Intip Hagrid yuk!

Yeah! Pengalamannya kemarin sangat spektakuler dan menyenangkan. Hanya saja kurang sedikit bumbu kehebohan akibat dari keisengan-keisengan yang sesungguhnya ingin dia lakukan. Tapi, melempar bom kotoran atau menyemprotkan air dengan ketapel air di awal tahun ajaran bukan sesuatu yang baik, bukan? Apalagi semalam, suasana begitu meriah di pesta awal tahun. Dia sudah resmi menjadi murid Hogwarts, ngomong-ngomong. Penyihir. Bukan manusia biasa. Dia PENYIHIR. Muahaha. So what, Zeus? So, dia bisa pamer pada teman-teman berandalannya di Skull Alley nanti. Atau mungkin mengerjai geng utara dan selatan yang memang luar biasa menjengkelkan. Ah, sayang sekali sebelum usianya 17 tahun, dia dilarang menggunakan sihir di luar sekolah kecuali jika dia ingin bernasib sama seperti Belle. Entah tulisan di dahi gadis kecil itu sungguh-sungguh permanen atau tidak. Semoga saja tidak. Zeus tak bisa membayangkan gadis kecil itu terpaksa mengenakan topi lebar setiap kali harus keluar dari kamar. Kasihan.

Ngomong-ngomong soal keluar kamar, Zeus saat ini sedang menjelajah, lho! Gairah dan antusiasme yang semalam masih berdesir di pembuluh darahnya—membuat dia tak bisa tidur nyenyak. Hogwarts itu adalah tempat yang menarik untuk ditelusuri saking besarnya. Banyak tempat yang sepertinya memiliki banyak misteri. Anak laki-laki tiga belas tahun itu sangat siap untuk membongkar setiap misteri yang tersimpan di sana. Sendirian pun tak masalah jika tak ada yang mau ikut bersamanya. Siapa takut.

Langkah kakinya membawa dia mendekati sebuah gubuk yang ukurannya tidak terlalu besar. Namanya juga gubuk, masa kau berharap ada gubuk sebesar kastil Hogwarts? Mimpi saja sana. Kelabu kembarnya kemudian menangkap satu sosok gadis yang dikenalnya. M. Yang telah mengobati dan membalut lukanya.

(Nyengir)

"Hey, M! Sedang apa?" Zeus berlari menghampiri gadis berambut pirang kecoklatan itu lalu menunjuk ke arah luka di lengan kanannya yang masih terbalut perban, "Nanti, bantu aku mengganti perbannya, ya."

******

Langit pagi hari itu sangat cerah namun tidak menyilaukan. Hamparan kebiruan berhiaskan bola-bola seputih kapas menjadi lukisan yang memanjakan setiap indera penglihatan yang menatap ke atas. Sang matahari entah sedang bersembunyi dimana. Biarkan saja dia beristirahat sampai tiba waktunya dia berlaga saat tengah hari nanti. Sekarang biarlah sejuk tetap menguasai karena—Zeus sedang menjelajah. Begitu pula dengan para tupai kecil, semut-semut, burung-burung, semua sedang memanfaatkan kesejukan pagi ini untuk melakukan aktivitas mereka masing-masing.

Emmy, si gadis bersurai pirang kecoklatan itu mengangguk meresponi permintaannya untuk mengganti perban di lengannya, namun tiba-tiba terdiam, berpikir dan memberikan saran untuk langsung ke klinik sekolah saja untuk mengobati lukanya. Zeus terkekeh dan menggeleng sok manja pada gadis kecil itu. "Nope. I want—you to take care of my wound, M." Hey, Zeus bukannya sedang meminta tanggung jawab dari gadis kecil itu, lho. Memang penyebab lukanya ini karena melindungi gadis itu dari serangan seekor burung hantu elang milik seorang banci, tapi Zeus melakukannya dengan sukarela tanpa pamrih. Dia hanya segan datang ke klinik. Klinik itu bau obat dan sangat tidak nyaman. Kalau ada Emmy, buat apa ke klinik? Muahaha.

Anak laki-laki itu tiba-tiba melompat di tempat, terkejut karena Emmy memekik keras di dekat telinganya. Kekagetan sepertinya menular. Zeus melirik sosok yang datang tiba-tiba itu dengan ekor matanya—sambil mengelus-elus dadanya, sosok seorang anak laki-laki yang kelihatannya sepantaran dengan dia rupanya. Denan Multianda, eh? Anak laki-laki itu memberikan senyum pada seniornya yang memberi pengumuman tentang kepemilikan gubuk di dekat mereka, seperti seorang tour guide. Hahaha. "Hey. Aku Zeus. Salam kenal."

Multianda kemudian mengeluarkan sebuah toples berisi permen dan menyodorkan sebungkus permen pada Emmy dan Zeus. Dengan sopan, Zeus menolak permen yang ditawarkan Multianda. Dia tak terlalu suka makanan manis. "No, thanks." Lagipula, gubuk Hagrid ini lebih menarik untuk dinikmati ketimbang permen. Dengan penasaran, Zeus melangkah mendekati gubuk tersebut. Hagrid itu, pria besar yang menyambut mereka di Stasiun Hogsmeade, bukan? Gubuk di depannya ini milik raksasa itu? Tak salah? Memang ruangannya cukup besar untuk raksasa seperti dia? Padahal Hogwarts itu luas, kenapa raksasa itu hanya diberi gubuk sekecil ini? Teganya.

Ditariknya sebuah kotak kayu yang cukup tinggi dari dekat gubuk tersebut dan disandarkannya ke dinding gubuk. Anak laki-laki itu naik ke atas kotak tersebut, mencoba mengintip ke balik jendela. Dia ingin tahu seperti apa isi dalam gubuk tersebut. "Ah ya, kira-kira Hagrid sedang ada di rumahnya tidak ya?"

"Kau mencari Hagrid, M? Sepertinya gubuk ini kosong. Tak ada orangnya," ujar Zeus seraya mengintip dari jendela gubuk tersebut. Debu menempel di jemarinya saat dia berpegangan pada kusen jendela. Nampaknya, Hagrid itu butuh bersih-bersih. Bisa kena pilek kalau gubuk sekecil ini dibiarkan berdebu begini. Ya kan? Hey, sejak kapan Zeus jadi peduli dengan kebersihan rumah orang? Forget it.

******

Anak laki-laki berambut pirang platina itu kembali melanjutkan misi intip-mengintip gubuk Hagrid setelah sebelumnya memberi informasi bahwa raksasa itu tidak ada di rumah. Jujur, dia penasaran setengah mati ingin melihat seperti apa interior di dalam gubuk seorang raksasa. Ingin memastikan apakah di dalam sana ada kursi berukuran besar, meja berukuran besar, kasur berukuran besar dan segala furniture berukuran besar-besar. Sayangnya kaca jendela Hagrid terlalu tebal debunya, dia jadi sulit untuk memantau terlebih lagi dia masih harus berpegangan erat di kusen jendela untuk menahan tubuhnya. Kotaknya kurang tinggi.

Dia mendengar ada beberapa anak lain yang datang karena tertarik dengan apa yang sedang dia dan Emmy lakukan di sana. Tapi, dia malas untuk menengok dan membiarkan Emmy yang menyambut kedatangan mereka seperti petugas resepsionis menerima tamu. Padahal gubuk ini bukan punya mereka. Dengan sedikit napsu, Zeus meniup-niup kaca jendela tersebut, berusaha membubarkan para debu-debu yang menempel erat disana. Sayang, usahanya membuahkan hasil yang nihil alias buang-buang tenaga. Anak laki-laki itu pun mendengus kesal. Berniat untuk turun dari kotak karena merasa sudah tak ada gunanya lagi mengintip-intip sesuatu yang tak bisa diintip. Biar saja para burung pipit yang kecil itu menggantikan posisinya di kusen jendela. Pegal. Lihat saja telapak tangan Zeus kini sudah memerah.

