She's a Pedophilia Virus

Timeline : Sore hari sekitar jam 4. Dua hari setelah PAT.




Sore itu cuaca terbilang cerah khas cuaca musim panas. Matahari masih berjaya di langit meski teriknya sudah tak terlalu membakar di kulit—hanya memberikan kilau indah di atas permukaan danau hitam. Seorang bocah laki-laki bersurai pirang platina nampak sedang berbaring sendirian di hamparan hijau tepat di sisi danau. Lengan kirinya diletakkan di bawah kepala sementara lengan kanannya yang diperban tergeletak merentang. Permata peraknya sesekali menatap ke langit, memperhatikan pergerakan awan-awan putih yang santai. Terlalu santai bagi seorang bocah laki-laki hiperaktif seperti dirinya.

Bocah laki-laki itu teringat kembali pada teman-teman berandal ciliknya di Skull Alley. Tak dapat disangkal bahwa dia merindukan keramaian dan kegilaan yang hampir setiap hari terjadi di sana. Padahal dia baru meninggalkan tempat itu sekitar dua minggu tapi rasanya seperti sudah sangat lama. Sesungguhnya dia ingin menulis surat pada mereka semua melalui Bobo, burung hantu elangnya. Tapi dia sedikit takut bila Bobo sampai dengan selamat di sana, burung hantu itu takkan kembali lagi karena ditangkap dan dijadikan santapan oleh Kurtzee. Haha, just kidding. Alasan sesungguhnya adalah dia ragu. Mengirimkan surat melalui burung hantu bisa berarti bahwa dia mengatakan pada para berandal cilik di Skull Alley bahwa dia adalah seorang penyihir. Dan itu rasanya bukan hal yang bijaksana karena dia tak yakin bagaimana pendapat teman-teman muggle-nya itu tentang penyihir.

(Menghela napas)

Jemari kanannya yang bebas kini menggenggam sebuah batu berukuran sedang, pas dalam genggamannya. Bocah itu kemudian mengangkat tubuhnya—duduk dan melemparkan batu tersebut dengan kencang. Membuat luka di lengannya terasa sedikit nyeri. Batu itu memantul beberapa kali di atas permukaan air sebelum akhirnya tenggelam ke dasar danau. Membentur seekor gurita raksasa, mungkin. Dia tahu bahwa perasaan homesick-nya itu hanya akan berlangsung sementara. Dia sendiri yang memutuskan akan menjadi penyihir hebat untuk melindungi orang-orang yang dia sayangi. Lucretia, Candy dan—Baby Belle. Dia sudah berjanji pada Belle bahwa dia akan selalu menjadi pelindungnya. Akan selalu ada di samping adik sepupunya itu kapanpun dia dibutuhkan. Sedang apa gadis kecil itu sekarang? Biasanya jam segini, Belle sering duduk bersandar di pohon yang paling dekat dengan sisi danau untuk bermain gitar dan bernyanyi. Kangen.

Bicara soal adik, benaknya kini teringat pada satu sosok mungil yang dikenalnya di Leaky Cauldron. Gadis mungil sebelas tahun yang selalu membawa boneka beruang bernama Tuan Bubu dalam pelukannya. Gadis mungil itu tak terlihat seperti seorang anak berusia sebelas tahun di matanya. Apalagi caranya bicara yang terlihat seperti balita. Yeah, gadis mungil itu selalu membuat Zeus terlihat seperti seorang om-om pedofil karena gemas setengah mati ingin mencubit pipi ataupun memeluknya. She looks like a baby, y'know! Memang bukan berarti Zeus naksir pada gadis mungil itu, tapi lebih kepada ingin menjadikan gadis mungil itu sebagai adiknya. Dia ingat, di depan Calnera, dia selalu berbicara seperti bicara pada balita, bukan pada anak sebelas tahun. Bahkan dia menyebut dirinya sendiri dengan sebutan kakak. Kalau salah satu penghuni Skull Alley melihat kelakuannya itu, dia pasti akan ditertawakan habis-habisan.

Apakah ada cara untuk menahan rasa gemas dan geregetan jika berada dekat-dekat gadis mungil penyebar virus pedofil itu? Jika ada, tolong beritahu Zeus.

******

Jika ada kesempatan, aku akan memperbaiki sikap di depan Calnera.

