Seleksi Asrama 1985 - 1986

Kereta yang dijuluki sebagai naga besi merah oleh adik sepupunya itu kini berhenti—telah menunaikan tugasnya untuk mengantarkan murid-murid Hogwarts sampai di Stasiun Hogsmeade. Kala itu, matahari telah bersembunyi di balik gelapnya malam, berganti giliran tugas dengan sang rembulan dan para bintang. Anak laki-laki bersurai pirang platina itu menyunggingkan senyum ceria ketika disadarinya kehidupan yang baru akan dijalaninya mulai detik ini. Kehidupan yang jauh berbeda dari kehidupannya sebagai berandalan di sebuah kota kecil di pinggiran London. Entah mengapa, benaknya menuntut dia untuk bersikap lebih tenang di sekolah ini. Well—hanya untuk saat-saat tertentu saja. Sifat dan kelakuannya yang cenderung hiperaktif, pemberontak dan seenaknya itu tak bisa diubah begitu saja. Hanya ada satu pengecualian, dia dengan alami menjadi sosok yang behave saat bersama dengan Belle.

Digamitnya lengan adik sepupunya dengan lembut dan bersama melangkah keluar dari naga besi merah tersebut. Keduanya terlihat amat antusias. Jubah hitam Hogwarts sudah terpasang rapi di tubuhnya, dengan sebuah jalinan aksara menyebutkan namanya—Zeus Pierre—tanpa embel-embel Debussy yang dibencinya. Keren. Di tempat ini, dia adalah Zeus Pierre yang bebas. Bukan putra dari seorang pelahap maut Christoff Debussy. Dia adalah Zeus Pierre, seorang pemimpin berandalan cilik di Skull Alley, seorang pembuat onar sekaligus pembela kebenaran bagi mereka yang dirugikan, seorang anak laki-laki dengan pembawaan anggun khas aristrokrat melekat dalam setiap gerakan tubuhnya—hanya saat dia diam. Dengan senyuman ceria, dia melambaikan tangan ketika adik sepupunya berpamitan untuk bergabung dengan senior-senior yang lain, langsung menuju kastil.

Adik sepupunya adalah seniornya disini. Ironis.

Tungkainya melangkah dengan cepat—bergabung dengan teman-teman seangkatan yang kini berkumpul di depan satu sosok pria besar dan berjalan melalui rute yang berbeda dengan para seniornya. Sebuah jalan setapak membawa mereka ke hadapan sebuah hamparan air danau berwarna hitam sehitam langit malam. Dari tempat itu, dia bisa melihat sebuah kastil yang akan menjadi tempat tujuan mereka. Hell yeah—dirinya dapat merasakan degup-degup antusiasme mengalir di seluruh pembuluh darahnya, membuat anak laki-laki hiperaktif itu kesulitan untuk terus berdiam diri. Kedua telapak tangannya membuka dan menutup, saling bertaut di depan dada kurusnya, kemudian digosok-gosokkan tanda tak sabar. Setengah berlari, anak laki-laki itu menghampiri sebuah sampan kecil tak berdayung—melompat masuk sehingga membuat sampan itu berayun sesaat dan tiga pasang mata memelototinya dengan ekspresi takut. Zeus terbahak meminta maaf. "Bukankah yang barusan itu seru?" ujarnya riang.

