Boathouse

Kadang manusia berpikir sempit, rasis, cenderung menggolong-golongkan dan menganggap golongannya sendiri sebagai yang terbaik. Dalam hal ini mari kita persempit menjadi golongan muggle dan penyihir. Banyak dari mereka yang saling membenci dengan alasan yang dibuat-buat, padahal sesungguhnya mereka adalah sama-sama manusia yang terikat pada benang merah takdir yang ditetapkan oleh sang pencipta. Baik muggle maupun penyihir, mereka sama-sama merupakan pion yang bermain dalam skenario kehidupan buatanNya dan bahkan tak jarang manusia dipermainkan.

Zeus Pierre Debussy, nama asli seorang anak laki-laki tiga belas tahun yang kini tengah menyusuri tangga berputar milik Hogwarts, turun ke bawah entah kemanapun tangga-tangga itu akan membawanya. Kebosanan mendorongnya untuk menjelajahi kastil Hogwarts yang penuh misteri bagi anak laki-laki hiperaktif itu dan dia memilih untuk melakukannya sendirian kali ini. Dia telah memilih untuk membuang nama Debussy, warisan dari seorang ayah brengsek, surname sebuah keluarga pelahap maut di Perancis yang telah menjadi pion penghancur dalam kehidupannya. Fakta yang akan dia kubur dalam-dalam. Sayangnya, betapapun kerasnya dia menyangkal, darah sang pelahap maut mengalir dalam tubuhnya. Pahit.

Terlebih setelah kejatuhan Pangeran Kegelapan, nama Debussy hanya akan membuatnya dilempari tatapan sinis oleh mereka yang menentang keberadaan para pelahap maut. Beruntunglah dia bersama Lucretia dan adiknya, Candy, memilih tinggal di lingkungan muggle setelah Christoff ditangkap dan dijebloskan ke Azkaban. Lima tahun hidup sebagai berandalan tanpa bersentuhan dengan sihir demi menyenangkan Lucretia. Kini, dia adalah Zeus Pierre. Zeus Pierre yang tak mau lagi menuruti keinginan ibunya untuk hidup sebagai muggle. Dia, memilih untuk menjalani kehidupannya sebagai penyihir dan membuktikan pada semua orang bahwa Zeus Pierre bukanlah penerus Debussy. Takkan pernah.

Dia berjalan menyusuri koridor demi koridor. Melempar kedipan sekilas pada lukisan-lukisan genit yang memandanginya dan menggosipinya. Bertegur sapa dengan para hantu transparan berkilau yang ditemuinya. Kini dia berada di sebuah halaman berumput yang memiliki dua pintu masuk utama. Satu mengarah ke Viaduct dan yang lain menuju ke Boathouse. Zeus memilih menuju Boathouse.

Anak laki-laki itu merapatkan jubahnya ketika dingin angin musim gugur bersentuhan dengan kulit lehernya, membuatnya menggigil sejenak. Ditengadahkan kepalanya menatap langit yang mulai berubah warna menjadi kelabu—serupa dengan iris kembarnya. Mendung. Anak laki-laki itu melanjutkan langkahnya ketika rintik-rintik hujan mulai berjatuhan membasahi kepalanya lalu tubuhnya. Dia berlari masuk ke dalam boathouse dan berteduh di dalam. Hujan deras sukses mengganggu penjelajahannya. Zeus mendengus. Dia bersandar pada dinding batu sambil menyisir rambutnya yang basah dengan jemari. Bau asap rokok samar-samar tercium olehnya bercampur dengan bau hujan. Dan ketika dia memperhatikan lebih teliti—tak jauh darinya—seorang perempuan yang terlihat lebih tua darinya telah ada disana lebih dulu, duduk bersandar di dinding batu. Perempuan itu mematikan rokoknya dan melemparkannya ke air. Anak laki-laki itu berjalan menghampiri perempuan itu. Berdua lebih baik daripada sendiri, eh?