Bocah laki-laki itu berjanji pada dirinya sendiri sambil sekali lagi melemparkan sebongkah batu ke permukaan danau hitam—tak peduli pada rasa nyeri yang menyusul merambati lengan kanannya. Konyol rasanya bersikap seperti demikian pada seorang gadis yang baru dikenalnya belum lama. Gadis mungil itu berbeda dengan Belle yang pada dasarnya memang manja. Ah, mungkin ini karena dia terbiasa memanjakan Belle sehingga dia jadi kesulitan saat bertemu anak lain yang terlihat manis seperti adik sepupunya itu. Sifat orang berbeda. Itu yang harus dicamkan dalam hati bocah tigabelas tahun itu sekarang. Belle senang diperlakukan sebagai tuan puteri dan dimanjakan, Calnera belum tentu. Apalagi, Calnera itu perempuan dan dia laki-laki. Bisa-bisa gadis mungil itu salah paham dengan tindakannya. Sambil mendengus, dia mengacak-acak rambutnya sendiri.

Zeus masih memandangi riak-riak air akibat lemparan batunya tadi ketika tiba-tiba sebuah suara imut mengalir masuk ke dalam gendang telinganya. "Selamat sore, Tuan Zeus. Apa kabar?" Demi Merlin, doa asal-asalan yang barusan dipanjatkan seenaknya itu dikabulkan secepat ini?! Bocah laki-laki itu membelalak sesaat sebelum menengok dan memberikan senyuman pada gadis mungil yang kini duduk di sampingnya. Dia lucu, demi Tuhan. "Ha... hai. Kabarku baik. Bagaimana denganmu, Tu—eh Calnera?" Yeah, langkah pertama untuk memperbaiki sikap, dia harus mulai memanggil Calnera dengan namanya. Bukan dengan sebutan tuan putri kecil. Ada rasa lega di hatinya kini, merasa dirinya bisa mengontrol keinginan untuk memperlakukan Calnera selayaknya balita.


Hanya—

—sesaat.


“Zeus! Dan Calnera, kan?” Tiba-tiba saja Emmy muncul dan duduk di samping Calnera, langsung merangkul dan memeluk gadis mungil itu erat-erat. Bahkan menempelkan pipinya ke pipi Calnera yang imut itu. “Haaa, tidur sambil memeluk Calnera, enak yaa.”

Glek.

Tidur sambil memeluk Calnera? Oh Merlin. Kirimkan Belle untuk menyelamatkan aku.

Bocah laki-laki itu menelan ludah saat melihat betapa senangnya Emmy bisa memeluk Calnera tanpa rasa canggung. Jemarinya tanpa sadar meremas helai-helai rerumputan yang mencuat di sela jari-jarinya. Mati-matian berusaha menjaga ekspresinya agar tetap cool meski perasaannya saat itu amat sangat ingin melakukan hal yang sama seperti yang Emmy sedang lakukan. Bocah itu kini menggigit bibirnya, memalingkan wajah sebelum kehilangan kontrol diri—jaga image. "Hai, M!" ujarnya cepat lalu bangkit berdiri. "A... aku lari-lari dulu sebentar. Okay?"

Katanya, melakukan aktivitas yang menguras tenaga dan membuat tubuh berkeringat bisa membuat pikiran-pikiran yang tak diinginkan enyah dari kepala. Zeus pun kini mulai berlari di tepi danau dengan kencang, secepat yang dia bisa. Terus dan terus berlari kemudian berbalik ketika dirasanya dia sudah cukup jauh, dan berlari kembali ke tempat Calnera dan Emmy berada. Masih berlari di tempat dengan keringat mulai mengalir di pelipisnya, bocah laki-laki itu menghampiri kedua gadis yang lebih muda darinya itu—memberikan cengiran sekilas dan kembali duduk, kali ini di samping Emmy. Rasanya, dia tak mampu duduk tepat di samping Calnera saat ini jika dia memang ingin bisa mengontrol dirinya. "Haaa—olahraga itu memang menyegarkan!"

Menyegarkan pikirannya terutama.

******

"Tuan Zeus marah padaku?"

“Hei, kenapa pindah tempat?”


GLEKK.

Calnera mengira Zeus marah padanya. Menurutmu, kira-kira seperti apa perasaan yang berkecamuk dalam hati seorang bocah laki-laki berusia tiga belas tahun dengan iris perak dan rambut pirang platina itu, sehingga dia kini terdiam dengan mulut terbuka menatap dua orang gadis manis yang duduk di sampingnya? Hahaha. Bocah laki-laki itu kebingungan karena tindakannya sendiri. Dia duduk di samping Emmy, alih-alih duduk kembali di tempatnya di sebelah Calnera setelah berlari-lari tadi. Keningnya berkerut sekarang. Kedua alisnya bertaut. Mulutnya terkatup rapat. Gumaman terdengar. Bingung bagaimana harus menjelaskan alasannya. Rasanya tak mungkin dia bilang terus terang bahwa duduk berdekatan dengan Calnera akan membuat dirinya gemas setengah mati sehingga ingin mencubit gadis mungil itu, bukan?