Dan yeah, pemandangan selanjutnya tidak bisa dibilang membosankan. Serius. Lihat saja bukit karang dan tirai sulur yang menutupi sebuah goa di danau itu. Sampan mereka bahkan kini sudah berada di dalam goa!! Amazing! Banyak sekali batu-batu mencuat dari langit-langit goa dan dari dasarnya, kalau tak salah batu-batu itu disebut stalaktit dan stalakmit. Kalau saja Kurtzee dan anak-anak Skull Alley lainnya ada disini, mungkin goa ini sudah dijadikan tempat nongkrong favorit mereka untuk bermain. Mungkin lain kali jika bisa, dia akan mengajak Belle bermain-main ke goa ini dan mencari tahu lebih banyak lagi. Sebodo amat dengan peraturan. Muahaha. Dan kemudian, sampan kecil berlabuh di sebuah tempat yang mirip seperti pelabuhan kecil di dalam goa—sepertinya di bawah tanah. Anak laki-laki itu dengan cepat naik ke daratan, membantu dua anak perempuan yang satu sampan dengannya. Mereka terlihat gamang saat berdiri di sampan, harus dibantu tentu saja. "Hati-hati. Disini agak licin jalannya. Berpegangan saja pada jubahku supaya kalian tak jatuh."

Langkah mereka kemudian telah sampai di pintu keluar goa, berhadapan dengan danau hitam yang tadi dilewati. Zeus mengikuti langkah anak-anak yang lain dan tibalah mereka di sebuah hamparan rumput luas dan Kastil Hogwarts berdiri dengan megah di depan mereka. Anak laki-laki itu berdecak kagum. Terpesona sama seperti hampir semua anak lain yang ada disana. Kaki-kaki kecil mereka terus berjalan mengikuti si pria besar sampai ke sebuah gerbang—yang kemudian terbuka. Mereka disambut seorang wanita tua yang berperawakan anggun dan sedikit galak, sepertinya. Wanita itu tak banyak bicara, hanya menuntun mereka menghadap sebuah pintu kayu besar. Menyuruh mereka berbaris dua-dua dan mereka pun masuk ke dalam sebuah Aula besar dimana murid-murid senior yang lain telah duduk rapi memenuhi empat buah meja panjang berbeda warna.

Ruangan itu jelas dipenuhi berbagai sihir. Langit-langit aula memperlihatkan langit malam dengan taburan bintang berkelap-kelip, serbuk bintang bahkan sungai antariksa mengalir lembut dengan indahnya. Jangan salahkan anak laki-laki tiga belas tahun itu jika tanpa sadar dia telah mengeluarkan ungkapan kekaguman dengan cara yang norak—berteriak dan melompat-lompat. Bisa kau bayangkan ribuan lilin beterbangan di atas meja seperti menari? That's just awesome, mate!

Tak hanya sampai disitu, kali ini sebuah topi lusuh diletakkan di atas sebuah kursi oleh wanita tua tadi. Dan tiba-tiba saja topi itu memiliki mulut rombeng dan mulai bernyanyi. Lagu yang aneh tapi menghibur. Tidak, Zeus tak pandai berbohong. Dia terhibur. Menyayangkan Kurtzee dan anak-anak Skull Alley takkan pernah punya kesempatan untuk melihat semua keanehan yang ajaib ini. Keanehan yang hanya bisa dinikmati oleh penyihir.

Empat asrama, itu yang tersirat dari lagu yang dinyanyikan si topi lusuh. Gryffindor, Ravenclaw, Hufflepuff dan Slytherin. Entah dimana dia akan ditempatkan. Dia tak terlalu peduli selama dia ada di sekolah itu bersama adik sepupu yang selama ini dia rindukan. Di asrama mana pun tak jadi soal. Belle bilang, topi lusuh itu bisa membaca karakter mereka. Well, karakter hiperaktif dan pemberontak seperti dia, dimana sepantasnya ditempatkan, eh?

"Pierre, Zeus"

Namanya dipanggil. Menghembuskan nafas lega karena nama Debussy tidak turut disebut disana. No, tak ada seorang pun boleh tahu latar belakang keluarganya. Anak laki-laki itu pun melangkah dengan percaya diri menghampiri si topi lusuh. Duduk di kursi dan memakai topi itu di kepalanya.

Sungguh, dia takkan pernah menyesali keputusannya untuk datang ke Hogwarts.

Sorry, Lucretia. My path is to be a wizard.

0 komentar:

Posting Komentar