"Siang, Senior. Kuharap Anda tidak keberatan bila aku duduk disini," ujarnya menyapa. Dia pun menghempaskan bokongnya di samping perempuan itu, turut bersandar di dinding yang sama. "Zeus. Gryffindor kelas 1."

********

Hidupnya dipermainkan oleh sang takdir. Pada usia tiga tahun, dia dibawa ke Rusia untuk tinggal dan dibesarkan di Kastil Elsveta—tanpa orangtua kandungnya. Wajar bila sampai hari ini pun, orangtua yang benar-benar ada dalam hatinya adalah Boris dan Teresa—orangtua Nabelle. Lima tahun. Lima tahun dirinya dibesarkan bersama Nabelle dengan kasih sayang yang setara. Dididik dan diayomi tentang bagaimana seharusnya seorang bangsawan bersikap. Bahkan mereka diajarkan ilmu berpedang dan pengenalan dasar tentang sihir.

Lima tahun yang patut disyukuri oleh seorang Zeus Pierre, karena setelah itu hidupnya tak sama lagi sejak Christoff datang menyerang Kastil Elsveta bersama pelahap maut lainnya. Sebuah tragedi yang tak pernah bisa dia lupakan yang membuatnya beberapa hari ini merasa iri pada adik sepupunya yang sama sekali tak ingat tentang kejadian pahit tersebut. Yeah, Nabelle tampaknya kehilangan ingatannya entah karena tekanan psikologis atau karena sihir. Gadis kecilnya yang pemberani sekaligus rapuh. Zeus menengadahkan kepalanya menatap sang langit yang sesekali bergemuruh. Kilat sesekali terlihat menyambar. Sedang apa Belle sekarang? Apakah dia ada di tempat yang terlindungi dari hujan? Setahunya, gadis kecil itu takut pada suara petir.

Zeus melipat kakinya—bersila lalu merapatkan jubahnya yang basah, berusaha sedikit menghangatkan tubuhnya yang mulai gemetar. Dia mengalihkan perhatiannya kembali pada perempuan yang ada di sampingnya sekarang. Sosok yang sedikit mengingatkannya pada Lucretia, ibu kandungnya. Beliau juga perokok, sama seperti perempuan itu. Gerak-geriknya pun dewasa dan anggun. Ah, mungkin nanti malam, dia akan menulis surat pada Lucretia. Tak peduli akan dibaca atau tidak. Persetan dengan semua itu. Lucretia memang bersikap seolah membenci dirinya, tapi belakangan ini dirinya menyadari bahwa diam-diam Lucretia tetap memperhatikan segala yang dia butuhkan.

"Senior...? Panggilan macam apa itu, nak? Lihat dimana kau berada, ini negara egaliter..."

Anak laki-laki itu mendengus pelan, tersenyum pada sosok perempuan di sampingnya. Tipe senior yang menjunjung kesetaraan rupanya. Rasanya, dia mulai menyukai perempuan itu. Peraturan atau senioritas, jelas bukan hal yang menarik bagi si berandal. Perempuan di sampingnya itu jelas—menarik dengan cara berpikir egaliternya itu. Lebih nyaman berbincang dengan seseorang yang seperti dia ketimbang senior-senior lain yang gila akan kehormatan. Lalu, kalimat keberatan kembali meluncur dari bibir perempuan itu pada seorang anak perempuan lain yang kini bergabung. Basah kuyup meski tak separah dirinya. Surai-surai peraknya mulai mengering, meski jubah dan seragamnya masih melekat basah di kulitnya. Memberikan sensasi dingin yang cukup mengganggu. Brr—

"Kita belum kenal, kurasa. Tapi apa aku boleh berada di sini?"

"I know who you are, Momsen..."

"Pierre, right? Momsen. Matahari Momsen."


"Sure. Yeah, I'm Zeus Pierre. Ini tempat umum, Nona Momsen. Please take a seat."