Baru saja Zeus hendak melepaskan pegangannya ketika sebuah suara sopran cempreng berkumandang membuatnya terkejut.

”Gya!”

”Aduh!”

“Tolong!”


Dan pegangan tangannya terlepas karena terkejut, sebelah kakinya salah menginjak pinggiran kotak sehingga kotak yang dia pijak kini mulai miring dan—

BRUKK

—jatuhlah dia ke hamparan hijau yang lembab. "Aduh. Lukaku tertindih," rintihnya sambil mengusap-usap lengan kanannya yang tadinya diperban. Kini perbannya robek separuh, memperlihatkan bekas lukanya yang masih basah. Yeah, burung sialan itu menorehkan luka yang cukup dalam dengan cakar bututnya. Burung dan pemiliknya sama-sama kejam. Cuih. Kelabu mudanya kemudian melirik ke arah pemilik suara cempreng yang kini sedang berguling-guling. Zeus menghampiri gadis kecil tersebut dengan ikut berguling-guling ke arahnya tanpa memedulikan lukanya yang sekarang mengeluarkan darah. Terlalu malas berdiri ditambah rasa penasaran. Memang, seperti seseorang pernah bilang kalau Zeus itu punya nama macho, sikap serampangan dan muka secantik Miss Universe*.

"Hey, nona. Kau kenapa?" Dan pada semua orang yang baru bergabung, "Hey, semua! Welcome to Gubuk Hagrid!"

Memangnya kau siapa, Zeus?

Seleksi Asrama 1985 - 1986

Kereta yang dijuluki sebagai naga besi merah oleh adik sepupunya itu kini berhenti—telah menunaikan tugasnya untuk mengantarkan murid-murid Hogwarts sampai di Stasiun Hogsmeade. Kala itu, matahari telah bersembunyi di balik gelapnya malam, berganti giliran tugas dengan sang rembulan dan para bintang. Anak laki-laki bersurai pirang platina itu menyunggingkan senyum ceria ketika disadarinya kehidupan yang baru akan dijalaninya mulai detik ini. Kehidupan yang jauh berbeda dari kehidupannya sebagai berandalan di sebuah kota kecil di pinggiran London. Entah mengapa, benaknya menuntut dia untuk bersikap lebih tenang di sekolah ini. Well—hanya untuk saat-saat tertentu saja. Sifat dan kelakuannya yang cenderung hiperaktif, pemberontak dan seenaknya itu tak bisa diubah begitu saja. Hanya ada satu pengecualian, dia dengan alami menjadi sosok yang behave saat bersama dengan Belle.

Digamitnya lengan adik sepupunya dengan lembut dan bersama melangkah keluar dari naga besi merah tersebut. Keduanya terlihat amat antusias. Jubah hitam Hogwarts sudah terpasang rapi di tubuhnya, dengan sebuah jalinan aksara menyebutkan namanya—Zeus Pierre—tanpa embel-embel Debussy yang dibencinya. Keren. Di tempat ini, dia adalah Zeus Pierre yang bebas. Bukan putra dari seorang pelahap maut Christoff Debussy. Dia adalah Zeus Pierre, seorang pemimpin berandalan cilik di Skull Alley, seorang pembuat onar sekaligus pembela kebenaran bagi mereka yang dirugikan, seorang anak laki-laki dengan pembawaan anggun khas aristrokrat melekat dalam setiap gerakan tubuhnya—hanya saat dia diam. Dengan senyuman ceria, dia melambaikan tangan ketika adik sepupunya berpamitan untuk bergabung dengan senior-senior yang lain, langsung menuju kastil.

Adik sepupunya adalah seniornya disini. Ironis.

Tungkainya melangkah dengan cepat—bergabung dengan teman-teman seangkatan yang kini berkumpul di depan satu sosok pria besar dan berjalan melalui rute yang berbeda dengan para seniornya. Sebuah jalan setapak membawa mereka ke hadapan sebuah hamparan air danau berwarna hitam sehitam langit malam. Dari tempat itu, dia bisa melihat sebuah kastil yang akan menjadi tempat tujuan mereka. Hell yeah—dirinya dapat merasakan degup-degup antusiasme mengalir di seluruh pembuluh darahnya, membuat anak laki-laki hiperaktif itu kesulitan untuk terus berdiam diri. Kedua telapak tangannya membuka dan menutup, saling bertaut di depan dada kurusnya, kemudian digosok-gosokkan tanda tak sabar. Setengah berlari, anak laki-laki itu menghampiri sebuah sampan kecil tak berdayung—melompat masuk sehingga membuat sampan itu berayun sesaat dan tiga pasang mata memelototinya dengan ekspresi takut. Zeus terbahak meminta maaf. "Bukankah yang barusan itu seru?" ujarnya riang.

Dan yeah, pemandangan selanjutnya tidak bisa dibilang membosankan. Serius. Lihat saja bukit karang dan tirai sulur yang menutupi sebuah goa di danau itu. Sampan mereka bahkan kini sudah berada di dalam goa!! Amazing! Banyak sekali batu-batu mencuat dari langit-langit goa dan dari dasarnya, kalau tak salah batu-batu itu disebut stalaktit dan stalakmit. Kalau saja Kurtzee dan anak-anak Skull Alley lainnya ada disini, mungkin goa ini sudah dijadikan tempat nongkrong favorit mereka untuk bermain. Mungkin lain kali jika bisa, dia akan mengajak Belle bermain-main ke goa ini dan mencari tahu lebih banyak lagi. Sebodo amat dengan peraturan. Muahaha. Dan kemudian, sampan kecil berlabuh di sebuah tempat yang mirip seperti pelabuhan kecil di dalam goa—sepertinya di bawah tanah. Anak laki-laki itu dengan cepat naik ke daratan, membantu dua anak perempuan yang satu sampan dengannya. Mereka terlihat gamang saat berdiri di sampan, harus dibantu tentu saja. "Hati-hati. Disini agak licin jalannya. Berpegangan saja pada jubahku supaya kalian tak jatuh."

Langkah mereka kemudian telah sampai di pintu keluar goa, berhadapan dengan danau hitam yang tadi dilewati. Zeus mengikuti langkah anak-anak yang lain dan tibalah mereka di sebuah hamparan rumput luas dan Kastil Hogwarts berdiri dengan megah di depan mereka. Anak laki-laki itu berdecak kagum. Terpesona sama seperti hampir semua anak lain yang ada disana. Kaki-kaki kecil mereka terus berjalan mengikuti si pria besar sampai ke sebuah gerbang—yang kemudian terbuka. Mereka disambut seorang wanita tua yang berperawakan anggun dan sedikit galak, sepertinya. Wanita itu tak banyak bicara, hanya menuntun mereka menghadap sebuah pintu kayu besar. Menyuruh mereka berbaris dua-dua dan mereka pun masuk ke dalam sebuah Aula besar dimana murid-murid senior yang lain telah duduk rapi memenuhi empat buah meja panjang berbeda warna.

Ruangan itu jelas dipenuhi berbagai sihir. Langit-langit aula memperlihatkan langit malam dengan taburan bintang berkelap-kelip, serbuk bintang bahkan sungai antariksa mengalir lembut dengan indahnya. Jangan salahkan anak laki-laki tiga belas tahun itu jika tanpa sadar dia telah mengeluarkan ungkapan kekaguman dengan cara yang norak—berteriak dan melompat-lompat. Bisa kau bayangkan ribuan lilin beterbangan di atas meja seperti menari? That's just awesome, mate!

Tak hanya sampai disitu, kali ini sebuah topi lusuh diletakkan di atas sebuah kursi oleh wanita tua tadi. Dan tiba-tiba saja topi itu memiliki mulut rombeng dan mulai bernyanyi. Lagu yang aneh tapi menghibur. Tidak, Zeus tak pandai berbohong. Dia terhibur. Menyayangkan Kurtzee dan anak-anak Skull Alley takkan pernah punya kesempatan untuk melihat semua keanehan yang ajaib ini. Keanehan yang hanya bisa dinikmati oleh penyihir.

