiap sudut bahkan ke lubang-lubang tersembunyi sekalipun," ujar Mike berlari-lari kecil menyusul Zeus.

Melihat pemimpin mereka sudah terbangun dan mau mencari Emmy, beberapa anak Skull Alley yang sudah cukup besar ikut menawarkan diri membantu. Mereka pun berpencar berdua-dua. Zeus bersama dengan Nico, bocah dua belas tahun berambut hitam yang kini disepuh dengan warna biru elektrik. Mereka berdua mencari hingga ke tepi jurang yang ditutupi ranting kering yang tadinya semak-semak belukar.

"Nico, coba kau lihat ke sebelah sana," ujar Zeus memberikan komando sambil menunjuk ke arah kanan. Nico mengangguk dan menurut lalu Zeus melangkah ke arah kiri. Dengan kedua tangannya, Zeus menggeser ranting-ranting kering yang tumbuh rapat menjadi semak pada tanah bersalju. Berusaha mengintip ke baliknya, mencari-cari sesuatu yang mungkin menandakan Emmy pernah ada di sana. Ia menyusuri seluruh tepi jurang bersalju dan mendapatkan hasil yang sangat tidak memuaskan. Sama sekali tak ada jejak Emmy di sana. "Brengsek. M, where the hell are you?"

Malam semakin gelap. Bulan penuh yang bertengger semakin tinggi di langit mencurahkan segenap cahayanya untuk menerangi para manusia yang tengah sibuk mencari, berteriak dan memanggil. Hanya satu nama yang disebut, Emmy. Beberapa dari mereka pada akhirnya menyerah karena dingin yang membekukan dan pamit untuk tidur dengan janji akan kembali mencari esok paginya. Zeus belum menyerah sebelum menyisir seluruh area Skull Alley bahkan lebih dari itu jika diperlukan.

"Zeus! Lihat ini!" Nico tiba-tiba berteriak—memecah keheningan yang sempat tercipta di antara mereka berdua. Zeus segera berjalan secepat yang ia bisa, menghampiri bocah itu. Nico dengan tubuh bergetar menunjuk ke arah sebatang pohon mapel besar. Ada sebuah surat tertancap di sana. Ditulis dengan tinta merah—darah. Kurtzee dan Ralph serta Mike yang mendengar suara Nico pun akhirnya berlari menghampiri mereka, terkesiap melihat surat yang kemudian ditarik lepas oleh Zeus.

"Zeus, Emmy ada bersama kami," Zeus mulai membacakan surat tersebut—rahangnya mengeras menahan amarah yang menggelegak di tubuhnya, "Dia akan tetap aman jika kau datang ke tempat yang akan ditunjukkan oleh salah satu anggota kami besok. Datanglah temui dia di perempatan London timur jam 1 siang. Pastikan kau datang hanya berdua dengan Mike si pembunuh jika kau tak ingin kami menyentuh tubuh molek kekasihmu." Di akhir surat tertulis Southern Kids, nama geng di London selatan. Zeus meremas surat tersebut dan membantingnya ke tanah. Ia mengumpat kesal, "Brengsek! Brengsek!! BRENGSEK!!!"

"Mike si pembunuh?" suara Mike yang bergetar menghentikan umpatan Zeus, "Maksudnya aku?"

"Ini semua gara-gara kau!" ujar Nico tiba-tiba sambil berjalan ke arah Mike lalu mendorong tubuh bocah itu hingga menghantam pohon di belakangnya—menjatuhkan tumpukan salju yang bertengger di dahan, "Kalau bukan karena kau yang membunuh pemimpin geng selatan, Emmy tak mungkin diculik!"

"Itu bohong! Aku tidak membunuh siapapun!" Mike melawan, "Bahkan wajah pemimpin geng itu saja aku tidak tahu!"

Zeus diam dan mengamati. Ada sesuatu yang aneh dalam kejadian ini. Ia menatap Kurtzee dan Ralph bergantian, sayangnya tak dibalas dengan reaksi yang ia harapkan. Kedua orang itu nampak tidak merasakan apa yang ia rasakan. Sebuah kejanggalan dari tingkah salah satu bocah yang tengah beradu mulut di hadapannya.

"Jangan beralasan!" seru Nico lagi sambil menarik kerah mantel Mike dengan kasar hingga syal merah yang melilit di lehernya terlepas.