"Tidak. Tidak. Untuk apa aku marah padamu, Tuan pu—err... Calnera? A... aku hanya salah ambil posisi duduk. Hehehe," ujarnya gugup sambil menarik tubuh dengan kakinya sehingga kini dia duduk tepat di depan Emmy dan Calnera. Ya, Tuhan. Dari depan sini wajah mungil Calnera sangat menggemaskan. Apalagi dengan tampangnya sekarang yang mengira Zeus marah. Zeus menggaruk-garuk kepalanya sambil nyengir. Kedua tangannya tak tahan ingin menjulur dan mencubit pipi Calnera yang terlihat lembut dan tembam. Kedua tangannya harus disibukkan dengan sesuatu!! Dan tiba-tiba saja bocah itu mengambil posisi tengkurap dengan kedua tangan menopang tubuhnya. Push-up dimulai. Apapun caranya, dia harus membuat kedua tangannya bekerja supaya tidak tiba-tiba mencubit pipi mungil Calnera.

Aduh, lukanya terasa menggigit karena menopang tubuhku. Biar sajalah.

"Kalian... suka olahraga, tidak?" tanyanya sambil tetap push-up di depan Emmy dan Calnera. Matanya menatap lurus ke tanah. Konsentrasi push-up akan membuat pikirannya anehnya tentang cubit-mencubit itu lenyap. Mudah-mudahan.

Dan kali ini, Zeus bersyukur Kurtzee berada jauh di pinggiran London bagian timur.

******

One

Two

Three



...

......





Twenty-five




Bocah pirang itu terus menghitung dalam hati sembari melakukan push-up. Memang benar, konsentrasi membuatnya lupa akan keinginan hatinya yang sangat kuat untuk mencubit pipi empuk Calnera. You're so smart, Zeus. SO VERY SMART. Muahaha. Pokoknya, selama berada di dekat nona mungil itu, Zeus akan melakukan push-up sampai gejala-gejala pedofilnya sembuh total. Usia Zeus baru tiga belas tahun, rasanya aneh jika dalam usia semuda itu dia sudah ngidam punya anak. Betul?

Ngidam adik, narator bodoh.

"Suka, aku suka... yang tidak berat seperti push up," Calnera menjawab pertanyaannya dengan suara yang lucu, "Tidak ikutan, Nona?"

Sambil bertanya pada Emmy, Calnera malah mem-push-up-kan Tuan Bubu di tanah. Demi Merlin. Zeus tak boleh melihat pemandangan yang super lucu itu atau push-up-nya akan gagal total. Bocah laki-laki itu mati-matian menahan keinginan untuk menoleh dan memperhatikan tingkah Calnera. Mati-matian menahan pandangannya tetap lurus ke tanah. Mati-matian berhitung dalam hati—hitungannya sudah kacau balau, ngomong-ngomong.



One

Two

Three




Gadis mungil itu tertawa. Tawanya benar-benar seperti tawa bayi yang polos dan suci. Oh Tuhan. Cobaan macam apa yang Kau berikan pada seorang bocah berusia tiga belas tahun itu? Zeus mengernyit, mengerutkan kening. Mengulangi hitungan push-up-nya dari awal lagi.



One

Two




"Ahahaha, mau main banyak-banyakan push up, sama Tuan Bubu?"

Mati. Calnera mengajaknya bicara dan akan sangat tidak sopan apabila dia tidak menatap mata gadis mungil itu saat berbicara. Setetes keringat mengalir dari pelipisnya, bocah laki-laki itu menelan ludah. Push-up-nya terhenti sesaat lalu menoleh ke arah Calnera sambil nyengir lebar—dengan ekspresi aneh. "Mau saja. Tapi, aku pasti kalah sama Tuan Bubu."




One

Two




"Tuan, itu perban luka betulan?"

Berhenti lagi. Sepertinya gelar so very smart itu harus dicabut sekarang. Karena push-up-nya terbukti gagal. "Iya, betulan. Kenapa?"

"Tuan Zeus, sudah jangan lakukan itu lagi. Jangan nakal, Tuan."