Empat asrama, itu yang tersirat dari lagu yang dinyanyikan si topi lusuh. Gryffindor, Ravenclaw, Hufflepuff dan Slytherin. Entah dimana dia akan ditempatkan. Dia tak terlalu peduli selama dia ada di sekolah itu bersama adik sepupu yang selama ini dia rindukan. Di asrama mana pun tak jadi soal. Belle bilang, topi lusuh itu bisa membaca karakter mereka. Well, karakter hiperaktif dan pemberontak seperti dia, dimana sepantasnya ditempatkan, eh?

"Pierre, Zeus"

Namanya dipanggil. Menghembuskan nafas lega karena nama Debussy tidak turut disebut disana. No, tak ada seorang pun boleh tahu latar belakang keluarganya. Anak laki-laki itu pun melangkah dengan percaya diri menghampiri si topi lusuh. Duduk di kursi dan memakai topi itu di kepalanya.

Sungguh, dia takkan pernah menyesali keputusannya untuk datang ke Hogwarts.

Sorry, Lucretia. My path is to be a wizard.

New Pets

Target. Target. Zeus ingin mencari target keusilan pertamanya di dunia sihir. Baru saja bocah berambut perak itu keluar dari sebuah toko lelucon dengan kantong belanjaan berisi beberapa barang-barang lelucon yang tentunya tak sabar untuk dia coba, terutama bom kotoran dan ketapel air. Hey, dua jenis barang itu sangat efektif untuk mengerjai orang—meski Zeus belum tahu pasti apa yang akan terjadi saat menggunakan kedua barang itu tapi setidaknya dia bisa membayangkan dari namanya.

Dum dum dum dum—

Zeus bersenandung dengan sumbangnya sembari melangkah mencari tempat yang strategis, tepat dan cocok untuk melaksanakan aksi isengnya. Tentu saja harus ada target yang menjadi korban dan kau tahu, mencari target itu pun harus dipilah-pilah berdasarkan tampang dan perawakan. Kalau wajahnya galak, lebih baik jangan, daripada beresiko mendengarkan ocehan-ocehan panjang lebar dan membosankan. Oh satu lagi, targetnya harus laki-laki. Zeus tak mau mengerjai anak perempuan yang belum dikenalnya dengan baik, tak sopan. Zeus hendak mencari target seorang bocah laki-laki dengan wajah yang lucu dan bertampang iseng sepertinya, barangkali korbannya malah akan jadi teman. Bukankah begitu lebih menyenangkan?

Langkah tungkai panjangnya membawa Zeus ke pinggiran jalan yang jauh dari keramaian. Iris kelabunya berbinar ketika melihat ada seorang bocah laki-laki berambut pirang sedang asyik bercakap-cakap dengan tiga ekor hewan peliharaannya. Entah kenapa, di mata Zeus, bocah pirang itu terlihat seperti pawang. Zeus, sih tak bisa membayangkan harus mengurusi tiga ekor peliharaan sekaligus. Dia hanya berencana membeli seekor burung hantu untuk keperluan surat-menyurat saja.

Ah, mari kita berhenti membicarakan dunia fauna. Setelah diamati, wajah bocah pirang itu terlihat menyenangkan dengan pipi bulatnya yang berisi. Kelihatannya bukan tipe target yang akan mengamuk jika dikerjai. Jujur saja, Zeus lebih berharap keisengannya dibalas. Hahaha. Dengan langkah perlahan, mengendap-endap, Zeus bersembunyi di balik pohon tepat di belakang bocah pirang yang kini sibuk melerai kucing dan hewan bundar berbulu pink yang entah apa namanya. Diletakannya kantong belanjaan di dekat kakinya, sebisa mungkin tidak mengeluarkan suara meski saat ini bocah pirang itu takkan bisa mendengar suara karena sibuk menangkap kucingnya yang mulai mengejar hewan bundar berbulu pink itu. Jemarinya segera masuk ke dalam kantong tersebut dan mengambil sebuah bom kotoran dari sana. Seringai nakal terlukis jelas di wajah putihnya.

Hehe. Bersiaplah, nak.

Ambil ancang-ancang. Kunci target yang dituju dan arahkan bom kotoran itu tepat ke sasaran. Zeus menggerakkan lengan kanannya dan melemparkan bom kotoran itu langsung menuju pada bocah berambut pirang. Semoga saja bocah itu tidak tiba-tiba berlari sehingga lemparannya meleset. Hahaha.

~*~*~*~

Syuuttt—

BOOOMMMM!!

Yeah! Lemparan bom kotoran Zeus tepat mengenai bokong si bocah gembul yang kini tengkurap di atas tanah. Alih-alih mengumpat seperti kebanyakan orang bila berada di posisinya, bocah gembul itu malah tertawa gembira sambil menggebuk-gebuk jalanan dan menggerak-gerakan kakinya. Reaksi yang sama sekali tidak terduga. Entah apa yang membuat bocah gembul satu itu begitu bahagia dilempari bom kotoran yang ternyata baunya luar biasa—BAU.

Syuuttt—

BOOOMMMM!!

Woah! Bom kotoran lagi! Rupanya Elliot juga sedang bersembunyi di semak-semak dan meniru perbuatan iseng Zeus. Menyenangkan! Tangan Zeus sudah siap mengambil sebuah bom kotoran lagi ketika sudut matanya kemudian menangkap gerakan seorang gadis berjalan menghampiri sambil menjilati es krim. Gadis manis yang sering berpapasan dengannya setiap kali belanja di toko-toko Diagon Alley. Stalking me, eh? Zeus tak keberatan, kok. Apalagi gadis kecil yang manis begitu. Zeus menatap bingung pada si gadis kecil yang kini malah memperhatikan wajahnya dari dekat lalu mengirimkan cengiran jarak jauh pada Elliot. "Ada apa dengan wajahku, Nona?" Gadis kecil itu bukannya menjawab pertanyaannya malah asyik melompat-lompat sambil menunjuk-nunjuk sehingga es krimnya terjatuh. Benar-benar gadis kecil yang penuh semangat.

(Tersenyum)

"Elliot, Zeus... Kalian sedang apa di sini?"

Ah, kali ini seorang gadis kecil lain. Mariel. Zeus hanya memberikan cengiran pada gadis kecil satu itu. Kalau begini, bisa-bisa ketahuan oleh bocah gembul itu. Feromonnya tak bekerjasama. Bagaimana bisa bersembunyi jika orang-orang datang menghampiri dan membongkar persembunyiannya begitu saja? Nah, lihat kan. Bocah gembul itu sekarang sudah datang ke tempatnya dengan cara yang spektakuler. Terpeleset es krim si gadis manis. Mimisan pula.

"Hey, hidungmu berdarah."

Tiba-tiba saja seekor burung hantu elang berwarna hitam terbang dengan kecepatan tinggi menuju tepat ke arah gadis di samping Zeus. Cakar-cakar tajam terlihat di kaki burung itu—siap menerkam mangsanya. Ada apa ini? Tak mungkin seekor burung hantu menyerang manusia yang sedang makan es krim. Masa burung hantu jaman sekarang doyan makan es krim? Pasti ada seseorang yang memerintahkan burung itu. Dengan gerakan cepat, Zeus melangkah ke depan si gadis pirang kecoklatan—mengangkat lengan kanannya menutupi wajah. Wajah itu aset berharga Zeus, tahu. Cakar si burung hantu mendarat tepat di lengan tersebut dan meninggalkan goresan yang cukup dalam disana. Rasa pedih menjalar membuat Zeus sedikit mengernyit. Brengsek.