"Dan jangan memanggilku dengan embel-embel begitu, kalian berdua..." perempuan itu memiringkan kepala, tersenyum santai.

"Kalian bersikap seakan aku yang memiliki tempat ini. Kita sama-sama murid di sini, aku tidak tahu darimana kalian belajar bersikap seakan kalian lebih inferior begitu... Tapi, sayang, jangan dibiasakan, ya?

"Jadi seharusnya kami memanggilmu apa agar keinferioritasan itu naik pangkat sedikit? Aku takut penghilangan apa yang kau sebut dengan 'embel-embel' itu justru membuat kami dikira kurang ajar."


"She's right, what do you want me to call you, Miss?" Anak laki-laki itu balas tersenyum santai.

At least, tell me your name.

********

Perempuan, perempuan, perempuan. Kalau mau menilik kembali kehidupannya, sepertinya memang Zeus bertumbuh dikelilingi oleh perempuan. Laki-laki yang pernah hadir dalam hidupnya dan memberi kesan melekat dalam dirinya bisa dihitung dengan jari—Boris Elsveta, Grandpa Elsveta dan Christoff. Boris, seorang ayah teladan, seorang auror yang bijaksana dan pemberani. Seorang pria yang sangat dia hormati sejak dia kecil. Grandpa Elsveta, yang mendidiknya dengan keras untuk menjadi seorang penyihir muda yang tidak membeda-bedakan status darah. Pria tua yang menggemblengnya menjadi seorang laki-laki yang menghormati kaum hawa. Lalu, Christoff. Tak ada yang bisa diceritakan tentang pria yang pahitnya adalah ayah kandungnya sendiri. Tak ada hal baik yang pernah dia dapatkan dari pria itu kecuali bahwa berkat benih dari pria brengsek itulah dirinya lahir ke dunia.

Lima tahun sejak Christoff ditangkap dan dijebloskan ke Azkaban, dia hidup bersama dua orang perempuan. Lucretia, ibu kandung yang nyaris tak dikenalnya dan juga yang membenci dirinya. Kemiripan parasnya dengan Boris—almarhum kakak Lucretia—membuat dirinya semakin dibenci. Candy, adik yang berbeda empat tahun dengannya, tak bisa dibilang akrab sejak gadis kecil itu mulai bisa memahami bahwa Lucretia membenci dirinya. Entah gadis kecil itu hanya meniru sikap Lucretia atau memang benar-benar membenci dia. Skull Alley yang jadi tempat pelariannya karena rumah bukan lagi tempat yang nyaman bagi seorang Zeus Pierre. Tempat nongkrong dan bersenang-senang bersama teman-teman berandal ciliknya, membuat keonaran dimana-dimana, berlaku iseng dan senantiasa bersenang-senang. Memimpin geng timur bersama dengan Kurtzee, sahabat muggle-nya yang juga seorang perempuan. Meski tak seperti perempuan karena perilaku dan cara bicaranya yang kasar.

Dan kini di Hogwarts pun, dia lebih banyak dihadapkan dengan perempuan. Nabelle, adik sepupu yang menjadi salah satu alasannya meninggalkan rumah dan membantah keinginan Lucretia untuk masuk ke Hogwarts. Adik sepupu yang telah melupakan semua kenangan tentang dirinya. Seorang gadis kecil yang sejak dulu telah menjadi sosok paling istimewa di hatinya.

Yeah, perempuan, dengan beragam sikap dan cara berpikir yang seringkali tak terduga olehnya.

Perhatiannya kembali teralih pada dua sosok perempuan yang kini bersama dengannya berteduh di dermaga. Membahas senioritas, egalitas dan hal-hal membosankan lainnya. Persetan dengan aturan maupun teori. Kebebasanlah yang membuat seorang Zeus tetap bertahan hidup.