"Hentikan, kalian berdua," Zeus melangkah masuk ke antara mereka. Ia menarik tangan Nico lepas dari kerah mantel Mike dan menatap tajam pada mereka berdua. "Sekarang kalian tidur. Besok pagi-pagi temui aku di sini. Kita harus bicara. Jangan berkelahi."

Mike dan Nico pun menurut. Mereka berdua segera berlari kembali ke bangunan kumuh tempat mereka tidur setiap malam. Begitu sosok kedua bocah itu menghilang, Zeus melangkah dan duduk di sebuah batang kayu yang tumbang. Ia memberi isyarat supaya Kurtzee dan Ralph mengikuti apa yang ia lakukan.

"Ada sesuatu yang aneh," ujar Zeus dengan nada datar—mendengus, "Tak kusangka ada mata-mata di Skull Alley."

"Mata-mata?" ujar Kurtzee dan Ralph berbarengan, "Siapa yang kau curigai?"

Zeus menoleh pada mereka berdua dengan tatapan tak percaya, "Kalian tidak merasakan ada yang aneh sejak tadi?" Keduanya menggeleng. "Baik. Aku tanya sekarang, saat mereka main petak umpet tadi, benar Nico yang bertugas jaga?"

"Iya benar. Memang anak itu yang bertugas jaga tadi," Kurtzee menatap Zeus dengan kening berkerut dan tiba-tiba saja ia terhenyak—menyadari sesuatu, "Dan dia juga yang pertama kali menemukan surat di pohon itu!" Zeus mengangguk. Senang karena akhirnya Kurtzee bisa mengerti maksudnya. Begitu pun dengan Ralph meski ia hanya terdiam dan mengelus jenggot halus di dagunya. "Nico juga terlihat begitu yakin bahwa Mike telah membunuh Gary," ujar Zeus menambahkan, "Padahal di surat semalam tidak ditulis Mike telah membunuh siapa. Darimana Nico tahu bahwa pemimpin geng selatan yang terbunuh? Kalian tidak memberitahunya soal surat tantangan sebelumnya, kan?"

"Bisa saja itu hanya kebetulan," ujar Ralph kemudian, "Kita tidak bisa langsung memutuskan begitu saja. Bisa jadi ini jebakan yang dipasang lawan untuk membuat kita berpikir bahwa Nico adalah mata-mata."

"Itu mungkin saja. Setidaknya, kita harus mengawasi anak itu. Besok pagi, kita bertemu lagi di sini dengan kedua anak itu. Kita luruskan masalah sebelum aku pergi menemui anggota geng selatan dengan Mike."

Kurtzee dan Ralph mengangguk. Mereka berdua berpamitan dan berjalan bergandengan meninggalkan Zeus yang masih ingin berada di sana.

Mereka pacaran, hm?

*******

Pagi-pagi benar, Zeus sudah duduk kembali di batang pohon tumbang tempatnya semalam menemukan surat dari geng selatan. Menunggu kedatangan Kurtzee, Ralph, Mike serta Nico. Bola mata peraknya menatap ke langit dengan kedua tangan yang terbungkus sarung tangan wol menopang dagunya. Untuk pertama kali dalam seumur hidupnya, Zeus Pierre memanjatkan doa pada Tuhan. Memohon keselamatan Emmy dan berharap masalah yang terjadi di Skull Alley bisa segera terselesaikan. Sungguh, ini bukan liburan yang ia harapkan. Ia mengajak Emmy karena ingin gadis itu bersenang-senang bukannya mengalami penculikan seperti sekarang. Ia marah pada dirinya sendiri. Demi apapun juga, ia harus menyelamatkan gadis itu dan takkan membiarkan seujung jari pun dari gadis itu terluka.

Atau ia akan menghukum dirinya seumur hidup.

"Zeus," suara Kurtzee memecah keheningan pagi itu. Zeus menurunkan pandangannya dan di hadapannya kini ada keempat orang yang ia tunggu, "Kau tidak tidur semalaman?"