Kini dengan jelas Zeus bisa melihat siapa pemilik burung hantu elang tersebut. Seorang anak laki-laki jelek berambut pirang panjang dan tak terurus berdiri tak jauh dari hadapannya. Di wajah jeleknya itu tersungging senyum puas. Senyuman pengecut yang berani menyerang seorang gadis. Well—sekarang bukan waktunya mengurusi luka.

"Hey, kau bocah tengik bau sampah. Kau itu laki-laki atau bukan, hah?! Berani menyerang perempuan... Cuih!" Zeus memang jarang marah tapi bila kau berani memancing amarahnya, kau cari mati, "Kalau kau memang laki-laki, ayo satu lawan satu denganku. Tangan kosong."

~*~*~*~

Mau tahu beberapa alasan mengapa bocah kecil gondrong di depannya itu pantas disebut sebagai the Queen of Banci? Baiklah, mari kita jabarkan satu demi satu dari setiap kata-kata nista yang terujar dari mulut rombengnya itu.

Satu. "Siapa? Aku? Kau marah-marah padaku ?"
Dia pura-pura bodoh dan berlagak tak berdosa padahal sudah jelas dia pelakunya. Banci.

Dua. "Hei mau sok jagoan atau bagaimana? Memang apa salah ku heh?
Sok menantang padahal sebenarnya dia hanya takut. Tak berani bertanggung jawab pada tindakan sendiri, eh? Banci.

Tiga. "Mereka yang menyerang!"
Pengecut. Melemparkan kesalahan pada korban. Mengadu. Banci.

Kesimpulannya adalah bocah di hadapan Zeus saat ini bukan laki-laki tapi dia adalah ratu dari semua banci-banci di dunia. Jenis manusia yang paling dibencinya. Camkan itu. Dengan tatapan meremehkan, Zeus balas menatap si banci yang berjalan mendekat sambil tersenyum. Sok berani, eh? Cuih. Jemari Zeus terkepal, rahangnya mengeras. Bocah perak telah siap menghajar si banci. Kalau saja kelakuan bocah gembul di dekatnya tidak membuat perhatiannya teralih. Sepertinya sejak tadi bocah gembul itu sibuk sendiri.

Entah bagaimana, bocah gembul yang mengaku bernama Ziggy itu datang mendekat dan dia hanya memakai celana pendek yang seharusnya menjadi pakaian dalam. Ada gambar kodok di bagian selangkangannya. Kalau saja suasana saat itu sedang santai, Zeus pasti akan tertawa terbahak-bahak bahkan mungkin menginginkan celana yang serupa. Tapi, tidak sekarang. Dia masih harus mengurusi si banci.

Dan tiba-tiba saja perhatiannya kembali teralih. Gadis pirang yang tadi dia lindungi sekarang nampak sedang berjongkok dan menyengkat kaki si banci. "BAGUS, NONA!" Zeus suka dengan gadis pemberani seperti dia. Sepertinya mereka bisa jadi teman yang baik.

Dan Ziggy sepertinya ingin meniru perbuatan gadis itu. Ah, tidak. Bocah gembul yang konyol itu malah terjatuh tersengkat kakinya sendiri. Zeus hanya bisa geleng-geleng kepala melihatnya. Melihat kejadian kocak seperti itu membuat amarah yang tadi sempat menguasai Zeus, sedikit mereda. Tawa tersembur begitu saja dari bibirnya dan mendadak bocah tiga belas tahun itu merasa sedikit gamang. Pandangannya terasa buram dan berputar. Terhuyung sesaat sampai akhirnya dia berhasil bersandar pada batang pohon di belakangnya.

Zeus tak sadar bahwa luka di lengannya mengeluarkan banyak darah. "Brengsek!" Kenapa harus di saat seperti ini. Zeus memejamkan mata sesaat menahan sensasi berputar di kepalanya. Untung saja, pertolongan datang tepat pada waktunya.

"Kamu namanya Zeus kan? Mana tangan yang luka? Sini ku obati.”

Si gadis pirang itu nampaknya seorang dokter kecil. Lihat saja, dia membawa peralatan P3K lengkap dalam tasnya. Zeus sambil nyengir malu-malu mengulurkan tangan kanannya yang terluka. Semoga saja nona satu itu tidak fobia dengan darah. Kenapa Zeus malu? Soalnya tadi gadis pirang itu bilang bahwa Zeus cakep. Ehe.

"Ah, tunggu sebentar, nona," ujar Zeus tiba-tiba, menarik kembali lengannya dan berjalan menuju si banci—pusingnya sudah sedikit reda. Setidaknya, banci satu ini harus diberi pelajaran terlebih dahulu. Meski langkahnya masih agak terhuyung, Zeus masih kuat. Zeus itu termasuk orang dengan stamina yang kuat, lho. Makanya, rajinlah berolahraga.

Jemari tangan kiri Zeus dengan cepat mencengkeram kerah baju si banci. Kedua matanya terpicing, menatap langsung pada mata si banci yang memang seperti perempuan. "Kau. Lebih buruk dari banci. Dasar pengecut!"ujar Zeus dengan nada dingin.

Dan tinju kanannya dengan cepat melesat ke arah pipi si banci. Saat kepalan tangannya berada sangat dekat dengan pipi si banci, gerakannya terhenti. Telunjuknya mencuat menyentil hidung si banci dengan keras. Haha. "Banci tak pantas mendapat tinju dariku."

Dengan gerakan cuek, Zeus berbalik dan berjalan kembali menuju si gadis pirang. Lebih baik mengobati lukanya dengan seorang nona manis daripada repot mengurusi banci. "Nah, tolong obati lukaku. Namamu siapa, Nona?" ujar Zeus sembari menghempaskan bokongnya ke hamparan rumput dan bersandar ke batang pohon. Kepalanya pusing. Si-hal.

~*~*~*~

Zeus tumbuh besar di lingkungan menengah ke bawah di pinggiran London sejak usianya yang ke-8. Berteman dengan anak-anak berandalan yang menyebut tempat nongkrong mereka dengan sebutan Skull Alley. Seperti anak-anak berandalan atau biasa disebut preman pada umumnya, teman-teman sepermainan Zeus rata-rata berperilaku kasar dan seenaknya. Bahkan kebanyakan terlihat lebih tua daripada usia sesungguhnya. Kedatangan Zeus pertama kali di tempat itu tidak disambut dengan hangat. Apalagi wajahnya yang tergolong feminin membuatnya menjadi bulan-bulanan penghuni Skull Alley. Tak jarang Zeus mendapatkan pukulan ataupun tendangan dari anak-anak yang lebih tua darinya sampai suatu hari sebuah kejadian membuat anak-anak Skull Alley berhenti menjadikannya sasaran. Wibawa dan perawakan aristrokrat Zeus membawanya menjadi pemimpin Skull Alley di usianya yang ke-11. Yeah, penghuni Skull Alley berusia antara enam sampai dua belas tahun.

Lima tahun menjadi berandalan, belum pernah sekalipun Zeus bertemu dengan seseorang yang pengecutnya melebihi si banci gondrong yang kini sedang meremas luka di lengannya. Darah segar dengan semangat mengalir keluar dari seluruh permukaan lukanya. Zeus yang tak menyangka akan diperlakukan seperti itu hanya bisa menarik nafas dan meringis kesakitan. Rahangnya mengeras. Kedua matanya terpejam, berusaha tidak mengeluarkan erangan yang pasti akan membuat si banci itu kesenangan. Brengsek!!

"Kau, tidak apa-apa?"

"Ya. I guess,"
ujarnya lemah. Kepalanya terkulai lemah bersandar pada batang pohon. Pandangannya kabur karena terlalu banyak mengeluarkan darah—membuatnya terpaksa memejamkan mata. Dibiarkannya Emmy merawat luka di lengannya, membalutkan perban menutupi lukanya yang terbuka. "Thanks, M." Kuharap kau tak keberatan kupanggil M. "Temanmu yang barusan... sepertinya haus darah. Haha." Zeus berusaha bercanda agar Emmy tidak terlalu cemas. Di wajahnya yang pucat, kini tersungging seulas senyum dan dengus tawa samar pun terdengar.