"You may call me Proust, or Agrippina, the last one I may let you call me by that name, I may not..."

"Memanggil dengan embel-embel juga tidak lantas membuatmu lebih beradab. Kau tidak dengar kemarin di pesta itu mereka memanggil-manggil Dawne dengan sebutan 'senior',"
Agrippina melirik padanya. Memberikan kesan bahwa perempuan itu tidak menyukai perbuatan yang telah dilakukan Dawne saat pesta. Padahal menurut Zeus, keberadaan seseorang seperti Dawne itu lumayan membuat dunia yang membosankan ini sedikit lebih meriah.

"Dan tetap bertingkah kurang ajar di depan guru. Lebih senior mana murid cupat dengan gurunya? Kau panggil aku dengan sebutan Prefek sambil mengataiku peliharaan guru dalam hati, itu sama saja bohong."

Well, pada bagian itu, aku setuju sepenuhnya. "I agree. Then, I won't call you senior or prefek anymore, Agrippina. Jika kau tidak keberatan, aku lebih suka menyebut nama depanmu. Terdengar lebih manis." Dia bukan sedang menggoda, hanya bersikap jujur dengan apa yang dia rasakan. Mengungkapkan apa yang dia inginkan. Tanpa paksaan, tentu saja.

"....Kita tinggal di Hogwarts, di dunia sihir. Saatnya kau melepaskan ikatan dengan dunia lamamu dan masuk ke dunia ini. Di sini, sihirmu membuatmu terhormat. Kita menghormati yang sihirnya paling kuat..."

Hukum rimba, eh? Yang kuat yang menang. Yang kuat yang berkuasa. Tak jauh beda dengan kehidupannya di Skull Alley. Penuh dengan persaingan meski di luar terlihat menyenangkan. Baginya, sihir kuat berguna untuk melindungi orang-orang yang dia kasihi dari orang-orang brengsek seperti Christoff dan tentu saja, Pangeran Kegelapan itu sendiri. Anak laki-laki itu tersenyum miris, "Menghormati yang sihirnya paling kuat... entah kenapa, kedengarannya lebih seperti ungkapan rasa takut ketimbang rasa hormat."

Bukankah di mana saja sama? Takut pada yang paling kuat lantas menjilat mereka dengan penghormatan yang membuai?

********

"What is in a name...?"

Nothing. Just something to call someone.

"It is true. I was one of them. I was a part of them, muggles... I'm a halfblood. Justru karena itu aku lebih mengerti keajaiban dunia ini, karena itu sihir menjadi lebih berharga bagiku. Bukan sesuatu yang tidak kusyukuri, atau sesuatu yang begitu asing sampai kubenci..."

So what if you are a part of muggles? Muggle bukanlah komunitas yang harus dibenci hanya karena pada masa lalu beberapa dari mereka menyerang kaum penyihir dan membakar mereka dengan alasan penyihir berbahaya. Banyak muggle yang menerima keberadaan para penyihir dan bersedia merahasiakannya. Banyak muggle yang jauh lebih menyenangkan ketimbang beberapa penyihir yang dia temui di Hogwarts. Pada intinya, muggle dan penyihir adalah sama-sama manusia yang tidak memiliki kesempurnaan yang absolut. Menjadi seorang penyihir, seperti kata Agrippina, adalah sesuatu yang patut disyukuri. Mereka, para penyihir, diberikan sebuah kekuatan untuk melindungi diri sendiri dan juga orang yang mereka kasihi. Dia, Zeus Pierre, juga menghargai berkah yang diterimanya sebagai penyihir.

Agrippina mematikan sigaretnya dan mendudukan diri di sebelah Zeus dan Momsen.

"See here, Pierre... Kenapa kau melihat kekuatan untuk ditakuti? Yang kau harus takuti adalah tujuannya... Tapi baik tidaknya itu pasti relatif, jadi relatif pula rasa takut dan hormatnya. Yang kalian ingin itu apa? Rasa hormat dari cinta?"