"Aku tidur sebentar," ujarnya. Kurtzee dan Ralph kemudian duduk di sampingnya sementara Mike dan Nico duduk di atas tanah bersalju tepat di hadapannya. Wajah kedua bocah itu antara tegang dan takut. Mereka sudah pernah melihat Zeus marah sebelumnya dan tentu saja mereka takut jika mereka yang menjadi objek kemarahan pemuda itu sekarang. Ralph, satu-satunya perokok di tempat itu menyalakan sebatang rokok dan mengisapnya untuk menghangatkan diri.

"Mike," Zeus menatap dalam ke arah bocah berambut pirang itu—membuat Mike menciut ketakutan, "Kau membunuh Gary?"

"Aku tak kenal dia," ujar Mike gugup.

"Jawab saja. Ya atau tidak?"

"Tidak."

"Kalau begitu aku percaya padamu," ujar Zeus sambil menepuk pelan kepala Mike.

"Semudah itu kau percaya bahwa dia tidak membunuh?" Nico menatap garang pada Zeus. Terlihat tidak terima dengan kepercayaan Zeus yang begitu besar pada Mike, "Jangan tertipu pada sikapnya yang sok alim!"

"Diam, Nico!" Ralph tiba-tiba berdiri, membanting rokoknya ke atas salju dan menarik kerah jaket Nico hingga bocah itu terangkat berdiri—Mike menggeser duduknya, "Kami sudah tahu siapa kau sebenarnya, pengkhianat!"

"Apa maksudmu?!" Nico memasang tampang menantang—tidak berusaha melepaskan diri, "Kau yang hanya orang asing tidak pantas berkata begitu padaku!"

"Kau mata-mata geng selatan, kan?!" Kurtzee ikut berdiri dan membentak Nico.

"Sembarangan! Darimana kau menyimpulkan hal konyol seperti itu?! HAHAHA. Jadi kalian mengira aku ini mata-mata? Atas dasar apa? Apa buktinya? Jelaskan padaku!"

"Lepaskan dia, Ralph," ujar Zeus. Ralph pun melepaskan tangannya dan mendorong Nico hingga duduk kembali di tanah. Zeus ganti menatap bocah itu sekarang—tak menggubris Mike yang menunduk terus sejak tadi, "Benar, Nico. Kami mencurigaimu. Ada sesuatu yang ingin kau katakan? Pembelaan diri, mungkin?"

"Ada," ujar Nico geram, "Aku kecewa padamu, Zeus. Kau sembarangan membuat kesimpulan."

Zeus mendengus, "Nico, Nico, Nico. Aku takkan menyimpulkan demikian jika tindak-tandukmu tidak mencurigakan."

"Apa maksudmu?"

"Darimana kau tahu bahwa Mike membunuh pemimpin geng selatan? Di surat yang semalam tidak tertulis nama orang yang dibunuh Mike," Zeus menundukkan tubuh atasnya—bergerak maju mendekati Nico, "Hm?"

Nico terdiam beberapa saat—seolah tersadar bahwa ia telah melakukan suatu kesalahan yang membongkar kedoknya, "Ah, aku paham sekarang. Tak heran kalian mencurigaiku kalau begitu," ujarnya kemudian, "Aku tak sengaja mendengar Kurtzee dan Ralph membicarakan soal surat tantangan tersebut sebelum kau datang, Zeus."

"Pantas saja kau begitu ngotot menuduhku, Nico," Mike dengan kepala tertunduk tiba-tiba mengangkat suara. Isakan samar-samar terdengar dari suaranya. Bocah berambut pirang yang dikenal dengan kelembutan hatinya itu menangis, "Supaya kau tidak dicurigai, kan?"

"Sudah, sudah," ujar Kurtzee merangkul Mike, "Jangan menangis. Kau anak laki-laki, harus kuat dan tegar."

Nico menatap masam pada Mike yang menangis lalu kembali menatap Zeus dengan berani, "Terserah. Aku tidak bisa membela diri saat ini. Ikat saja aku kalau memang perlu."

Zeus tersenyum tipis lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Nico—membisikkan sesuatu lalu menarik kembali tubuhnya. Wajahnya tetap datar.

"Aku hanya ingin Emmy kembali dengan selamat. Setelah itu baru kuputuskan hukuman yang pantas untukmu."