Anak yang menarik. Si banci itu.

Gerbong 5 : Kompartemen #13

Yeah! Akhirnya waktu untuk berangkat menuju Hogwarts telah tiba. Seorang anak laki-laki bersurai pirang platina tampak sibuk membawa ransel di punggung, sebuah kandang burung hantu di tangan kanan dan menggandeng seorang gadis kecil berambut keemasan di tangan kirinya. Di belakang mereka seorang anak laki-laki berambut pirang tergopoh-gopoh mengikuti langkah mereka. Si anak laki-laki pirang platina adalah yang tertua di antara mereka, mencari-cari gerbong dengan kompartemen kosong untuk mereka tempati.

Gerbong satu sampai gerbong empat telah mereka lewati dan semuanya telah terisi penuh. Kini langkah mereka sudah tiba di gerbong lima. Berharap-harap semoga ada sebuah kompartemen kosong. Intip mengintip satu persatu akhirnya mereka mendapatkan sebuah kompartemen kosong. Nomor 13. Mungkin beberapa orang menghindari karena menganggap angka 13 adalah angka sial. Hell yeah. Zeus bukan tipe anak yang percaya pada hal-hal tak jelas seperti itu.

"Kita beruntung. Kompartemen ini kosong. Ayo kalian lekas masuk!" ujar Zeus pada Belle dan Elliot. Zeus segera membereskan barang bawaan mereka dan menyimpannya pada rak barang yang ada di langit-langit kompartemen. Belle langsung mengambil tempat di samping jendela dan Elliot juga mengambil tempat yang serupa. Bersebrangan kursi. Anak laki-laki pirang platina itu mengambil tempat duduk di samping Belle, adik sepupunya yang masih terlihat pucat meski senyum sudah kembali di wajah mungil gadis kecil itu.

"Sudah merasa lebih baik, Baby Belle?" tanyanya sembari mengusap-usap kepala Belle yang sedang memeluk seekor bayi kucing bernama Boris.

~*~*~*~

Siang itu, matahari sepertinya cukup ramah. Sinarnya tak seterik hari-hari di Diagon Alley. Mungkin, matahari sedang senang melihat murid-murid baru Hogwarts yang bersemangat berangkat menuju sekolah sihir mereka. Anak laki-laki bersurai pirang platina itu bersandar di kursi kompartemen di samping adik sepupunya dan memandangi gadis kecil itu. Dia masih terlalu senang karena bertemu lagi dengan Baby Belle-nya.

Well, kehidupan itu memang selalu berubah-ubah. Itu fakta. Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi pada kehidupan mereka. Zeus lahir di Paris, di kastil milik keluarga besar bangsawan Debussy yang kemudian jatuh bangkrut dan hancur pada usianya yang ke-3. Kemudian, kedua orangtuanya membawa dia ke Kastil Elsveta di Rusia untuk tinggal bersama keluarga besar ibunya. Hanya Zeus yang diterima sedangkan kedua orangtuanya diusir tanpa diijinkan untuk menemui dia lagi. Di sanalah untuk pertama kalinya, Zeus kecil bertemu dengan Belle dan mereka tumbuh bersama lima tahun lamanya. Setelah lima tahun itu, kehidupan Zeus kembali berubah. Christoff, sang ayah, tiba-tiba saja datang menyerbu Kastil Elsveta bersama dua orang temannya dengan dalih merebut dia kembali. Dan di bawalah Zeus keluar dari Kastil Elsveta, kembali bersama keluarga kandung yang sudah menjadi orang asing baginya. Sang ayah yang seorang pelahap maut kemudian ditangkap dan dimasukkan ke Azkaban. Dari sana, Zeus dan adiknya, Candy, dibawa ke sebuah kota kecil di pinggiran London oleh ibunya. Tinggal di pemukiman muggle dan bergaul dengan anak-anak berandalan disana.

See? Hidup itu berubah-ubah. Manusia seperti pion yang dipermainkan oleh benang takdir yang disulam oleh sang pencipta. Berusaha untuk maju mengikuti permainan dan berusaha untuk tetap tegar—atau menyerah. Dengan usil, Zeus mencubit ujung hidung mancung Belle saat gadis kecil itu tiba-tiba melontarkan pertanyaan pada Elliot sambil terkekeh. Ms. Leona itu katanya seorang guru privat yang mengajari Belle semua pelajaran selama di London. Gadis kecil itu tidak bersekolah di sekolah umum. Menurut penuturan adik sepupunya, Ms. Leona adalah seorang perempuan muda yang sangat sopan, beretiket dan bangsawan wannabe. Terlihat memang dari perawakan dan gerak-geriknya saat mereka bertemu di stasiun King's Cross tadi.

"Permisi masih ada tempat untukku?"

"Halo. Tentu saja masih ada. Silakan masuk."


Itu NIQ. Anak perempuan yang dikenalnya di Diagon Alley. "Hey, NIQ. Masuk saja. Masih ada tempat, kok. Sendirian saja?"

Zeus merogoh kantong celananya, mengambil sekotak coklat kodok yang kemarin diberikan Silver padanya. Untuk Belle, tentu. Dan Zeus baru ingat untuk memberikannya pada Belle. "Baby Belle, ini coklat dari Papa botak-mu." Zeus menyodorkan kotak tersebut dengan sedikit ragu. Belle itu dulu takut kodok, kan?

~*~*~*~

Tiba-tiba saja kompartemen nomor 13 sudah penuh terisi. Baru saja seorang anak laki-laki yang sepertinya mengenal Belle masuk dan bergabung disana ditambah Cassie, anak perempuan yang dikenalnya di Diagon Alley. Dengan ramah, Zeus melemparkan cengiran pada mereka berdua. Belum, dia belum sempat berkata apa-apa untuk sekedar menjawab sapaan dari Cassie karena tiba-tiba saja dari kotak yang harusnya berisi coklat dari troll botak, kini berlompatan sekitar dua puluh ekor kodok kecil berwarna coklat.

Huwooo! Apa itu?


Anak laki-laki bersurai perak itu hanya bisa melongo sesaat dan memperhatikan saat kotak itu kemudian terlempar ke langit-langit kompartemen. Disusul oleh teriakan adik sepupunya yang ternyata masih takut dengan kodok.

"I... itu... kodok berlapis coklat?!" ujar Zeus sambil menunjuk-nunjuk ke arah kodok-kodok yang sekarang asyik berlompatan di lantai kompartemen. Didorong oleh rasa ingin tahunya, anak laki-laki itu berjongkok mencoba menangkap seekor coklat kodok yang kemudian melompat masuk langsung ke dalam mulutnya. Hap. Nyam nyam. Manis. Rasa coklat. Tidak ada rasa kodok-kodoknya sama sekali. "Hey, Baby Belle! Ini coklat asli! Sepertinya disihir sehingga bisa melompat seperti kodok hidup!"

Zeus segera memungut kotak kemasan coklat kodok yang tergeletak di lantai dan mulai menangkapi kodok-kodok yang tersisa. "Hey, Elliot dan err—kau," menunjuk pada anak laki-laki bermata hazel (Harvey), "Bantu aku mengumpulkan kodok-kodok ini, please. Dimakan saja kalau mau."

Ditangkapnya satu ekor kodok lalu berdiri dan kembali ke tempat duduknya. Ditepuk-tepuknya kepala adik sepupunya yang masih meringkuk ketakutan, "Hey hey, senior Elsveta," bisiknya, "ada yang bertanya padamu, tuh. Buka mulutmu, ngomong-ngomong." Dengan cepat, Zeus memasukkan coklat kodok yang dipegangnya ke dalam mulut Belle. "Enak, bukan?" Muahaha.