"Sampai sejauh apa cinta itu sampai dikhianati? Kau lebih mudah membunuh dan mengkhianati orang yang kau cintai ketimbang orang yang kau takuti. Itu sifat dasar manusia mau tidak mau kau akui. Alasan apa pun yang kuberikan, jawaban apa pun, tidak akan bisa pasti. Sebuah lingkaran tidak memiliki awal maupun akhir."


Dia hanya terdiam dan mendengarkan ketika dua entitas hawa di dekatnya berbincang, meresponi pernyataannya tadi. Dia tidak sedang membahas tentang senior-senior mereka di Hogwarts. Persetan dengan mereka yang gila hormat. Bukankah Agrippina sendiri berkata bahwa senior sebaiknya tidak membuat mereka merasa inferior? Bahwa Prefek, apalagi Ketua Murid, adalah peliharaan guru. Berarti tak ada yang menjamin bahwa Ketua Murid mereka itu kuat atau tidak. Statusnya sama. Murid. Masih belajar. Hanya saja, pengalaman lebih banyak. Bukan berarti dirinya adalah seorang pembangkang tulen. Dia tahu kapan harus bertingkah sopan dan pada siapa.

"Aku tak peduli bila Tequilla dilempari pai oleh murid-murid yang lain. Aku tak kenal siapa dia dan tak tahu bagaimana kelakuannya selama ini sehingga tak layak mendapat rasa hormat yang seharusnya dia terima," ujarnya menanggapi pertanyaan Momsen.

"And, No. I didn't say that I'm scared or something... itu hanya sebuah impresi yang kuterima dari caramu berbicara tadi, Agrippina. Tentang menghormati mereka yang sihirnya lebih kuat. Tapi, kau benar bahwa yang harus ditakuti adalah tujuan sebuah sihir digunakan," rahangnya mengeras, "Aku menghormati mereka yang memang layak dihormati. Yang menggunakan sihir untuk melindungi banyak orang. Tapi, aku mengutuk mereka yang mempermainkan sihir untuk menghancurkan hidup orang lain, mereka yang menyalahgunakan sihir terlarang semata-mata untuk mendapatkan kekuasaan dan bersenang-senang."

Christoff, maksudmu?

Berandal itu masih ingat betapa mudahnya seorang penyihir membunuh penyihir lainnya. Hanya dengan sebuah rapalan kutukan kematian dan BAM, berakhir sudah hidup seseorang yang menjadi target rapalan mantra tersebut. Dia sendiri pernah merasakan kutukan Crucio diarahkan pada tubuhnya. Kutukan yang nyaris membuat dirinya berharap untuk mati daripada lebih lama tersiksa dengan rasa sakit yang ditimbulkan oleh mantra tersebut. Dan melihat bagaimana kutukan Imperioyang diluncurkan Christoff bereaksi pada Nabelle. Bocah berandal itu mendengus. Benci jika harus mengingat masa lalu yang menyakitkan itu.

Dengan ekor matanya dia melihat seorang bocah laki-laki datang dan menyapa mereka satu persatu. Berceloteh dan sibuk sendiri mengomentari kilat. Lucu. Khas anak sebelas tahun.

"Yeah, Kincaid. I'm Pierre."

“Oh ya, kalian lagi ngobrol? Ayo lanjut saja. Jangan membiarkanku menghentikan kalian. Go on.”

Berandal itu menunduk. Mencoba mengacuhkan keberadaan Kincaid disana. Kembali mengingat rentetan peristiwa mengerikan pada masa lalunya—dimana rapalan mantra kutukan ditembakkan, tanpa ada seorang pun sempat menghindar.

"Mungkin sebenarnya, penyihir juga butuh latihan ketangkasan untuk menghindari rapalan mantra, eh?" Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirnya. Bocah itu tersenyum miris.

0 komentar:

Posting Komentar