*******

East London, 12.30 p.m


Pemuda berambut pirang platina itu berjalan menuju tempat yang disebutkan dalam surat—perempatan London Timur. Mike berjalan tepat di belakangnya, terseok-seok karena tebalnya salju membuat sepatunya seringkali tersangkut. Mereka berdua saling diam, tak satupun yang berniat untuk berbicara. Di dalam pikiran Zeus hanya ada Emmy. Ia mencemaskan keadaan gadis itu karena sepengetahuannya, geng selatan adalah geng yang tidak segan-segan melakukan kekerasan. Bahkan beberapa kali anggota mereka terlibat dalam kasus pemerkosaan. Sudah puluhan kali geng selatan sengaja berulah mencari ribut dengan geng timur yang Zeus pimpin. Setiap kali itu pula, Zeus berhasil mempertahankan kemenangan meski tak jarang ia dibantu oleh geng barat yang dipimpin oleh Ralph.

Langkahnya terhenti ketika dua orang yang ia duga adalah anggota geng selatan datang menghampiri. Mata Zeus ditutup dengan kain hitam dan kedua tangannya diikat erat ke belakang, begitu pun Mike. Mereka berdua digiring menuju tempat persembunyian rahasia geng selatan dengan sebuah mobil tua.


10 menit kemudian


"Lepas penutup matanya," ujar sebuah suara berat yang kasar disusul sebuah gerakan yang membuat kepala Zeus tertarik ke belakang. Sesaat kemudian, kain hitam yang menutup kedua matanya terlepas. Ruangan itu terang benderang, membuat Zeus mengerjap-ngerjapkan matanya sebelum ia terbiasa dengan silau yang menusuk bola mata peraknya. Mike terikat di sampingnya dalam keadaan tak sadarkan diri. Mereka berada di sebuah bangunan berdinding beton yang tidak terurus. Zeus memicingkan mata—memandang lurus ke arah satu sosok tinggi besar di hadapannya. Apa yang kemudian terlihat di depan matanya membuatnya tercekat.

Gary berdiri tegak di hadapannya. Memegang sebatang kayu pemukul di tangan kanannya. Gary. Dalam keadaan hidup. Tanpa cacat cela.

"Kau," desis Zeus, "Masih hidup rupanya?"

"Kecewa, hm?"

Gary memain-mainkan kayu pemukul itu di kedua tangannya. Menatap pongah pada Zeus yang terikat di lantai. Senyum miring terlengkung di wajahnya yang penuh dengan bekas luka. Ia kemudian berjongkok di hadapan Zeus. "Kau kecewa melihatku hidup?"

"Dimana Emmy?" ujar Zeus. Kedua bola mata peraknya menatap tajam pada Gary. Amarah bergemuruh bagaikan gunung merapi yang siap meledak di dadanya. Tak mengira bahwa Gary akan menipunya sedemikian rupa dengan cara yang pengecut.

"Ah, mengkhawatirkan kekasih rupanya," Gary bangkit berdiri, "Zeus Pierre yang tersohor itu pada akhirnya dikalahkan oleh cinta. HAHAHA."

"DIMANA EMMY?!! BRENGSEK!!"

BUAGGHHHH

Kayu pemukul itu terayun menghantam lengan kiri Zeus dengan keras, membuat pemuda itu rebah ke lantai. Ikatan tangannya sangat erat membuat pergelangan tangannya perih saat berusaha melepaskan diri. Zeus mengerang kesakitan.

"Pengecut kau," desisnya, "Dimana Emmy?!"

DUAGGG

Sebuah tendangan kali ini bersarang di perutnya—tepat pada bekas lukanya yang belum pulih. Ia merintih. Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya, membuat Zeus gemetar. Tawa menyebalkan terdengar memuakkan. Gary melangkah mendekat dan menginjak kepala Zeus yang masih rebah di lantai berdebu. "Argghhh."

"Bagaimana rasanya, Zeus?"

"Senang," ujar Zeus terbata. Seringai tipis terlukis di wajahnya—merendahkan Gary, "Meski tubuhku sedang terluka, kau tetap takkan mampu melawanku jika aku tidak terikat seperti ini. Kau cerdik juga, Gary."

Zeus berharap Gary termakan pancingannya. Berharap kepengecutan lawannya tidak separah yang ia lihat.

"Lepaskan dia."

Umpan berhasil. Seorang anak buah Gary melepaskan ikatan tangan Zeus dengan pisau lipat. Zeus menggerak-gerakkan tangannya—melemaskan ototnya yang kaku karena ikatan yang kencang. Ia kemudian bangkit berdiri perlahan-lahan, menahan sakit yang menggigiti tubuhnya.