Aduh. Diminta dengan cara manis seperti itu, siapa yang sanggup menolak? Senyum manis sudah tersungging begitu saja di wajahnya kini. Senang dengan perhatian gadis mungil itu. Tapi, tidak, di saat seperti ini justru dia harus push-up lebih ekstrim lagi. Tak peduli meski lengannya sakit ataupun terbuka dan berdarah-darah sekalian. Otaknya harus dibersihkan dari keinginan cubit-cubit itu. Ah, seandainya saja Calnera mau jadi adik angkatnya, Zeus tak perlu depresi seperti ini. "Tapi... aku... harus."



One

Two

Three

....

Ten




“Calnera, jadi boneka ku yah, yah yah,” pinta Emmy. “Nanti kalau mau, aku akan suruh Zeus berhenti push up, okay?”

WHAT!? Jadi boneka?! Mauuuu...

Bocah laki-laki itu menatap Emmy dengan tatapan super-iri-aku-juga-mau-peluk. Bibirnya mengerucut sesaat lalu dia mulai melanjutkan push-upnya lagi. Luka di lengannya sudah sangat sakit sekarang. Si-hal. Kalau dia tidak terluka, berapa kalipun dia kuat.

“Hey, Zeus. Berhenti push up, atau nanti ku seret ke klinik," ancam Emmy sambil memasang tampang galak.

Zeus menurut lalu duduk dengan wajah memelas menatap Emmy, "Okay, Mommy." Hehehe. Mommy Emmy. "Calnera, call her Mommy from now on. I will be your Daddy," ujarnya pada Calnera sambil nyengir lebar. Iseng.

******

"Tidak deh, terima kasih."

“Emmy juga tidak ingin menjadi Mommy. Emmy ingin menjadi anak saja dan Calnera jadi boneka ku.”


Dengan cepat Calnera menolak candaannya soal Mommy-Daddy. Bahkan, Emmy juga begitu. Sigh. Padahal Zeus tadi hanya berkelakar karena cara bicara dan tingkah Emmy terlihat seperti seorang ibu memarahi anaknya. Zeus mengerutkan keningnya memandangi kedua anak perempuan yang duduk di hadapannya sekarang. Tanpa sadar, pipinya menggembung. Calnera telah bersedia menjadi boneka Emmy ketika mendengar tawaran Emmy bahwa dia akan membuat Zeus berhenti push-up. Itu curang, memanfaatkan Zeus dan kebaikan hati Calnera untuk kesenangannya sendiri. Zeus juga mau. Jadi, maaf saja jika dia sekarang berniat untuk mengikuti jejak Emmy.

“Oh iya, sini lengan mu. Pasti sakit kan? Ku obati lagi.”


Bocah berandal itu mendesis, menahan rasa sakit yang menjalar di lengannya ketika Emmy melepas perban di lengannya. Perban itu sedikit menempel pada lukanya yang masih basah dan bernanah. Luka yang cukup besar, hebat juga burung hantu elang milik si banci, setidaknya burung hantu elang itu telah membuktikan diri bahwa dia bukan banci seperti pemiliknya. Zeus kemudian menarik lengannya menjauh dari Emmy dan mengambil posisi push-up lagi.

"Aku takkan berhenti push-up kalau Calnera tak mau jadi adikku," ujarnya sambil cemberut. Bocah berandal itu nekat melanjutkan push-upnya. Menunggu jawaban dari gadis mungil yang menggemaskan itu. Satu, turunkan badan, tumpukan segala beban di telapak tangan dan nyess... luka di lengannya dengan bahagia kembali mengeluarkan darah segar. Dua, angkat tubuh perlahan, dorong dengan kekuatan lengan. Darah kembali keluar dari lengannya yang gemetar kesakitan. Tiga, turunkan lagi tubuh perlahan. Gerakannya sudah semakin goyah, keningnya berkerut. Darah mengalir sampai ke telapak tangannya lalu berlanjut ke hamparan rumput. Bocah tiga belas tahun itu menggigit bibir untuk menahan rasa sakit di lengannya. Memang, Zeus adalah bocah keras kepala. Apalagi jika dia sudah menginginkan sesuatu, apapun akan dilakukan untuk mendapatkannya meski mencelakai dirinya sendiri. Serampangan.

Dia tahu, kali ini dia agak berlebihan. Tak seharusnya dia memaksakan keinginannya pada Calnera. Tapi, dia sangat menginginkannya. Entah kenapa. Kebodohan seorang bocah tiga belas tahun memang kadang tak bisa ditebak. Di pikirannya, kalau dia jadi kakak Calnera maka dia akan lebih bebas memberi pelukan, cubitan gemas atau tepukan di kepala pada Calnera tanpa perlu merasa seperti om-om pedofil.