It's FOOTBALL, not QUIDDITCH

Mimik wajah si anak laki-laki itu mendadak cerah saat melihat beberapa anak tampak sedang berkumpul di suatu tempat di depan Leaky Cauldron siang itu. Yang membuatnya gembira bukanlah anak-anak itu melainkan bola sepak yang sedang digiring seorang anak perempuan berambut merah dan ditendang menuju gawang yang dibuat dengan meletakkan dua buah kaleng pada jarak berjauhan. Sepakbola! Permainan olahraga yang sangat populer di kalangan muggle dan tentu saja populer di geng Zeus dan kawan-kawan sepremanan-nya. Permainan sepakbola di Skull Alley, basecamp geng-nya di pinggiran London juga memanfaatkan barang-barang bekas seperti kaleng ataupun kardus bekas.

Senyum tersungging di wajah putihnya saat kedua tungkainya berlari menghampiri anak-anak yang tengah berkumpul disana. Kelihatannya semua adalah calon seniornya nanti. Tak ada salahnya berkenalan dengan senior, bukan? Mudah-mudahan saja mereka tidak menolak calon murid seperti dirinya untuk ikut bermain bersama mereka. Lagipula, kelihatannya yang mengerti permainan hanya si nona berambut merah. Yang lainnya? Yeah, you're right. Mereka sibuk melontarkan pertanyaan demi pertanyaan pada nona berambut merah itu.

Dengan gerakan cepat, Zeus mengikat rambut peraknya yang sebahu. Melemaskan otot-otot lehernya. Beberapa hari tanpa berolahraga membuat otot-otot tubuh terasa kaku. Apalagi, Zeus termasuk anak laki-laki yang aktif berolahraga dan aktif mengerjai orang-orang menyebalkan di lingkungannya. Apa hubungannya? Ada. Habis mengerjai orang, Zeus pasti dikejar dan dia harus berlari untuk menyelamatkan diri. Olahraga juga, kan? Zeus menatap satu persatu entitas yang ada disana sambil menebarkan senyum ramahnya. Kesan pertama itu penting supaya dia diterima dalam kelompok. "Halo! Ikutan main, dong. Aku bersedia jadi kiper, Nona!" ujar Zeus pada nona berambut merah, "Tendanganmu bagus, ngomong-ngomong."

~*~*~*~

"Ayo Zeus! Giring bolanya ke arah kiri!!"

"Bagus! Sekarang oper bolanya ke Maine!"

"Ah! Hati-hati!! Ada gorila berbulu coklat berlari ke arahmu!"

"Tendang sekarang! Tendang bolanya!"

"GOALLLL—"


Yang tadi itu adalah cuplikan teriakan Kurtzee saat Zeus tengah bertanding sepakbola dengan geng berandalan di pinggiran kota London sebelah barat. Geng timur yang dipimpin Zeus beraliansi dengan geng Barat yang dipimpin si gorila berbulu coklat, Ralph. Kenapa dia disebut gorila berbulu coklat? Masa kau tak bisa membayangkan seperti apa sosoknya dari sebutan tersebut? Cih—yang benar saja. Tentu dia disebut seperti itu karena tubuhnya yang besar dan gemuk. Tingginya saja hampir 15 senti lebih tinggi dari Zeus. Belum lagi tubuhnya yang besar dan berbulu, padahal usia Ralph dan Zeus hanya berbeda 2 tahun. Zeus sih ogah macam-macam dengan gorila jadi lebih baik beraliansi saja sebelum dibantai dengan tragis. Zeus pintar. Jelas. Untungnya si gorila berbulu coklat itu punya hobi yang sama, sepakbola. Olahraga yang menyatukan kaum muggle. Dan menyatukan gorila dengan monyet. Siapa monyetnya? Zeus the monkey boy. *ditampar chara*

Perlahan kelabu kembarnya melirik ke arah seorang perempuan yang disebut 'tante' oleh nona berambut merah. Dan 'tante' itu kemudian meminta untuk dipanggil kakak saja. Zeus tertawa kecil. Jelas terlihat kalau perempuan satu itu sudah berusia lebih tua dari mereka semua walau belum pantas disebut tante, sih. Baiklah, kupanggil kau kakak kalau begitu.

Tak lama, satu persatu anak lain datang bergabung. Dan semuanya terlihat sudah saling mengenal satu sama lain. Membuat Zeus sedikit merasa terasing. Hanya satu detik. Muahaha. Dengan cermat, Zeus memperhatikan pembicaraan mereka. Mengingat satu persatu nama yang disebutkan entah dari siapa dan oleh siapa. Charlie Weasley, Nymphadora Tonks, Kenneth Larz, Macbeth dan Orson. Check.

Sembari menunggu permainan dimulai, Zeus melakukan sedikit pemanasan dengan berlari-lari di tempat, push-up, sit-up, berguling-guling dan memanjat pohon. Pemanasan itu penting jika kau mau melakukan suatu aktivitas yang cukup berat. Resiko kram mengancam kalau otot-ototmu terkejut. Terserah kreativitasmu saja bagaimana pemanasannya, yang penting tubuhmu jadi panas dan otot-ototmu siap digunakan.

Back to the field.

“Tim pertama itu aku, Senior Macbeth, sama anak cowok cantik itu. Tim kedua Charlie, Orson, dan Tante yang rambut pendek, ya? Deal? OKEE, DEAL YA!” seru Tonks memutuskan tim sembari berlari ke tengah-tengah halaman, “AYO, CHARLIE SAMA YANG COWOK CANTIK SUIT!”

"NAMAKU ZEUS. BUKAN COWOK CANTIK, NONA!" Zeus berteriak pada Tonks di tengah lapangan sambil tertawa. Sekaligus memperkenalkan diri secara tak langsung pada semua yang ada di sana. Lumayan. Menghemat waktu. Kemudian Zeus melangkah menghampiri Charlie, si anak lelaki berambut merah dan melirik ke arah seorang anak perempuan yang baru saja datang menawarkan diri menjadi cheerleader. Lucu juga.

"Ayo suit, bro." Zeus tersenyum dan mengulurkan telapak tangannya yang terkepal ke arah Charlie. Siap untuk melakukan suit.

Waiting for a... friend?

Kamar 101—Leaky Cauldron

"Zeus! Bangun! Sudah waktunya kita ke stasiun King's Cross!" Belle, adik sepupunya tiba-tiba menghambur masuk ke dalam kamar penginapannya. Melompat langsung ke atas tubuhnya yang masih terbaring di balik selimut. Untung saja gadis kecil itu tergolong bertubuh mungil dan ringan. Kalau dia sebesar troll botak yang kemarin menggendong Belle, mungkin sekarang Zeus sudah mati tak bernafas.

"Oh my Got! Belle! Sakit, hey! Kau ini membangunkan atau mau membunuhku, sih?" ujar Zeus seraya menoyor kepala Belle dengan lembut. Bocah hiperaktif satu itu merasa lega sekaligus mensyukuri kepolosan adik sepupu satu-satunya itu. Kalau Belle bukan tipe anak yang polos, tak mungkin secepat ini mereka berdua bisa akrab selayaknya saudara. Mengingat gadis kecil itu kehilangan seluruh memori sebelum kematian ayahnya.

"Makanya, cepat bangun! Belle tak mau tertinggal. Ayo cepat ganti pakaian. Belle tunggu di bawah."

Mendengus pelan sembari tersenyum menatap gadis kecil yang tengah berlagak menjadi ibu-ibu yang membangunkan anaknya. "Iya, iya. Aku bangun. Lima menit lagi aku sudah di bawah. 'key?" Zeus dengan cepat mengganti piyamanya dengan sebuah kaos singlet hijau tua dan celana tiga-perempat hitam. Seluruh barangnya sudah rapi tersimpan di dalam tas ransel yang telah diberi mantra perluasan oleh troll botak. Baik juga orang itu. Berkat mantra itu, Zeus jadi tak perlu bersusah payah membawa banyak barang. Diangkatnya ransel dan kandang Bobo—burung hantu elang berwarna abu-abu—dan anak laki-laki bersurai perak itu keluar dari kamarnya.