"Apa yang kau mau dariku, Gary?"—sehingga kau nekat menculik Emmy dan berbohong soal kematianmu.

"Aku ingin kau mati, Zeus. Sederhana, bukan?" Gary menjentikkan jari, memberi kode pada anak buahnya yang kemudian membuka sebuah pintu di belakang Gary. Tak lama kemudian, Emmy diseret keluar. Zeus lega melihat gadis itu tidak diperlakukan dengan buruk, bahkan sepertinya Gary terlalu menyepelekan Emmy dengan tidak mengikatnya.

"Zeus!" ujar Emmy. Gadis itu hendak berlari ke arahnya namun ditahan oleh anak buah Gary.

"Lepaskan dia, Gary. Aku yang kau inginkan, bukan dia!"

"Dia akan kulepaskan setelah kupastikan kau mati," ujar Gary melangkah maju, "Aku perlu tawanan untuk membuatmu lemah."

"Banci!" teriak Emmy tiba-tiba. Gadis itu berlari mendekati Gary lalu berjongkok dan mengayunkan kakinya menjatuhkan Gary. Zeus dengan sigap merebut kayu pemukul yang terlepas dari genggaman Gary. Keadaan memihak pada Zeus sekarang.

"Zeus, kau tak apa-apa?" tanya Emmy panik.

"Tenang saja. Kau sendiri?"

"Aku baik-baik saja."

"Kenapa kau bisa sampai diculik?"

"A...," Wajah Emmy memerah sekilas, "Aku ditawari es krim."

"Oh. Okay."

Zeus berdiri di depan Emmy—melindungi gadis itu ketika Gary kembali bangkit berdiri dan mengeluarkan sebilah pisau dari balik jaketnya. Pemimpin geng selatan itu rupanya serius soal keinginannya membunuh Zeus. Beberapa anak buah Gary tiba-tiba bergerak mengepung Zeus dan Emmy serta mendorong Mike yang telah sadar hingga menabrak Zeus.

"Pengecut tetap saja pengecut," gumam Zeus muak.

"Bisa apa kau sekarang, eh?" ujar Gary dengan nada congkak, merasa kemenangan telah ada di pihaknya.

"Lepaskan kedua anak ini, Gary. Mereka tak ada hubungannya."

"Aku akan tetap disini bersamamu, Zeus," ujar Emmy cepat. Gadis itu tidak ingin ketinggalan menghajar para gerombolan pengecut geng selatan yang telah menculiknya.

"Aku juga," sahut Mike, "akan membantumu, Zeus."

Zeus pun bungkam. Salut dengan keberanian kedua orang yang sekarang berdiri membelakanginya. Seandainya ia diperbolehkan menggunakan sihir di luar sekolah, semua ini akan selesai dengan cepat—secepat satu ayunan tongkat sihirnya. Zeus menggenggam erat kayu pemukul di tangan kanannya, memasang kuda-kuda dan menatap Gary si pengecut. Ia tak takut dengan pisau jika itu dipegang oleh Gary. Yang ia takuti adalah Emmy terluka.

Emmy dan Mike sudah mulai memukul dan menendang, melawan para anak buah Gary yang berusaha memisahkan mereka dari Zeus. Emmy dipegangi oleh dua orang anak buah Gary, gadis itu meronta namun kekuatannya tidak sepadan dengan lawannya. Perhatian Zeus sempat teralih ketika itu terjadi dan Gary memanfaatkannya. Sebuah sabetan cepat diarahkan ke tubuh Zeus dan akan menjadi luka yang fatal apabila Zeus terlambat menghindar. Bagian depan mantelnya terpotong melintang.

"Hampir saja, Gary," ujar Zeus mengejek, "Tapi masih kurang cepat."

Sabetan demi sabetan kalap pun diayunkan oleh Gary dan dengan cepat Zeus berhasil menghindar meski harus menahan sakit yang teramat pada tubuhnya. Andai saja tubuhnya sedang dalam kondisi fit, ia akan lebih menikmati perkelahian satu lawan satu tersebut. Zeus terkekeh. Ia belum kehabisan stamina sementara Gary terlihat mulai kehabisan tenaga. Satu ayunan keras kayu pemukul yang dipegangnya pun menghantam bahu Gary—membuat pemuda itu terhuyung. Gary mengacungkan pisaunya ke atas dan sekitar lima orang anak buahnya pun bergerak maju dengan cepat memegangi Zeus. Salah satunya terpelanting ke belakang terkena tendangan si berandal.