******

Pusing. Kepalanya mulai pusing sekarang. Tapi bocah berandal keras kepala itu belum berniat berhenti sampai keinginannya terpenuhi. Yeah, sebut saja dia bodoh. Dia memang seringkali seperti itu, melakukan sesuatu yang tak masuk akal bahkan membahayakan dirinya sendiri. Beruntung selama ini ada Kurtzee dan teman-teman berandalnya yang masih punya akal sehat untuk menahan jika Zeus hendak melakukan hal bodoh seperti yang dia lakukan sekarang. Coba kalau tidak, mungkin sekarang Zeus tidak akan seutuh sekarang.

Bocah itu bisa melihat darah yang mengalir dari lengan kanannya, merasakannya dan mencium bau amisnya. Pandangannya mulai buram dan dia mengumpat dalam hati. Sadar akan kebodohannya sekaligus enggan berhenti dan menyangkal kata-katanya sendiri. Tak akan berhenti sebelum Calnera setuju menjadi adiknya. Sekarang dia merasa tolol dan berharap ada seseorang menghentikannya dengan paksa alih-alih dia berhenti sendiri.

Gengsi, Zeus?
Shut up!


"Hai, Emmy. Masih ingat aku?"

Suara itu?

"Halo, adik kecil. Siapa namamu? Aku Belle. Kelas 2, Ravenclaw. Kalau tak salah kamu di Ravenclaw juga, kan?"

Belle?

Zeus terkesiap ketika menyadari bahwa Baby Belle-nya sekarang ada disana. Bocah berandal itu tak mengira bahwa dirinya akan tertangkap basah oleh gadis itu saat sedang melakukan perbuatan konyol ini. Tapi, bisa apa dia selain meneruskan kebodohannya? Sudah terjun, tenggelam sekalian. Si berandal mendengus.

"Zeus sedang apa? Sudah gemetaran begitu."

Dia terdiam, tak tahu mau menjawab apa.

“Sedang menyapa malaikat maut,” ujar Emmy dengan nada santai yang sarat akan sindiran. Dan kemudian, Belle pun menyadari luka di lengannya. Gadis kecil itu menarik tubuh Zeus dan jatuh terduduk ketika bobot tubuh anak laki-laki itu menimpa tubuh mungilnya. Dia sekarang terbaring di atas paha ramping adik sepupunya yang cantik. Sedang marahpun, Belle tetap terlihat cantik.

"Zeus bodoh! Luka di lenganmu terbuka dan berdarah, kenapa masih push-up! Demi Merlin! Dari dulu Zeus selalu saja meremehkan luka!"

“Karena dia bodoh, Miss Belle.”

"Kalau Tuan berani push up lagi, atau apapun tindakan yang menyakiti diri sendiri, aku tidak mau kenal sama Tuan lagi."

“Tenang saja Calnera. Ketika ia push up lagi, Calnera pun tak akan melihat wujud dia lagi.”


Tiga gadis kecil itu bergantian memarahi, mengatai dan mengancamnya. Dan apa yang diberikan oleh Zeus sebagai balasan atas kekhawatiran mereka? Cengiran nakal yang lemah. Kepalanya pusing. Si-hal. Dia mengangkat tangan kirinya dan meletakkan telapaknya di kening. Mengurut-urut pelan. Dan tiba-tiba dia terdiam ketika sesuatu mengusiknya.

Wait. Belle bilang apa tadi? Dari dulu? Artinya...

Zeus mengangkat tubuhnya dengan susah payah, duduk, lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Belle—berbisik lirih, meyakinkan supaya kedua gadis kecil yang lain tidak mendengar suaranya, "Belle, kau sudah ingat? Kau tadi bilang dari dulu aku selalu meremehkan luka! Kau sudah ingat?" Senyumnya mengembang sementara jemarinya mengusap lembut pipi adik sepupunya itu. Dia sungguh berharap ingatan Belle kembali, kecuali tentang kematian ayahnya. Aneh, tubuhnya terasa berat sekarang. Pemandangan sekitarnya terlihat bergoyang.

Hoo—gempa?

“Sakitnya kurang? Mau kutambah sakitnya, eh?” ujar Emmy tiba-tiba sambil berdiri—membuat Zeus mengalihkan perhatiannya dari Belle. Gadis tomboy itu menggosok kedua tangannya dan melakukan stretching. Nampak siap menghajar dirinya. “Sudah siap? Atau mau berhenti?”

Zeus mendongakkan kepala, hendak menjawab ocehan Emmy ketika tiba-tiba saja kegelapan menyelimuti dan menarik kesadarannya dengan cepat. Tubuhnya ambruk lemas ke hamparan rumput. Pingsan.

0 komentar:

Posting Komentar