Stasiun King's Cross

Anak laki-laki itu berusaha menyamakan langkah dengan gadis kecil bersurai keemasan yang berjalan di sampingnya, menggandeng Zeus dengan gestur manja khas seorang adik. Belle bilang, dia janjian dengan guru privatnya di tempat ini. Adik gurunya itu akan jadi murid di Hogwarts juga. Siapa, ya kira-kira? Jangan-jangan Zeus pernah bertegur sapa dengannya saat di Leaky Cauldron atau Diagon Alley.

Belle menarik lengannya menuju peron 10. Ah, tidak. Gadis kecil itu berhenti di antara peron 9 dan 10 lalu menatap Zeus ceria. "Zeus lihat tembok pembatas itu, kan? Itu pintu masuk menuju peron 9 3/4, lho! Di sanalah Hogwart's Express berada!" ujar gadis kecil itu bersemangat.

Eh? Tembok pembatas itu pintu masuknya? What the—

"Kau tak salah, Baby Belle? Bagaimana caranya?" tanya Zeus dengan mimik heran.

"Tenang. Nanti Belle tunjukkan. Kita tunggu Ms. Leona dan adiknya dulu disini."

"Okay."

Anak laki-laki itu meletakkan ransel dan kandang Bobo di lantai stasiun dan menghempaskan bokongnya di samping ranselnya. Dengan lembut ditariknya lengan Belle untuk duduk disampingnya.

Menunggu itu membosankan, bukan? Ada yang mau bergabung?


~*~*~*~

Paha kirinya kini telah menjadi bantal bagi kepala si gadis kecil. Sementara sebelah kakinya yang lain ditekuknya menjadi penopang bagi tangan dan dagunya sendiri. Jemari kirinya membelai poni si gadis kecil dengan lembut. Terlihat dari geraknya bahwa anak lelaki itu sangat menyayangi si gadis kecil yang kini lelap tertidur. Yeah, Belle-nya masih belum sehat benar setelah mengalami guncangan traumatis berkenaan dengan masa lalunya yang terhapus dari memori otaknya. Bila Kurtzee ada di tempat itu saat ini, mungkin gadis berandal itu sudah mencela Zeus dengan beragam kata-kata yang barangkali terdengar menyinggung bagi yang tak mengenalnya. Tapi, sahabat Muggle-nya tak ada disini. Di tempat ini, dia hanya berdua dengan Baby Belle-nya.

Kelabu kembarnya bergulir menyapu setiap sisi yang bisa tertangkap pandangannya. Memperhatikan entitas-entitas yang berlalu-lalang di stasiun tersebut. Ada yang berjalan santai bersama keluarga, ada yang berlari-lari seolah dikejar setan, ada yang berjalan cepat sambil sesekali melihat jam tangannya. Yang lebih banyak lagi adalah anak-anak yang membawa banyak barang bawaan dan kandang burung hantu. Para murid Hogwarts. Zeus menatap dengan mata membelalak saat satu, dua orang penyihir cilik berlari menembus tembok pembatas yang tadi ditunjukkan oleh Belle.

Hoo—Jadi begitu cara masuknya? Damn cool!!

Zeus merasakan semangat tiba-tiba mengalir di seluruh pembuluh darahnya saat melihat semakin banyak orang yang menembus tembok pembatas tersebut. Muggle atau non-penyihir sepertinya tak ada yang menyadari keanehan tersebut. Mereka tetap berjalan seolah tak melihat apa-apa yang menyimpang. Ah! Semoga saja teman Belle yang ditunggu itu segera datang. Zeus tak sabar mencoba menembus tembok pembatas itu. Rasanya seperti sihir. Well, ini memang dunia sihir, kan.

“Jadi? Sedang mau masuk kedalam?”

Sebuah sapaan mengalir masuk ke telinga Zeus, menarik kepalanya untuk menoleh dan melemparkan senyum. Ah. Anak perempuan berparas Asia yang waktu itu rupanya. "Hey. Yep. Nanti. Masih menunggu seseorang disini. Kau sendiri?"


~*~*~*~

“Menunggu—terkadang membosankan bukan? Jadi kau menunggu siapa?”

Menunggu terkadang membosankan? Haha. Bisa dibilang selalu membosankan. Apalagi kalau sendirian. Tapi, menunggu itu juga bisa dibilang sebuah seni untuk melatih kesabaran seseorang. Latihan yang murah sekaligus paling efektif. Sungguh. Kau coba saja. Zeus pernah diminta menunggu Kurtzee di lapangan basket Skull Alley. Mau tahu berapa lama anak perempuan berandalan itu membuatnya menunggu? Bukan satu atau dua jam saja tapi enam jam. Luar biasa, bukan. Kalau saja Kurtzee tak punya alasan yang tepat, mungkin Zeus sudah marah pada sahabatnya itu. Bayangkan saja, Zeus sudah mengenakan seragam basket dan membawa bola basket terbaiknya untuk bermain bersama Kurtzee. Tapi anak itu tak kunjung datang sampai akhirnya salah satu anak buah Zeus datang mengabari bahwa Kurtzee sedang terlibat perkelahian dengan geng berandalan lain. Sejak saat itu, Zeus selalu mengajak seseorang kalau dia diharuskan menunggu. Atau, meninggalkan tempat janjian jika orang yang ditunggu tak muncul dalam 30 menit. Muahaha.

“Jadi sedang menunggu dirinya untuk bangun saja? Ataukah ada orang lain yang datang sebentar lagi?”

Well, well, well. Mari kita kembali ke Stasiun King's Cross. Nona berparas Asia satu ini kalau dilihat-lihat lucu juga. Terlihat sekali dari wajahnya kalau dia sedang bosan atau apapun itu lalu menghampiri Zeus untuk sekedar berbincang dan melepas kebosanan. Ide yang bagus. Tak buruk sama sekali. Apalagi dia sendiri juga bosan kalau hanya menunggu tanpa ada teman bicara. Zeus pada dasarnya anak yang hiperaktif, susah untuk berdiam tak bergerak dalam waktu lama, seperti saat ini. Dia tak bisa bergerak karena takut membangunkan Belle. Gadis kecil itu butuh tidur setelah semalaman mengobrol tentang masa kecil mereka yang terlupakan. Terlupakan oleh gadis kecil itu. Yeah, kalau bicara soal menunggu. Nampaknya Zeus harus menunggu lama sampai gadis kecil itu bisa mengingatnya lagi.

"Sedang menunggu teman Belle. Kau sendiri? Sedang menunggu seseorang?" Zeus bertanya balik. Jujur, Zeus tak ingat nama anak perempuan Asia itu. "Nona, namamu siapa, ngomong-ngomong? Sorry, aku tak ingat." Tanya saja langsung daripada bingung, bukan?

~*~*~*~

“—aku juga melupakan namamu, mari kita ulangi lagi? Tiffany. Dan kau—siapapunlah namamu…”

"My name is Zeus. Zeus Pierre, Nona."

“Kalau begitu duluan…”

Mau tak mau anak laki-laki itu terkekeh saat gadis berparas Asia itu bangkit berdiri dari sampingnya dan berjalan sambil menarik kopernya menuju tembok pembatas yang adalah gerbang masuk menuju peron 9 3/4. Gadis Asia itu unik kalau tak mau disebut aneh. Tiba-tiba datang dan tiba-tiba pergi dengan interaksi seadanya. Gadis Asia bernama Tiffany itu dengan santai menabrakkan dirinya ke tembok pembatas tersebut dan menghilang dalam hitungan detik yang tak sempat terhitung. Ya, gimana ngitungnya. Baru sebut sa—Tiffany-nya sudah hilang.