"Takut kalah, Gary?" ujar Zeus ketika kayu pemukul di tangannya direbut oleh Gary.

"Diam. Aku tak peduli meski aku memakai cara licik untuk menghabisimu," Gary mengangkat pisaunya—menyeringai dan ketika tangannya bergerak untuk menghujamkan pisau tersebut ke perut Zeus; diiringi oleh teriakan Emmy—pintu bangunan itu terbuka lebar dengan sangat keras. Perhatian semua orang yang ada di ruangan tersebut teralih ke arah pintu. Ralph masuk ke ruangan tersebut disusul oleh Kurtzee, Nico dan anak-anak Skull Alley yang lain. Zeus yang melihat kesempatan datang langsung menendang tangan Gary sehingga pisau dalam genggamannya terlempar.

Dengan cepat, situasi berbalik. Gary dan seluruh anak buahnya kini terkapar dengan tangan terikat di sudut ruangan.

Emmy selamat. Mike selamat. Dirinya pun selamat.

Zeus melangkah mendekati Gary dan ia berjongkok di hadapannya. Persis seperti yang dilakukan oleh Gary sebelumnya.

"Polisi sebentar lagi datang," ujar Zeus sambil tersenyum, "Kuharap setelah ini kau jera, Gary."

Tak diduga oleh Zeus, Gary tersenyum. Pandangan matanya bukan mengarah pada dirinya melainkan pada sosok yang sepertinya tengah bergerak mendekat dari belakangnya. Tawa Gary perlahan terdengar dan ketika Zeus menolehkan kepalanya; ia sudah terlalu terlambat.

Sensasi dingin logam terasa menembus punggungnya disertai teriakan-teriakan histeris dari Emmy dan anggota gengnya. Mike menusukkan pisau Gary dalam-dalam dari belakang. Zeus roboh disusul oleh tawa Gary. Ralph dan Nico bergegas maju dan mengikat Mike. Tak seorang pun mengira bahwa Mike akan melakukan hal tersebut. Mike pengkhianatnya. Emmy berlari dan berlutut di samping Zeus, tidak tahu apa yang harus ia lakukan pada pisau yang masih tertancap di punggung pemuda itu. Gadis itu memegangi tubuh Zeus yang mengejang kesakitan—tak berani menggerakannya. Anak-anak Skull Alley yang lain berdiri di luar pintu, bersiap untuk kabur apabila polisi telah datang.

"Mike itu adikku, Zeus. Kau tak menyangkanya, bukan?" ujar Gary kemudian—membuat Zeus terperangah, "Aku juga baru mengetahuinya dua tahun lalu ketika kau membuatku masuk penjara remaja. Ibuku yang sudah bercerai dengan ayahku datang menjengukku di penjara bersama dengan Mike. Dengan uang tabungannya yang tersisa, ia menebusku keluar. Dan tahukah kau apa yang terjadi keesokan harinya?"

Zeus hanya diam. Menunggu Gary melanjutkan kata-katanya. Keringat dingin mengucur deras dari pelipisnya.

"Ibuku gantung diri karena ketakutan dengan ancaman penagih hutang," Mike melanjutkan. Ekspresi bocah itu sama sekali berbeda dengan Mike yang selama ini dikenal oleh Zeus. "Semuanya karena kau yang membuat Gary masuk penjara."

"Konyol," ujar Zeus sebelum ia kehilangan kesadaran karena banyaknya darah yang keluar dari luka tusukan di punggungnya.

"Omong kosong!" Ralph menendang perut Gary dan Mike bergantian lalu ia berlutut untuk mengangkat Zeus yang terluka. "Baru kali ini aku mendengar alasan sebodoh itu untuk membalas dendam!"

"Ayo pergi!" ujar Kurtzee memberikan perintah pada seluruh anak buahnya. Gadis itu meraih tangan Emmy dan mereka pun keluar dari bangunan itu. Kembali ke Skull Alley.


to be continued (in RP)