"Jam berapa kereta akan berangkat, Mister?"

Seorang anak perempuan kurus berambut cepak—berkesan tomboy datang menghampiri si anak laki-laki pirang platina itu. "Jam 11, Nona. Belum terlambat."

"Hai, masih ingat padaku?"


Seorang perempuan lain kali ini berambut coklat datang menghampiri, minta diingat. Zeus memang magnet. Muahaha. "Hai. Masih. NIQ, kan? Apa kabar? Sudah siap berangkat menuju Hogwarts?"

"Boleh aku ikut gabung"

"Boleh. Silakan jika tak keberatan duduk di lantai," ujar Zeus mempersilakan.

Tatapannya kini beralih pada Belle yang masih tertidur. Apakah sebaiknya gadis kecil itu dia bangunkan sekarang? Tak tega, sih. Tapi sebentar lagi kereta akan berangkat dan yang dia tunggu belum juga datang.

"Baby Belle. Bangun." Dan tepat pada saat itu seorang wanita datang menghampiri mereka bersama seorang anak laki-laki pirang yang—eh? Itu kan Elliot. Jangan-jangan yang Belle tunggu itu dia? "Hey, Elliot!! Jadi, kau yang ditunggu oleh Belle?"

Kontrak Sihir

Bocah kecil bermata kelabu itu termenung menatap sang langit yang kini mulai berubah menjadi serupa dengan warna matanya. Punggung kurusnya bersandar di sebuah batang pohon yang kokoh, sementara sebelah kakinya menggantung di tepian tebing. Pikiran bocah kecil itu membayangkan kembali semua hal yang terjadi di masa lalunya. Penyesalan terlihat di ekspresi wajahnya yang rupawan. Dia yang dinamakan serupa dengan dewa Yunani merasa kecewa karena ketidakmampuannya mengubah masa lalu. Namun, masa depan ada dalam genggamannya.

Sebuah badai dadakan tiba-tiba menghempas tubuh kurusnya. Tanpa sempat berpegangan, Zeus itu terlempar jatuh dari tepian tebing tempatnya duduk. Ditutupnya rapat-rapat kedua kelopak matanya, pasrah.

Tak ada yang terjadi.

Tak ada rasa sakit yang menyusul di tubuhnya ataupun bunyi tulang retak.

Bocah kecil itu membuka kelopak matanya, kedua permata kelabunya kini menangkap satu sosok renta duduk di meja usang dalam sebuah ruangan. Zeus menatap ke sekelilingnya dengan heran, entah sejak kapan dia ada di ruangan asing itu. Sebuah keanehan yang menggelitik nalurinya untuk mencari tahu. Perlahan, dihampirinya meja usang tempat sosok renta itu duduk—tampak membuai seekor burung berwarna merah yang cantik. Tiba-tiba, sosok renta itu berbicara dengan suara yang terdengar begitu jauh namun dapat terdengar dengan jelas di telinga Zeus.

“Kalian adalah orang-orang terpilih dan ini adalah sekolah terbaik untuk kalian. Tidak sulit untuk bertahan dan belajar di sekolah ini, hanya butuh keteguhan dan ketekunan hati. Jadilah diri kalian apa adanya dan nikmatilah semua hal yang terjadi pada masa penempuhan pendidikan kalian tersebut. Jadilah seorang penyihir yang memiliki value dalam hidup dan bukan penyihir yang hanya memiliki value dalam nilai akademis. Satu hal yang perlu kalian ingat adalah, penyebab kegagalan dalam hidup bukanlah berasal dari orang lain atau situasi, tetapi diri kalian sendiri. Berhasil tidaknya kalian, semua tergantung pada diri kalian sendiri.”

Dan kini, sebuah piala transparan keemasan muncul tiba-tiba di atas sebuah meja kecil dan tepat di sebelahnya ada sebuah perkamen kecoklatan—kosong dan polos. Sebuah dorongan kuat timbul dalam benak Zeus untuk menghampiri meja tersebut dan menulis di atas perkamen itu. Dengan segera diambilnya pena bulu yang tersedia disana lalu menggoreskan sesuatu di atas perkamen tersebut.

Kontrak Sihir


Sepenuhnya mengerti dan akan mematuhi peraturan yang ada.

Zeus Pierre

Well, it must be a dream.

Surat Tahun Pertama (draft)

Dunia sihir seolah enggan melupakan dirinya meski sudah dua tahun berturut-turut Zeus mengacuhkan amplop-amplop bercap hijau yang dikirimkan kepadanya oleh beragam burung hantu. Mungkinkah para pengirim surat tersebut bisa membaca keinginan hati seorang anak laki-laki bernama lengkap Zeus Pierre Debussy sehingga mereka tak juga menyerah mengirim dan mengirim lagi meski tak mendapatkan balasan dari si penerima?

Dua tahun lalu, saat pertama kali surat itu muncul pada usianya yang kesebelas, Zeus membuka dan membaca isi surat tersebut yang ternyata adalah surat undangan dari sebuah sekolah. Bukan sekolah biasa, itu adalah sekolah sihir paling termashyur di Inggris, Hogwarts. Ya, dugaanmu benar. Zeus memang adalah seorang penyihir, keturunan darah murni. Ayah Zeus adalah seorang penyihir yang dikutuk oleh komunitas penyihir karena pengabdiannya pada Pangeran Kegelapan dan kini mendekam tanpa jiwa di Azkaban. Kabar angin mengatakan, Christoff Johann Debussy telah menerima ciuman maut dari Dementor, sang penjaga Azkaban.

Zeus adalah seorang bocah kecil yang hiperaktif, konyol, penuh rasa ingin tahu dan juga seorang pembuat onar di sekolah. Meski begitu, Zeus disukai oleh teman-temannya. Tentu saja saat pertama kali anak laki-laki itu membaca surat dari Hogwarts, dia sangat bersemangat menunjukkan surat tersebut pada Lucretia, ibunya. Namun, bukan senyum kebanggaan yang ditunjukkan oleh wanita itu melainkan sebuah tamparan keras di pipi kiri Zeus disertai rentetan kalimat makian, larangan, detensi dan airmata kebencian.

Zeus kecil hanya tahu bahwa ibunya membenci keluarga besar Elsveta yang telah mengusirnya. Zeus tak tahu bahwa ibunya begitu membenci dunia sihir dan semua yang berhubungan dengan sihir. Termasuk Zeus yang semakin lama bertumbuh semakin serupa dengan Boris, kakak laki-laki Lucretia yang telah mati.

Zeus sendiri tidak membenci dunia sihir, apalagi keluarga Elsveta. Mereka yang telah membesarkannya dengan kasih sayang selama beberapa tahun di awal kehidupannya. Kasih sayang yang tak pernah didapatkannya dari ibu kandungnya sendiri. Jujur, Zeus merindukan keluarga Elsveta terutama sepupu satu-satunya yang cantik dengan surai keemasan membingkai wajah mungilnya yang selalu tersenyum, Nabelle Marion Elsveta yang akrab disapanya sebagai Baby Belle.

Dan hari ini, ketika seekor burung hantu tiba-tiba mendarat di atas tempat tidurnya dengan sebuah surat terjepit di paruhnya, Zeus memantapkan hati untuk pergi diam-diam ke Hogwarts. Dia yakin, Baby Belle pasti juga ada di sekolah itu. Lagipula Candy, adiknya, sudah cukup besar untuk menjadi teman bicara Lucretia. Sudah waktunya bagi Zeus memilih jalan hidupnya sendiri apapun resiko yang akan ditanggungnya. Ya, Zeus tak bisa selamanya menuruti keinginan ibu yang membencinya dan menyangkal keinginannya sendiri.

“Hogwarts, aku akan datang,” gumamnya lirih sembari meremas perkamen dalam genggamannya.

Baby Belle, wait for me.